Majalah Ilmiah INDIKATOR, Volume XIII, Nomor 1, Maret 2011
Selasa, 17 April 2012
PENTINGNYA KURIKULUM MUATAN LOKAL
DALAM KONTEKS PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
DI ERA GLOBAL *
Oleh Blajan Konradus
Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Nusa Cendana,
Jln. Adisucipto, Kupang, Telepon 081339309900
Abstract
Indonesia, as the biggest-multicultural country, has a heavy
moral duty for the international society. It has a role to perform as a
model of a harmonious living in its multi-cultural society. This remarkable
demand should be faced wisely through education, including character education
which can be conducted through the local content curriculum. Recently, a
specific Indonesian society which has marvelous-heritage local culture has been
ruined by a systematic-hedonistically just for the sake of certain needs. It
seems that life of young generation has been absorbed and hypnotized by
material luxury and the mercy of technology, information and communication
equipment in the global era. In order to handle the mentioned problems, we need
a an understanding of self character through local curriculum and the mix-match
of various local culture through discourse, judgment, and the practice of
multicultural education. By the mix-match of the learning goals of
multicultural curriculum and that of multicultural education, it provides an
emphasize on affective or attitudinal goals, cognitive goals, and instructional
goals. In this way, hopefully, the learners will have an Indonesian integrated
personality in order to face the living dynamics and the mix-match of cultural
background in the global era. To achieve the goal, is a compulsory to
understand a comprehensive self-genuine by applying a learning strategy through
local subject curriculum and the mix-match of various local culture through
discourse, policy, and the application of multicultural education. By
performing this strategy and by emphasizing on the affective or attitudinal
aspects, cognitive aspect, and instructional aspects, it is expected that in
the future learners are intellectually smart, as well as having an integrated
Indonesian personality in order to face international togetherness and the
link-match of various cultural in the global
era.
Key Words
Local curriculum, multicultural education, globalization.
PENDAHULUAN
Indonesia
merupakan sebuah negara dan bangsa multikultural terbesar di dunia. Hal ini
terbukti dengan keberadaannya yang terdiri atas lebih dari 3500 buah pulau yang
dihuni oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai macam adat-istiadat, bahasa,
kebudayaan, agama, kepercayaan, dan sebagainya. Bahkan letaknya yang sangat
strategis pada lintasan garis katulistiwa dengan iklim tropisnya itu
ternyata membawa berkah yang luar biasa berupa pelbagai kekayaan alam yang
terdapat di darat dan di laut, flora dan fauna serta berbagai hasil tambang
sebagai potensi luar biasa dari sumber daya alamnya. Kebudayaan nasional
Indonesia yang didukung oleh berbagai nilai kebudayaan daerah yang luhur dan
beradab itu sekaligus juga merupakan jati diri yang menjiwai perilaku manusia
dan masyarakat dalam segenap aspek kehidupan, baik dalam lapangan industri,
kerajinan, industri rumah tangga, maupun jasa pertanian (agroindustri dan
agrobisnis), perkebunan, perikanan perternakan, pertanian holtikultura, kepariwisataan,
dan pemeliharaan lingkungan hidup. Semua kekayaan multikultural bangsa
Indonesia ini apabila dipahami dengan baik, dikelola dengan sikap arif serta
bijaksana dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, akan membentuk
sebuah mosaik budaya yang indah dari bangsa ini, ibarat “kembang sejuta warna”
yang tumbuh segar dan mekar-merona di sebuah taman dan mata setiap
ciptaan yang menyaksikannya akan hanya mampu berkata “Terima kasih Tuhan, KAU
sungguh luar biasa!”
Dengan mengacu
pada realitas kekayaan budaya bangsa Indonesia sebagaimana dipaparkan di atas,
maka penyusunan kurikulum yang berbasiskan realitas keadaan masyarakat tersebut
disebut “Kurikulum Muatan Lokal.“ Keberadaan kurikulum muatan lokal di
Indonesia telah dikuatkan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia dengan Nomor 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987;
sementara pelaksanaannya telah dijabarkan pula dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pendidikan Dasar dan menengah Nomor 173/-C/Kep/M/87 tertanggal 7 Oktober
1987. Di samping kebanggaan kita sebagai bangsa yang
demikian kaya dengan beribu khazanah budaya di seantero nusantara ini, realitas
politik, keamanan, sosial, budaya, dan ekonomi juga sedang mempertontonkan ke
hadapan masyarakat Indonesia bahkan publik internasional, betapa keberagaman
nilai budaya bangsa kita sedang dikoyak-koyak menuju kondisi disintegrasi yang
akan memecah-belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika kita
menengok sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi sering
kali mengambil bentuk kekerasan sehingga mengancam persatuan dan eksistensi
bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum
kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sementara itu,
terjadinya konflik sosial setelah kemerdekaan, baik pada masa Orde Lama, Orde
Baru, bahkan yang lebih sering dan lebih banyak terjadi di Era Reformasi saat
ini sering kali bertendensi politik, dan ujungnya adalah keinginan suatu
komunitas/suku tertentu untuk melepaskan diri dari wilayah negara kesatuan.
