Site Network: Lembaga Publikasi Uniflor |

 



Majalah Ilmiah INDIKATOR, Volume XIII, Nomor 1, Maret 2011


REVITALISASI KEARIFAN LOKAL
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF
DI KABUPATEN ENDE: DEKONSTRUKSI SENTRALISME HUKUM
DAN KEBIJAKAN MULTIKULTURAL

S. Hudijono
Jurusan PPKn, FKIP, Universitas Nusa Cendana, Jln. Adisucipto,
 Kupang, Telepon 08123768456.
P. Ng. Tanggubera
Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Nusa Cendana, Jln. Adisucipto, Kupang
Nong Hoban
Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Flores, Jln. Sam Ratulangi,
Ende, Flores, Telepon 081339678162

Abstract
Court as an institution is important but not everyone knows how much the “price” that should be paid to have a case is (time, financial, damaged relationship between human beings and psychologicallost). In addition, so far the legal structure existing in Indonesia only for supporting the interest or group in the community establishing the law (law centralization). Therefore, there is gap between formal law and the substantive (essential) law. For that reason there should be a pattern developed to recréate the fórum of dispute settling that actually expresses the community values and functions in the manners that are affordable by the society. Generaly, this research aims to revitalize the local wisdom as the alternative dispute-setting basis. Particulary, it aims to deconstruct the law centralization and to develop multicultural wisdom. This particular objective not only represents the court triviality, but also anticipates the law simulacrum emerging, namely the anomalous, distorted and counterfeit legal sign and image, but is claimed as if the law truth. The research was taken place in Regency Ende, East Nusa Tenggara, and with the location determined purposively, that is, Sub districts Ende, Wolojita and Ndona. Technique of collecting data was done using observation and in-depth interview, Focus Group Discussion, and documentation. The result of data analysis was presented both formally and informally. The result of research shows that local wisdom revitalization in the alternative dispute resolution brings out the dispute settling policy corresponding to the local cultura, that can become the one that is efficient is cost and time, impartial and does not generate the prolonged resentment. 
Kata Kunci
Kearifan lokal, sengketa alternatif, dekonstruksi, multikulturalisme.

PENDAHULUAN
Formalisme hukum, tak dapat disangkal, sering terasa sebagai tirani pemerintahan, virtual justice (pengadilan pura-pura), justice demon (hantu keadilan), terutama saat menghadapi the perfect crime (kejahatan sempurna).  Keadaan tersebut disebabkan unsur moral, sosial budaya, dan rasa keadilan tidak dapat dipisahkan dari legal reasoning  yang berbeda untuk tiap-tiap budaya. Karena itu, perlu dikembangkan pola yang dapat membentuk kembali forum penyelesaian sengketa yang secara sungguh-sungguh mengekspresikan nilai-nilai komunitas dan yang berfungsi dengan cara-cara yang dikenal dan terjangkau oleh masyarakat.
Cara penyelesaiannya adalah dengan merevitalisasi kearifan lokal dalam penyelesaian sengketa. Revitalisasi kearifan local, kata Astra (2004: 115) adalah menggali serta merumuskan dengan tepat kearifan-kearifan yang “masih terpendam” dalam aspek-aspek kehidupan, memupuk yang sudah berfungsi dengan baik, dan mengkritisi yang kurang berfungsi. Revitalisasi kearifan lokal dalam penyelesaian sengketa adalah suatu dekonstruksi sentralisme hukum, yang kata Balkin (Salman S & Susanto, 2005: 127) ada tiga alasan yang menarik di dalamnya. Pertama, teknik ini memberikan cara untuk melakukan kritik mendalam tentang doktrin hukum. Kedua, dekonstruksi dapat menjelaskan bagaimana argumentasi hukum, berbeda dengan ideologi. Ketiga, menawarkan cara interpretasi baru terhadap teks hukum.
Penelitian ini sangat bermakna untuk mengembalikan kesadaran kolektif masyarakat lokal  sehingga tidak tercabut dari akarnya, dan di pihak lain perlu adanya upaya membangkitkan kesadaran kolektif bersama dalam kaitannya dengan tetap tegaknya perasaan identitas nasional bersama sebagaimana telah terbentuk melalui proses sejarah yang panjang. Kebijakan yang dihasilkan penelitian ini akan tetap mengoherensikan nilai-nilai lokal dan identitas nasional, sehingga tidak memunculkan etnosentrisme di tingkat lokal yang mengakibatkan berkembangnya paham-paham separatisme.