Buntut dari kondisi yang demikian dapat kita saksikan dengan sangat nyata
hingga sekarang lewat berbagai gerakan pemisahan dan pemerdekaan diri baik yang
terjadi di Aceh maupun yang terjadi di Papua.
Saat penulis
bergabung dengan Aliansi Bhineka Tungga Ika pada kesempatan mengikuti Simposiun
Regional Bagian Indonesia Tengah dan Timur dengan tema: ”Mempertahankan
Pancasila & Memperteguh Ke-Bhineka Tunggal Ika-an,” yang berlangsung di
Lotta-Pineleng, Manado, Sulawesi Utara, pada 25-29 Januari 2010, bersama lebih
kurang 350 orang peserta simposium yang berasal dari 17 propinsi yang ada di
bagian tengah dan timur wilayah Indonesia, muncullah berbagai klaim rapuhnya
eksistensi ke-Indonesia-an akibat adanya berbagai upaya sistematis untuk menyeragamkan
budaya Indonesia yang nyata-nyata demikian kaya akan keberagaman, sementara
pada aras kenyataan lainnya terdapat begitu banyak praktik ketidakseimbangan
pembagian kue pembangunan oleh pemerintah pusat di Jakarta terhadap
daerah-daerah di Inonesia, utamanya terhadap daerah-daerah yang berada di
bagian tengah dan timur nusantara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Beberapa pokok
persoalan yang hangat diperbincangkan saat itu, antara lain adalah (1)
”Eksistensi ke-Indonesia-an di tengah perjumpaan antarbudaya lokal/daerah”; (2)
”Ironi Ke-Indonesia-an di tengah berbagai fenomena ’Jakartanisasi’; (3)
”Eksistensi Ke-Indonesiaa-an di tengah derasnya arus globalisasi”; serta (4)
”Ironi Realitas Ke-Indonesiaan di Pulau-Pulau Terkecil, Terpencil, dan
Daerah-Daerah Perbatasan”.
Kondisi riil bangsa Indonesia saat ini sebagaimana diuraikan di atas,
setidaknya telah membelalakkan mata kita sebagai anak bangsa untuk melihat
betapa realitas eksistensi ke-Indonesia-an kita yang nota bene sangat kaya akan
berbagai nilai budaya yang luhur itu sedang dikoyak-koyak oleh berbagai upaya
sistematis-hedonistis kelompok kepentingan tertentu. Saat ini banyak di
antara anak bangsa ini yang dalam perikehidupannya seolah-olah telah
dihipnotis oleh berbagai kemewahan dan kemudahan tawaran teknologi serta sarana
informasi dan komunikasi moderen di era global sambil pada saat yang
bersamaan mereka justeru lupa akan jati diri ke-Indonesia-an yang sesungguhnya
ditegakberdirikan oleh pilar-pilar kebudayaan daerah atau kebudayaan lokal yang
sangat kokoh.
Pada titik
inilah diperlukan pemahaman akan pentingnya pemahaman tentang jati diri melalui
kurikulum muatan lokal serta perjumpaan berbagai budaya lokal Indonesia melalui
wacana, kebijakan, dan praktik pendidikan multikultural agar para anak bangsa
sejak dini menyadari keunikan identitas dirinya yang jelas-jelas berbeda dengan
keunikan identitas sesama anak bangsa lainnya tetapi tetap dalam model pandang
kesederajatan dan atau kesepadanan hak dan kewajiban sebagai pemilik sekaligus
pembela Pancasila dan Ke-bhineka Tunggal Ika-an. Dengan kata lain, penulis
ingin menegaskan bahwa tanpa pemahaman sejak dini tentang jati diri melalui
media pembelajaran muatan lokal dalam konteks pendidikan multikultural, maka konflik
sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi
keutuhan dan persatuan bangsa.
SEKILAS TENTANG
STRATEGI PENGEMBANGAN MUATAN LOKAL
Setidaknya
terdapat dua arah pengembangan dalam muatan lokal. Kedua arah
pengembangan muatan lokal dimaksud adalah:
a.
Pengembangan
untuk jangka panjang
Melalui pola
pengembangan jangka panjang, para siswa diharapkan agar dapat melatih keahlian
dan ketrampilannya sesuai dengan harapan, sehingga nantinya dapat membantu
dirinya, keluarga, masyarakat dan akhirnya membantu pembangunan nusa dan
bangsanya. Oleh karena itu perkembangan muatan lokal dalam jangka
panjang harus direncanakan secara sistematik oleh sekolah, keluarga, dan
masyarakat setempat dengan perantara pakar-pakar pada instasi terkait baik
negeri maupun swasta. Untuk muatan lokal di sekolah dasar masih bersifat
pengantar atau pengenalan, kemudian dilaksanakan secara kontinyu di sekolah
menengah pertama dan akan terjadi konvergensi di sekolah menengah atas.
b.
Pengembangan untuk jangka pendek
Perkembangan
muatan lokal dalam jangka pendek dapat dilakukan oleh sekolah setempat dengan
cara menyusun kurikulum muatan lokal kemudian menyusun GBPP-nya dan direvisi
setiap saat.
Dalam Pengembangan selanjutnya ada dua
hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
- Perluasan muatan lokal
Dasarnya adalah bahan muatan lokal yang ada di daerah itu
yang terdiri dari berbagai jenis muatan lokal. Pertanian, misalnya, kalau sudah
dianggap cukup maka pertanian sendiri dapat diganti dengan peternakan, perikanan,
kerajianan dan sebagainya. Siswa cukup diberi dasar-dasarnya saja dari berbagai
muatan lokal, sedangkan pendalamannya dilaksanakan pada periode berikutnya.
- Pendalaman muatan lokal
Dasarnya adalah bahan muatan lokal yang sudah ada kemudian
dipelajari secara lebih mendalam. Misalnya masalah pertanian dibicarakan dan
dilaksanakan mengenai bagaimana cara memupuk, memelihara, mengembangkan, serta
pemasarannya dan sebagainya. Oleh karena itu pelajaran ini diberikan
pada siswa yang telah dewasa.
Berhasil atau
tidaknya pengembangan muatan lokal di sekolah sangat tergantung pada: (1)
Kekreatifan guru; (2) Kesesuain program; (3) Ketersedianan sarana dan
prasarana; (4) cara pengeloaan; (5) Kesiapan siswa; (6) Partisipasi masyarakat
setempat; (7) Pendekatan kepala sekolah dengan nara sumber dan instansi
terkait.
Selain itu,
cara menentukan bahan pelajaran muatan lokal untuk satu bidang studi dapat
dilaksanakan dengan empat cara yakni: (1) Bagi bidang studi yang sudah
punya GBPP, disusun pokok bahasan/subpokok bahasan, kemudian dipilih bahan mana
yang berkriteria muatan lokal; (2) GBPP yang telah dipilih, disesuaikan dengan
pola kehidupan masyarakat; (3) Pola kehidupan dalam lingkungan alam, dijadikan
sumber sebagai GBPP yang mungkin sesuai dengan GBPP atau tidak sesuai dengan
GBPP yang telah ada, dan (4) Pola kehidupan dalam lingkungan alam,
dipilih unsur-unsurnya yang perlu dimasukkan dalam program pendidikan kemudian
dibuat GBPP.
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI ERA
GLOBAL
Menurut
Lawrence J. Saha (1997: 348), pendidikan multikultural adalah proses atau
strategi pendidikan yang melibatkan lebih dari satu budaya, yang ditunjukkan
melalui kebangsaan, bahasa, etnik, atau kriteria rasial. Pendidikan
multikultural dapat berlangsung dalam setting pendidikan formal ataupun
informal dan langsung atau tidak langsung. Pendidikan multikultural diarahkan
untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang
mempertimbangkan perbedaan kultural, dan juga perbedaan dan persamaan
antarbudaya serta kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan,
dan sikap.
Definisi tentang pendidikan multikultural lainnya dikemukakan oleh James A.
Bank. Menurutnya (Bank, 1989: 2-3), pendidikan multikultural dapat dipahami
dari 3 aspek, yakni aspek konsep, aspek gerakan, dan aspek proses. Dari aspek
konsepnya, pendidikan multikultural dipahami sebagai ide yang memandang
semua siswa -- tanpa memperhatikan gender dan kelas sosial mereka, etnik
mereka, ras mereka, dan atau karakteristik-karakteristik kultural lainnya --
memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di kelas. Dari aspek gerakannya,
pendidikan multikultural didefinisikan sebagai usaha untuk mengubah
sekolah-sekolah dan institusi-institusi pendidikan sehingga siswa dari semua
kelas sosial, gender, ras, dan kelompok-kelompok kultural memiliki kesempatan
yang sama untuk belajar. Sedangkan dari aspek prosesnya, pendidikan
multikultural dapat dipahami sebagai proses untuk mencapai tujuan agar
kesetaraan pendidikan dapat dicapai oleh semua siswa. Kesetaraan pendidikan,
sebagaimana halnya kemerdekaan dan keadilan, tidak mudah dicapai. Oleh karena
itu, proses ini harus berlangsung secara terus-menerus.
Adapun tujuan pendidikan multikultural itu dapat dibagi menjadi 3, yakni tujuan
yang berkaitan dengan sikap, tujuan yang berkaitan dengan pengetahuan,
dan tujuan yang berkaitan dengan pembelajaran (Lawrence J. Saha, 1997:
349). Tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan ”aspek sikap” (attitudinal
goals) diarahkan untuk mengembangkan kesadaran dan kepekaan kultural,
toleransi kultural, penghargaan terhadap identitas kultural, sikap responsif
terhadap budaya, serta keterampilan untuk menghindari dan meresolusi konflik.