KEADILAN DALAM DINAMIKA BUDAYA ENDE
Bagi masyarakat Ende, legal reasoning  atau nalar legal suatu  peradilan dalam memutus perkara, harus dapat diterima rasa keadilan masyarakat. Pengungkapan kasus-kasus penyuapan dan korupsi yang diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) akhir-akhir ini semakin menguatkan kesan masyarakat Ende bahwa keadilan bisa dibeli. Di Ende, meskipun putusan suatu lembaga peradilan memiliki keabsahan formal, namun jika tidak diterima masyarakat, maka akan menghadapi hambatan-hambatan yang sangat serius dalam pelaksanaannya. Penyelesaian sengketa alternatif memperlihatkan perkembangan kearifan lokal sebagai warisan bersama  (common heritage)  yang menjadi dasar terwujudnya keadilan yang didambakan. Ditinjau dari aspek hukum, pendekatan budaya dalam penyelesaian sengketa perlu dilakukan. Dari titik ini ditegaskan bahwa penyelesaian sengketa alternatif  merupakan modal  dan salah satu mata rantai bagi penegakan hukum. Mengabaikan penyelesaian sengketa alternatif adalah menghilangkan salah satu mata rantai penting itu. Penyelesaian sengketa alternatif mempunyai pendekatan yang lebih empiris, lebih manusiawi, dan membumi, serta menanggalkan egoisme pribadi maupun egoisme kelompok.
Sebagai satu-kesatuan kultural, masyarakat Ende dengan budaya aslinya, memiliki kearifan lokal yang terus dijaga dan dipelihara keberadaannya, termasuk penerapannya dalam penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa alternatif di kedepankan, karena masyarakat menganggap lembaga peradilan sering tidak memberikan respons terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan keadilan. Mereka menganggap putusan-putusan pengadilan yang memakai paradigma  legal centralism  (sentralisme hukum) sering tidak membumi dan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Ketika mereka merasa bahwa rasa keadilan mereka berbeda dengan keadilan yang diberikan oleh pemerintah melalui pengadilan, maka preferensi mereka dalam penyelesaian sengketa adalah penyelesaian sengketa yang sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat mereka. Hal ini mengandung pengertian bahwa  mereka mempunyai kesempatan untuk memilih kelembagaan yang ada (lembaga-lembaga non-litigasi) untuk menyelesaikan sengketanya. Masyarakat sering merasa, lembaga peradilan sering meninggalkan akar keadilan, yang mencakup akar moralitas, akar sosial, dan akar budaya. Untuk kasus-kasus yang mereka anggap berat, pengadilan memutus dengan hukuman ringan, sedangkan untuk kasus-kasus yang mereka anggap ringan, pengadilan memutus dengan hukuman berat. Rasa keadilan mereka memberontak, mereka mempunyai “pemutus sengketa” yang ahli, dan hal itu bisa mereka dapatkan dalam mekanisme sengketa di luar pengadilan. Dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang mereka miliki, biaya-biaya untuk mencari keadilan dapat ditekan, sekian banyak waktu dapat dihemat, hubungan kekerabatan dapat tetap dijalin, tanpa seorang pun dipermalukan.
Kearifan lokal yang mereka terapkan dalam penyelesaian sengketa di antara mereka, mempunyai legitimasi yang kuat dalam masyarakat mereka. Suaseru (sumpah adat atau kutukan) dan  supa  (sumpah waktu mengadakan perjanjian)  dipercayai karena mempunyai citra keabadian dan keramat. Jika ada pihak yang dirugikan, dengan menggunakan pemutus sengketa yang ahli (mediator, konsiliator, dan lain-lain), dicari “upaya hukum” untuk meniadakan penyebab sengketa. Pihak pelanggar memberikan ganti rugi kepada pihak-pihak yang dirugikan, dan melalui  perdamaian yang hampir selalu disertai ritual tertentu,  keadaan menjadi normal kembali dan ketertiban dalam masyarakat dapat dipulihkan.
Bagi masyarakat Ende, jika pun sampai berperkara ke pengadilan, yang dipentingkan bukanlah prosedur formal, tetapi “nurani pengadilan” (conscience of the court).  Pengadilan akan menjadi suatu lembaga yang benar-benar berwibawa jika memiliki nurani. Lebih jauh diharapkan oleh masyarakat Ende bahwa pengambilan putusan itu tidak hanya menggunakan logika dan rasio, tetapi melibatkan rasa/perasaan manusia sang hakim. Hakim yang baik akan memasang telinganya sedemikian rupa sehingga dapat mendengar degup jantung pihak-pihak yang bersengketa yang berbicara tentang harapan-harapannya. Hakim diharapkan dapat menyuarakan hal-hal itu, yang sering disebut sebagai “suara-suara yang terdalam.” Inilah yang disebut nurani pengadilan, yang tidak mudah diwadahi dalam kode etik yang biasa karena sudah menyentuh ranah perasaan yang mendasar. Dengan adanya nurani, pengadilan benar-benar menjadi  “rumah keadilan” yang berwibawa. Dengan demikian, akan terhindar dari sekedar “berhukum secara formal” atau “mengadili untuk menjalankan undang-undang dan prosedur.”

PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF
Konflik tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan  tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian maupun kepada pihak lain (Usman, 2003: 1). Piliang (2005: 304) menjelaskan, ada beberapa faktor penyebab konflik, antara lain faktor ekonomi, politik, budaya, dan komunikasi, yang secara bersama-sama menutup pintu bagi penyelesaiannya.
Faktor komunikasi, ditengarai  sebagai faktor penting yang menyebabkan munculnya sengketa antar indvidu maupun kelompok. Berbagai sengketa yang berkepanjangan dapat dilihat sebagai akibat dari tidak berjalannya dengan baik komunikasi dari berbagai pihak yang berbeda kepentingan, berbeda latar belakang budaya, berbeda ideologi hidup, sehingga menimbulkan berbagai bentuk kesalahpengertian, kesalahpahaman, dan kesalahpenilaian. Karena tak ada komunikasi yang baik, berbagai sengketa yang seharusnya dapat diselesaikan dengan duduk bersama dalam wacana dialogis, dibiarkan berkembang sehingga tercipta kesalahpengertian (disinformation).  Jika hal-hal seperti itu dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin,  perkara-perkara yang kecil akan berkembang menjadi berbagai bentuk kebencian, yang kadang-kadang berujung pada kekerasan fisik. Secara umum, sengketa di Ende berawal dari dua hal, yaitu: ate lo’o  (iri hati, cemburu) dan  mea  (malu).
Penyelesaian sengketa alternatif sangat menonjolkan wacana komunikasi dua pihak yang bersengketa dan sikap-sikap dialogis dengan tujuan win-win solution.  Selalu diusahakan oleh pihak ketiga, yaitu pihak yang membantu penyelesaian sengketa tersebut (mediator, negosiator, konsiliator), agar pihak-pihak yang bersengketa dapat saling mengerti perasaan pihak lain, sehingga timbul kesalingpahaman (mutual understanding).  Kesalingpahaman sangat diperlukan dalam penyelesaian sengketa alternatif, agar sengketa tidak mengonstruksi hubungan sosial  yang asimetris,  di mana pihak yang satu yang lebih dominan berusaha mengontrol pihak lain dengan cara-cara penekanan (repression)  maupun pemaksaan (force) untuk mencapai kemenangan.
Sengketa yang paling umum terjadi di Ende adalah sengketa tanah. Seperti halnya kebanyakan masyarakat lainnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mengandalkan penghidupannya dari sektor pertanian, masyarakat Kabupaten Ende berpandangan bahwa “tanah” merupakan unsur kehidupan yang sangat penting. Oleh karena itu, dalam pandangan sebagian besar masyarakat Kabupaten Ende,  setiap orang harus  mempunyai tanah sebagai tempat ia mencari penghidupan dan berkembang biak. Tanah tidak hanya bermakna duniawi, tetapi juga bermakna religius, karena tanah utamanya tanah suku, merupakan pemberian leluhur mereka  secara turun-temurun. Hal ini kelihatan baik pada waktu dimulainya musim tanam maupun panen. Mosalaki memimpin ritual tertentu untuk memohon bantuan kepada leluhur agar tanah yang dimanfaatkan memberikan hasil yang  berlimpah untuk kesejahteraan umat manusia. Dalam satu-kesatuan adat, sebelum ritual itu dilaksanakan di kebun adat  (utama), tak seorang pun warga berani memulainya. Filosofi yang memandang tanah tidak sekedar bermakna “duniawi” (sumber kehidupan) tetapi sekaligus bermakna “religius,” telah menjadikan tanah sebagai  sesuatu yang utama, di mana dalam suatu persengketaan akan dipertahankan hidup atau mati.
Sumber pokoknya adalah masalah kepemilikan yang tidak jelas atas sebidang tanah, karena dihuni atau dikerjakan secara turun-temurun oleh orang-orang yang dahulunya  berasal dari nenek moyang dan cikal-bakal yang sama. Upaya masyarakat untuk mendapatkan sertifikat tanah sangat sulit. Hal ini disebabkan, terdapatnya beberapa keluarga yang mengaku hanya memiliki hak garap saja atas  sebidang tanah suku. Oleh kepala suku beberapa generasi yang lalu, awalnya mereka hanya diberi kesempatan untuk menggarap saja dan dilarang untuk menjualnya. Di sini timbul persoalan. Pihak penggarap karena sudah cukup lama menghuni atau mengerjakan tanah tersebut, bahkan sudah beranak cucu, ingin supaya tanah tersebut secara resmi menjadi miliknya. Namun pihak keluarga/keturunan pemberi tanah tidak mengijinkannya. Jadi,  sengketa tanah sebetulnya bermula dari ketidakjelasan hak atas tanah oleh seseroang atau sebuah keluarga.