Sedangkan tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan ”aspek
pengetahuan” (cognitive goals) diarahkan untuk memperoleh pengetahuan
tentang bahasa dan budaya orang lain, kemampuan untuk menganalisis dan
menerjemahkan perilaku kultural, dan pengetahuan tentang
kesadaran perspektif kultural. Selanjutnya, tujuan pendidikan multikultural
yang berkaitan dengan ”aspek pembelajaran” (instructional goals)
diarahkan untuk memperbaiki distorsi, stereotip, dan kesalahpahaman tentang
kelompok etnik dalam buku teks dan media pembelajaran; memberikan berbagai
strategi untuk mengarahkan perbedaan di depan orang; memberikan alat-alat
konseptual untuk komunikasi antarbudaya; mengembangkan keterampilan
interpersonal; memberikan teknik-teknik evaluasi; membantu klarifikasi nilai;
dan menjelaskan dinamika kultural.
Menurut Aly (2005), pendidikan multikultural (multikultural education)
sesungguhnya tidak merupakan model pendidikan yang khas Indonesia, tetapi khas
Barat. Amerika, Kanada, Inggris, dan Jerman adalah beberapa negara yang bisa
disebut sebagai contoh negara-negara yang mempraktikkan pendidikan
multikultural. Ada sejumlah nama atau istilah yang biasanya digunakan untuk
menyebut pendidikan multikultural ini, antara lain: intercultural education,
interetnic education, transcultural education, multietnic education, dan crosscultural
education (Abdullah Aly, 2005, diambil dari L.H. Ekstrand dalam Lawrence J.
Saha, 1997: 345-6).
Sebagai sebuah ide, pendidikan multikultural baru dibahas dan diwacanakan
untuk pertama kalinya di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960
oleh sebuah gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right
movement). Tujuan utama gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik
diskriminasi yang biasanya dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok
minoritas baik itu di tempat-tempat publik, di rumah, dan di tempat-tempat
kerja, maupun di lembaga-lembaga pendidikan. Selama itu, di Amerika dan di
negara-negara Eropa Barat hanya dikenal adanya satu kebudayaan, yakni kebudayaan
kulit putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam
masyarakat-masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan
pembatasan terhadap hak-hak mereka (Suparlan, 2002: 2-3). Gerakan hak-hak sipil
ini, menurut James A. Bank (1989:4-5) berimplikasi pada dunia pendidikan dengan
munculnya sejumlah tuntutan untuk melakukan reformasi kurikulum
pendidikan yang sarat dengan diskriminasi. Pada awal tahun 1970-an, muncullah
beberapa kursus dan program pendidikan yang menekankan pada aspek-aspek yang
berhubungan dengan etnik dan keragaman budaya (cultural diversity).
Urgensi pendidikan multikultural dilatarbelakangi oleh pertimbangan keberadaan
masyarakat dengan individu-individu yang berlatar belakang bahasa dan
kebangsaan (nationality), suku (race or etnicity), agama (religión),
jender (gender), dan kelas sosial (sosial class). Keragaman latar
belakang individu dalam masyarakat tersebut berimplikasi pada keragaman latar
belakang peserta didik dalam statu lembaga pendidikan (Bank, 1989:14). Dalam
konteks Indonesia, diasumsikan juga bahwa peserta didik yang ada di berbagai
lembaga pendidikan terdiri atas para peserta didik yang juga memiliki
beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Asumsi ini dibangun
berdasarkan data yang menyebutkan bahwa di Indonesia saat ini terdapat 250
kelompok suku, lebih dari 250 bahasa (lingua franca), 13.000 pulau, dan
6 agama resmi (Suryadinata, dkk., 2003: 30, 71, 104, dan 179). Hal ini
menunjukkan bahwa setidaknya keragaman latar belakang siswa yang ada di
berbagai lembaga pendidikan di Indonesia saat ini memiliki paham keagamaan,
afiliasi politik, tingkat sosial ekonomi, adat-istiadat, jenis kelamin, dan
asal daerah.
Selain itu, urgensi pendidikan multikultural di Indonesia saat ini juga
dilandasi oleh 3 (tiga) teori sosial yang menjelaskan tentang hubungan
antarindividu dalam masyarakat dengan beragam latar belakang agama,
etnik, bahasa, dan budaya. Menurut Ricardo L. Garcia (1982:37-42), ketiga teori
sosial tersebut adalah (1) Melting Pot I: Anglo Conformity, (2) Melting Pot II:
Ethnic Síntesis, dan (3) Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Ketiga teori
sosial tersebut dikenal secara popular dengan sebutan “Teori Masyarakat
Majemuk” atau Communal Theory.
Teori pertama, Melting Pot I: Anglo Conformity, berpandangan bahwa
masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang beragam latar
belakang, seperti agama, etnik, bahasa, dan budaya
harus disatukan ke dalam satu wadah yang paling dominan. Teori ini
melihat individu dalam masyarakat secara hierarkis, yaitu kelompok
mayoritas dan minoritas. Sebagai contoh, apabila mayoritas individu dalam
masyarakat adalah pemeluk agama Kristen, maka individu lain yang memeluk agama
nonkristen harus melebur ke dalam Kristen. Demikian juga apabila yang
mendominasi suatu masyarakat adalah para individu yang beretnik Flores,
maka individu lain yang beretnik non-Flores harus mencair ke dalam etnik
Flores, demikian seterusnya. Teori ini hanya memberi peluang kepada kelompok
mayoritas untuk menunjukkan identitasnya. Sebaliknya, kelompok minoritas sama
sekali tidak memperoleh hak untuk mengekspresikan identitasnya. Identitas dalam
konteks ini dapat berupa agama, etnik, bahasa, dan budaya. Itulah sebabnya,
dikatakan bahwa teori ini sangat tidak demokratis.
Teori kedua, Melting Pot II: Ethnic Synthesis. Teori yang
dipopulerkan oleh Israel Zangwill ini memandang individu-individu dalam suatu
masyarakat yang beragam latar belakangnya disatukan ke dalam satu wadah, dan
selanjutnya membentuk suatu wadah baru dengan memasukkan sebagian unsur budaya
yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam masyarakat tersebut. Identitas
agama, etnik, bahasa, dan budaya asli para anggotanya melebur menjadi identitas
yang baru, sehingga identitas lamanya menjadi hilang. Sebagai contoh, apabila
dalam suatu masyarakat terdapat individu-individu yang beretnik Flores, Sumba,
Timor, Alor, Rote, dan Sabu, misalnya, maka identitas dari keenam etnik
tersebut menjadi hilang dan selanjutnya membentuk sebuah identitas etnik yang
baru. Islam Jawa di Kraton dan masyarakat sekitarnya yang merupakan perpaduan
antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai Kejawen, misalnya, adalah salah satu
contohnya di Indonesia. Meskipun demikian, teori ini belum sepenuhnya
demokratis, karena hanya mengambil sebagian unsur budaya asli individu dalam
masyarakat dan membuang sebagian unsur budaya yang lain.
Teori ketiga, Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Teori yang
dikembangkan oleh Berkson ini berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri
dari individu-individu yang beragam latar belakang agama, etnik, bahasa,
dan budaya itu memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan identitasnya
masing-masing secara demokratis. Teori ini sama sekali tidak meminggirkan
identitas budaya tertentu, termasuk identitas budaya kelompok minoritas
sekalipun. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu pemeluk agama Islam,
Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu, maka semua pemeluk agama
tersebut diberi peluang untuk mengekspresikan identitas keagamaannya
masing-masing. Bila individu suatu masyarakat berlatar belakang budaya
Timor, Flores, Sumba, Alor, Rote, dan Sabu, misalnya, maka masing-masing
individu berhak mengekspresikan identitas budayanya, bahkan diijinkan utnuk
mengembangkannya. Masyarakat yang menganut teori ini teridiri atas
individu-individu yang sangat pluralis. Dengan demikian, masing-masing
identitas individu dan kelompok dapat hidup dan membentuk mosaik yang
indah.
Dari ketiga teori komunal di atas, ”teori ketigalah” yang dijadikan
dasar oleh pendidikan multikultural. Untuk konteks Indonesia, teori ini sejalan
dengan semboyan Negara Indonesia, Bhineka Tunggal Ika. Menurut Aly (2005),
secara normatif, semboyan tersebut memberi peluang kepada semua warga negara
dan bangsa Indonesia untuk mengekspresikan identitas agama, etnik, bahasa, dan
budayanya masing-masing, bahkan diberi kesempatan atau diijinkan untuk
mengembangkannya.
KURIKULUM, STRATEGI, DAN MANAJEMEN
PENDIDIKAN
Dari segi
didaktik, kurikulum merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan
multikultural. Dengan mengacu pada definisi dan tujuan pendidikan multikultural
sebagaimana telah dipaparkan pada bagian terdahulu, maka sejatinya kurikulum
pendidikan multikultural itu berisikan materi-materi yang dapat
menghadirkan lebih dari satu perspektif mengenai suatu fenomena kultural.
Untuk menghadirkan keragaman perspektif dalam kurikulum pendidikan
multikultural ini, James J. Bank, sebagaimana dikutip Zoran Minderovic
(2004:2), menawarkan 4 (empat) tahapan dalam pelaksanaannya, yaitu: (1) tahap
kontribusi (contribution level); (2) tahap penambahan (additive level);
(3) tahap perubahan (transformative level); dan (4) tahap aksi sosial (social
action level).
Bila pada tahap kontribusi, kurikulum pendidikan multikultural memfokuskan
perhatiannya pada kebudayaan minoritas tertentu, misalnya, maka pada tahap
penambahan, kurikulum pendidikan multikultural itu akan memperkenalkan konsep
dan tema-tema yang baru, misalnya tema-tema yang berkaitan dengan
multikulturalisme -- dengan tanpa mengubah struktur kurikulum yang esensial.