REVITALISASI KEARIFAN LOKAL
Setiap komunitas, seperti juga masyarakat Ende, memiliki seperangkat pengertian dan perilaku, baik yang  diwariskan dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalaman komunitas tersebut. Terdapat semacam kekuatan atau  kemampuan komunitas tersebut untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai persoalan atau silang sengketa yang dihadapi. Seiring dengan berjalannya waktu, rangkaian dan pengertian itu mengkristal   menjadi sekumpulan nilai atau ajaran moral, yang kemudian dikenal dengan  lokal wisdom  atau kearifan lokal. Secara praktis, menurut Tranggono (2008: 14), kearifan lokal dapat dilihat dari dua dimensi. Dimensi pertama adalah pengetahuan, dan dimensi kedua adalah praktiknya, berupa pola-pola interaksi dan perilaku atau tindakan.
Ende adalah salah satu wilayah yang dihuni etnik-etnik asli yang memiliki kearifan lokal. Juga dalam hal penyelesaian sengketanya. Hal ini menjadi persoalan yang menarik, antara lain karena selalu dikait-kaitkan dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi dengan dunia supranatural. Etnik-etnik asli yang menghuni wilayah Ende, tidak akan berbuat sembarangan, karena mereka percaya bahwa para leluhur, kendatipun telah berada di alam arwah tetap memantau perbuatan mereka agar selalu sesuai dengan gagasan-gagasan dasar moralitas yang yang diwariskan. Ungkapan Du’a kami nira neni tolo tei miu  sebagaimana dikemukakan oleh  Mbete (2006: 50), mengadung pengertian bahwa leluhur akan selalu memantau  langkah-langkah hidup manusia. Juga ungkapan ma’e fe’a mea (jangan meremehkan dan merendahkan orang lain), merupakan ajaran yang sangat arif yang diwariskan para leluhur bagi etnik-etnik yang mendiami  wilayah Ende.
Akan tetapi,  tidak semua kehidupan dapat berjalan sesuai yang direncanakan. Kapitalisme global yang tidak terkendali yang menghasilkan budaya konsumerisme dapat menjadi penyebab bermulanya proses penghancuran budaya lokal. Karena itu,  virus-virus budaya konsumerisme yang melahirkan sifat-sifat  “asosial”  seperti ate loo’o  (iri hati, cemburu), mea (membuat malu orang lain)  harus  diubah,  dalam rangka menghidupkan kembali atau revitalisasi budaya lokal yang mengedepankan kesederhanaan, kebersamaan, tenggang rasa, dan kasih sayang. Yang perlu dilakukan adalah mengubah pandangan masyarakat penganut budaya konsumerisme. Mengubah pandangan  adalah mengubah paradigma kehidupan sosial itu sendiri.
Pada konteks kearifan lokal, masyarakat Ende mempunyai filosofi wuamesu,  sebagai sumber daya moral kehidupan bersama. Mbete (2006: 88) menyatakan, secara semantis dan harafiah, wuamesu  mengandung makna belas kasih, cinta kasih, dan atau kasih sayang. Filosofi  wuamesu  adalah pengikat nurani, yang menengarai adanya pertalian akar budaya lokal Lio-Ende sebagai tumpah darah bagi masyarakat yang terikat di dalamnya, kendati mereka berada di perantauan. Jadi,  wuamesu  adalah prinsip moral untuk menciptakan harmoni sosial. Dalam konteks yang lebih sempit lagi, ada uangkapan Ende pawé Lio saré.  Ungkapan ini untuk kebersamaan dua suku yang paling dominan di Kabupaten Ende, yaitu suku Ende dan suku Lio dalam membangun solidaritas.
Dengan filosofi wuamesu,  penyelesaian sengketa alternatif bukanlah sebuah oposisi terhadap hukum nasional, tetapi pilihan;  bukan arus tandingan, tetapi katup-katup penyalur;  bukan gerakan egoistik, tetapi jaringan arus-arus kecil,  yang menjadi kekuatan bagi pencari keadilan, selama hukum positif yang diintroduksi negara tidak dapat dijadikan sandaran untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Di wilayah Kabupaten Ende, kearifan-kearifan lokal yang berfungsi sebagai pedoman perilaku  yang bersifat tradisional tersebut, pelaksanaannya dilakukan oleh suatu kelembagaan yang bertindak sebagai pengatur sekaligus sebagai pengawas tingkah laku warga masyarakat berdasarkan norma-norma tersebut. Kelembagaan tersebut dikenal dengan nama Mosalaki. Lembaga ini terdiri dari orang-orang tertentu, yang berdasarkan keturunan mempunyai kedudukan yang utama dalam masyarakat. Selain memegang peranan penting dalam vitalisasi kearifan-kearifan lokal dan adat-istiadat, mereka juga penguasa atas seluruh tanah persekutuan (ulayat) dalam suatu kawasan tertentu. Jadi,  mereka adalah juga tuan tanah/penguasa atas tanah (tana watu).  Tanah-tanah persekutuan (ulayat) dipandang sebagai warisan leluhur dan sekaligus simbol identitas persekutuan.
Terkait dengan menguatnya sentralisme hukum, peranan  Mosalaki  punya tendensi menurun, terutama di daerah-daerah perkotaan dan pesisir, di mana penduduknya bukan etnik Ende asli.  Hal ini tidak mengherankan, karena kepemilikan tanah pada lokasi-lokasi seperti ini kebanyakan sudah menjadi milik pribadi,  bukan lagi  tanah persekutuan (ulayat) yang berada di bawah kekuasaan Mosalaki. Namun, di mana Mosalaki  masih menguasai tanah-tanah persekutuan (hak ulayat), apresiasi masyarakat terhadap pernanan  Mosalaki  masih sangat tinggi. Kawasan-kawasan tersebut adalah (1) Kecamatan Wolojita; (2) Kecamatan Ndona; (3) Kecamatan Wewaria; (4) Kecamatan Kota Baru; (5) Kecamatan Maurole; (6) Kecamatan Nangapanda; (7) Kecamatan Wolowaru.