Selanjutnya, apabila pada tahap perubahan, kurikulum pendidikan multikultural
dimaksud memfasilitasi para siswa untuk melihat berbagai isu dan
peristiwa dari perspektif budaya minoritas, maka pada tahap aksi sosial,
muatan kurikulum pendidikan multikultural tersebut mengajak para siswa untuk
memecahkan problem sosial yang disebabkan oleh perbedaan persepsi budaya dalam
satu dimensi tertentu.
Sementara itu, dari aspek metodik, ternyata strategi dan managemen pembelajaran
juga merupakan aspek yang tidak kalah penting dalam bidang pendidikan
multikultural. Harry K. Wong, penulis buku How to be An Active Teacher The
First Days of School, sebagaimana dikutip Strarr (2004: 2) mendefinisikan managemen
pembelajaran sebagai “praktik dan prosedur yang memungkinkan guru
mengajar dan siswa belajar.”
Terkait praktik dan prosedur ini, Garcia (1982: 146) menyebutkan setidaknya ada
3 (tiga) faktor yang harus diperhatikan dalam manajemen pembelajaran. Ketiga
faktor dimaksud adalah: (1) lingkungan fisik (physical environment); (2)
lingkungan sosial (social environment); dan (3) gaya pengajaran guru (teacher’
teaching style).
Dalam konteks pembelajaran, siswa memerlukan lingkungan fisik dan sosial yang
aman dan nyaman. Untuk menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman, guru
dapat memperhatikan aspek pencahayaan, warna, pengaturan meja dan kursi, serta
tanaman, dan musik. Guru yang memiliki pemahaman yang baik tentang latar
belakang budaya siswanya, akan menciptakan lingkungan fisik yang kondusif
untuk belajar.
Sedangkan lingkungan sosial yang aman dan nyaman juga dapat diciptakan oleh
sang guru melalui upaya pemilihan bahasa yang tepat dan baik (unsur diksi),
hubungan yang simpatik antarsiswa dan antara guru dengan siswa, serta perlakuan
yang adil terhadap siswa yang beragam latar belakang budayanya (Starr, 2004:
4).
Di samping lingkungan fisik dan sosial, para siswa juga sangat memerlukan gaya
pengajaran yang menggembirakan dari seorang guru. Garcia (1982:146) dalam
uraiannya juga menyatakan bahwa gaya pengajaran guru merupakan gaya atau teknik
pengawalan yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran (the kinds of
leadership or governance techniques a teacher uses). Dalam proses
pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat berpengaruh bagi ada atau
tidaknya peluang siswa untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan.
Sehubungan dengan gaya kepemimpinan guru, setidaknya terdapat beberapa jenis
gaya kepemimpinan, yakni otoriter, demokratis, dan bebas-merdeka (laizzes
faire). Gaya kepemimpinan otoriter tidak memberikan peluang kepada siswa
untuk saling berbagi pendapat. Apa yang diajarkan oleh guru kepada siswa
ditentukan sepenuhnya oleh sang guru. Sebaliknya, gaya kepemimpinan guru
yang demokratis memberikan peluang kepada siswa untuk menentukan materi yang
perlu dipelajari oleh siswa. Sedangkan guru yang menggunakan gaya kepemimpinan
bebas-merdeka (laizzes faire) menyerahkan sepenuhnya kepada siswa
untuk menentukan sendiri materi pembelajaran di kelas. Untuk kelas
yang beragam latar belakang budaya siswanya, agaknya lebih cocok menggunakan
gaya kepemimpinan guru yang demokratis (Styles, 2004: 3).
Para guru boleh saja memakai pendekatan atau gaya kepemimpinan yang demokratis
tersebut untuk menerapkan beragam strategi pembelajaran seperti dialog,
simulasi, bermain peran, observasi, dan penanganan kasus. Melalui dialog,
misalnya, guru dan para murid bisa mendiskusikan sumbangan aneka budaya dari
orang-orang berlainan suku bagi kepentingan kehidupan bersama sebagai bangsa.
Tidak cuma itu. Melalui dialog, guru dan para siswanya juga dapat mendiskusikan
dan merumuskan bahwa semua orang dari budaya apapun ternyata menggunakan hasil
kerja orang lain dari latar belakang budaya yang lain pula. Sementara
itu, melalui simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi untuk
memerankan diri sebagai orang-orang yang memiliki agama, etnik, bahasa,
dan budaya tertentu dalam pergaulan sehari-hari. Pada kesempatan-kesempatan
tertentu, misalnya, bisa dilaksanakan proyek atau kepanitiaan bersama dengan
melibatkan siswa-siswi dari beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan
budaya. Sedangkan melalui observasi dan penanganan kasus, siswa dan guru
difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di tengah-tengah masyarakat
multikultural. Pada kesempatan live-in tersebut mereka diminta untuk
mengamati proses-proses sosial yang terjadi di antara individu dan kelompok,
sekaligus (bila sangat diperlukan) dapat memediasi konflik yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat multikultural dimaksud.