DEKONSTRUKSI SENTRALISME HUKUM
Tradisi-tradisi dalam penyelesaian sengketa alternatif di Kabupaten Ende adalah “narasi kecil” yang merupakan unsur-unsur posmodernitas untuk mendekonstruksi narasi besar berupa sentralisme hukum yang menolak keberagaman. Oleh karena itu,  tradisi tidak bertentangan dengan kemajuan bahkan alat menuju kemajuan. Perhatian terhadap narasi-narasi kecil juga berarti perhatian terhadap kelompok-kelompok kecil yang selama ini termarginalisasi. Juga berarti membuka ketertutupan hukum yang selama ini hanya mendasarkan diri pada pasal-pasal dan ayat-ayat dalam aturan hukum yang beku dan formal. Pemberdayaan terhadap narasi-narasi kecil (nilai-nilai moral setempat seperti halnya yang terdapat di Kabupaten Ende) akan meningkatkan kritisisme konstrukstif yang cukup hati-hati dalam dunia peradilan yang tidak egaliter, yang lebih banyak memenangkan orang-orang yang punya power.
Mengapa sentralisme hukum perlu didekonstrusi? Piliang (2004b: 168) menyatakan, ketika “kejahatan”  bersatu dengan “kekuasaan,”  ia  menemukan tempat yang sempurna bagi persembunyiannya. Dengan bersembunyi di balik sebuah kekuasaan, kejahatan dapat menyempurnakan dirinya. Ia dapat lebih leluasa bergerak di balik topeng-topeng kekuasaaan: ia lebih terlindung dari jangkauan hukum di balik cadar-cadar kebangsaan, ia lebih aman menancapkan cengkeraman kekuasaannya di balik jargon-jargon ekonomi,  ia lebih leluasa melepaskan hasratnya di balik tabir-tabir nasionalisme.