Dengan strategi pembelajaran yang demikian, diasumsikan bahwa para siswa akan
memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman
budaya dalam kehidupan sosial. Lebih dari itu, mereka akan memiliki pengalaman
nyata untuk ikut melibatkan diri dalam mempraktikkan nilai-nilai yang
diperolehnya dari pendidikan multikultural dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, sikap dan perilaku hidup yang toleran, simpatik, bahkan empatik juga
pada gilirannya akan tumbuh dalam diri masing-masing siswa. Untuk itu,
proses pembelajaran yang difasilitasi oleh guru sesungguhnya tidak
sekadar berorientasi pada ranah kognitif, melainkan juga pada ranah
afektif, dan psikomotorik.
Dalam kaitannya dengan pendekatan demokratis, sebagai salah satu gaya
kepemimpinan yang diidealkan, Elashmawi dan Harris (1994: 6-7) menawarkan 6
(enam) poin kompetensi multikultural bagu guru, yakni : (1) memiliki nilai dan
hubungan sosial yang luas; (2) terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman
siswa; (3) siap menerima perbedaan disiplin ilmu, latar belakang, ras,
dan gender; (4) memfasilitasi pendatang baru dan siswa yang minoritas;
(5) mau berkolaborasi dan koalisi dengan pihak manapun; dan (6) berorientasi
pada program dan masa depan. Selain itu, James A. Bank (1989: 104-5)
menambahkan bahwa kompetensi multikultural lain yang harus dimiliki oleh guru,
yaitu: (a) sensitif terhadap perilaku etnik para siswa; (b) sensitif terhadap
kemungkinan adanya kontroversi tentang matreri ajar; dan (c) menggunakan teknik
pembelajaran kelompok untuk mempromosikan integrasi etnik dalam
pembelajaran.
PERJUMPAAN MULOK & PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL
Bila kita
cerdas mencermati kaitan antara substansi dan atau nafas dari Kurikulum Muatan
Lokal dengan Strategi Pendidikan Multikultural, maka tampak jelas betapa
pendidikan multikultural di era global saat ini sangat membutuhkan pemahaman
yang komprehensif dari para guru yang profesional tentang materi dan strategi
pembelajaran nilai-nilai budaya sebagaimana diamanatkan dalam kurikulum muatan
lokal.
Definisi dan tujuan pendidikan multikultural, misalnya, dengan tegas menyatakan
bahwa kurikulum pendidikan multikultural itu sesungguhnya berisikan
tentang materi-materi yang dapat menghadirkan lebih dari satu perspektif
mengenai suatu fenomena kultural. Selain itu, perhatikan juga tawaran James J.
Bank sebagaimana dikutip oleh Zoran Minderovic (2004: 2) tentang 4 tahapan
pelaksanaan kurikulum multikultural, yakni (1) tahap kontribusi (contribution
level); (2) tahap penambahan (additive level); (3) tahap perubahan (transformative
level); dan (4) tahap aksi sosial (social action level). Demikianpun
halnya dengan adanya 3 faktor yang harus diperhatikan dalam konteks manajemen
pembelajaran multikultural sebagaimana dikemukakan oleh Garcia (1982: 146),
masing-masing dengan penjelasan seperlunya sebagaimana telah dikemukakan di
atas.
Beberapa hal yang terkait dengan strategi pembelajaran yang diamanatkan dalam
pendidikan multikultural yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dipersyaratkan
dalam praktik pembelajaran kurikulum muatan lokal diasumsikan bahwa para siswa
akan memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya
keragaman budaya dalam kehidupan sosial. Bahkan melalui itu semua, para siswa
dimampukan dan diharapkan akan memiliki pengalaman nyata untuk ikut melibatkan
diri dalam mengimplementasikan nilai-nilai yang diperolehnya baik dari
proses pembelajaran muatan lokal maupun dari pendidikan multikultural dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, sikap dan perilaku hidup yang toleran,
simpatik, bahkan empatik juga pada gilirannya akan tumbuh dalam diri
masing-masing siswa. Untuk itu, proses pembelajaran yang difasilitasi oleh guru
sesungguhnya tidak sekadar berorientasi pada ranah kognitif, melainkan
juga pada ranah afektif, dan psikomotorik.
Perhatikan juga relevansi antara substansi muatan lokal dengan pendekatan
demokratis dalam konteks pendidikan multikultural sebagai salah satu gaya
kepemimpinan yang diidealkan, yang oleh Elashmawi dan Harris (1994: 6-7)
dijadikan sebagai acuan dalam menawarkan 6 (enam) poin kompetensi multikultural
bagi guru seperti yang sudah dikemukakan di atas. Dengan demikian, pada tataran
implementatif, kurikulum dan materi mulok tidak hanya bermanfaat bagi
guru dalam konteks pendidikan multikultural, melainkan juga ada
keterbukaan dan proses sharing di antara keduanya, sehingga konsep dan
strategi pembelajaran multikultural tertentu pun dapat diadopsi ke dalam
strategi pembelajaran muatan lokal dengan tetap memperhatikan relevansi di
antara keduanya tanpa mengabaikan asas manfaat bagi masing-masing, baik
manfaat bagi pembelajaran muatan lokal maupun bagi pendidikan multikultural.
KESIMPULAN
Dengan
memperhatikan paparan singkat pada bagian terdahulu, penulis ingin menegaskan
bahwa kurikulum, materi, metode, dan strategi pembelajaran muatan lokal
sesungguhnya sangat penting kontribusinya dalam mendukung wacana dan praktik
pembelajaran multikultural. Hal ini dirasakan sangat besar manfaatnya karena di
era global seperti saat ini masyarakat dunia di manapun, termasuk kita sebagai
masyarakat bangsa Indonesia, tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai
dampak negatif kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di satu sisi, kita perlu mensyukuri berbagai bentuk dan hasil kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang tidak saja memampukan masyarakat dunia memenuhi
pelbagai kebutuhan hidupnya bahkan menikmati berbagai bentuk kemewahan,
kenyamanan, dan kesejahteraan hidupnya, di sisi lain, kita perlu juga
memiliki sikap mawas diri terhadap berbagai dampak ikutan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang bersifat negatif. Apabila kita tidak memperluas
wawasan kita tentang khazanah budaya daerah masing-masing dan memperkuat sikap
mental kita terkait identitas dan atau jati diri kita sebagai masyarakat bangsa
Indonesia dalam bingkai NKRI, maka pada saatnya kita akan hanyut dalam gemerlap
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan ikut berdampak negatif pada
kehilangan jati diri sebagai bangsa.
Untuk itulah diperlukan semangat yang tulus untuk bekerja keras mempelajari
pendidikan nilai kepada para siswa didik, anak-cucu, dan generasi penerus
pemilik dan pewaris nilai-nilai budaya nusantara melalui program pembelajaran
di sekolah-sekolah kita dengan cara mengimplementasikan kurikulum muatan lokal.
Dengan demikian, diharapkan agar para anak didik kita pada saatnya tidak hanya
cerdas secara intelektual tetapi juga berkarakter ke-Indonesia-an atau
memiliki integritas kepribadian sebagai bangsa Indonesia yang akan mampu
bertahan menghadapi hiruk-pikuk pergaulan dunia dan perjumpaan beraneka latar
budaya di tengah arus globalisasi pada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alqadrie,
Sharif Ibrahim. 2005. ”Sosialisasi Pluralisme dan Multikulturalisme Melalui
Pendidikan.” http://www.damandiri.or.id/file/ernibab2.pdf.
Diakses tanggal 1 Mei 2008.
Aly, Abdullah.
2005. “Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik.” Makalah.
Disampaikan dalam Seminar Pendidikan Multikultural sebagai Seni Mengelola
Keragaman. PSB-PS UMS Surakarta, 8 Januari 2005.
Garcia, Ricardo L. 1982. Teachging
in A Pluralistic Society: Concept, Models, Strategies. New York:
Harper & Row Publisher.
Huntington, Samuel P. 2000. Benturan
Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta:
Qalam.
Matsumoto, D. 1996. Culture and
Psychology. California: Brooks/Cole Publishing Co.
Rahman. 2005.
”Pentingnya Pendidikan Multikultur Atasi Konflik Etnis.” http://www.ganto-online.com/index.php?option-com
content&tast=view&id=55&Item=73. Diakses tanggal 1 Mei 2008.
Siahaan, H. 2002. “Sinophobia dan
Eksklusivisme: Antara Mitos dan Realitas” dalam Dari Samudera Pasai ke
Yogyakarta: Persembahan Lepada Teuku Ibrahim Alkfian. Jakarta:
Yayasan Masyarakat Sejarahwan dan Sinergi Press.
Starr, Linda. 2004. “Creating a
Climate for Learning: Effective Classroom Management Techniques,” dalam
http://www.educationworld.com/a_curr/curr/curr155.shtml.
Suparlan, Parsudi. 2003. “Menuju
Masyarakat Indonesia yang Multikultural.” http://www.scripp.ohiou.edu/news/cmdd/artikel-ps.htm. Diakses 1 Mei 2008.
Syles, Donna. 2004. “Creating
a Climate for Learning: Effective Classroom Management,” dalam http://www.educationworld.com/a
curr/profdev012.shtml.
* Tulisan ini
disarikan dari makalah yang pernah penulis sampaikan pada kesempatan ”Lokakarya
Finalisasi Kurikulum Muatan Lokal” bagi para Kepala Sekolah Penerima Dana DBEP
Dutch Grant dan Para Pengawas Sekolah Sekabupaten Lembata di Hotel Lewoleba,
Kamis 18 Februari 2010 dalam kapasitas penulis sebagai Co-Team leader/IDS
(Institutional Development Specialist) Konsultan DBEP (Decentralized Basic
Education Project) Dutch Grant Provinsi Nusa Tenggara Timur.
posted by Jurnal Online Uniflor @ 19.49,
0 Comments:
Posting Komentar