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN MULTIKULTURAL 
Multikulturalisme adalah gerakan dalam memperjuangkan hubungan yang harmonis, berkeseimbangan dan berkeadilan di antara kebudayaan mayoritas dan minoritas. Masyarakat akan dilihat sebagai masyarakat yang multikultural, ketika budaya-budaya etnis minoritas medapat ruang hidup dan eksistensinya  berdasarkan asas persamaan, keadilan, dan kesetaraan dengan budaya mayoritas. Dalam kaitannya dengan hal di atas, pemerintah Indonesia dianggap dapat mengembangkan kebijakan multikultural dalam penyelesaian sengketanya,  dan memang ini sudah seharusnya,  bila kebudayaan minoritas seperti halnya kebudayaan Ende diperlakukan secara berkeseimbangan dan berkeadilan dengan kebudayaan mayoritas, seperti halnya kebudayaan Jawa, Sumatera, Bali, dan lain-lain.
Menurut Ardika (2007: 26), multikulturalisme lebih menekankan pentingnya keragaman atau adanya yang lain (otherness) daripada keseragaman. Muktikulturalisme juga menjunjung kesetaraan dan keadilan. Selain itu,  prinsip multikultural  menyatakan bahwa demokratisasi adalah mekanisme mempertahankan kebebasan  berekspresi, sehingga tidak mengurangi hak individu/kelompok untuk menunjukkan kekhususannya. Multikulturalisme adalah varian teori perbedaan yang mengambil ide dari gagasan postmodernisme bahwa perbedaan manusia secara analitis lebih penting ketimbang kesamaan mereka  (Agger, 2005: 140). Multikulturalisme merayakan perbedaan sebagai suatu kerangka kerja yang ada di dalamnya untuk menghargai banyak kelompok dan kekhasan mereka serta pengalaman mereka. Multikulturalisme memperbaiki politik identitas untuk mengungkapkan keterpinggiran mereka, yang secara konseptual berbeda dengan keterpinggiran kelompok-kelompok lain. Orang lain di luar kelompok tidak dapat berbicara atas nama mereka, karena orang lain tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya menjadi mereka. Tujuan “politik keragaman” ini adalah untuk menghasilkan narasi yang memungkinkan anggota kelompok tertindas atau terpinggirkan merumuskan identitas personal rasional berdasarkan keanggotaan mereka di dalam kelompok ini.
Terdapat hubungan yang positif antara multikulturalisme dan teori sosial kritis. Teori sosial kritis menumbuhkan kesadaran untuk melakukan perubahan sosial, termasuk perubahan dalam penegakan hukum. Habermas (dalam Agger, 2005: 146) berpandangan bahwa teori kritis harus menghargai gerakan ini karena muncul dari perlawanan lokal masyarakat terhadap suatu dominasi. Multikulturalis berusaha memberdayakan minoritas atau kaum yang terpinggirkan dengan menempatkan identitas mereka dalam kesetaraan budaya dengan kelompok-kelompok lain yang mungkin secara entitas lebih besar. Dengan kata lain, multikulturalis membawa kembali wacana kaum yang terpinggirkan untuk memberi mereka identitas,  subjektivitas,  dan kepribadian.
Penyelesaian sengketa alternatif di Kabupaten Ende yang menyandarkan diri pada kearifan lokal, memiliki urgensi untuk direvitalisasi dalam kehidupan saat ini. Dalam konteks kekinian, di mana berbagai bentuk kekerasan merajalela ke mana-mana, muncul kesan bahwa kekerasan adalah usaha yang sah dalam menyelesaikan sengketa atau konflik kepentingan. Pola hubungan seperti itu menggejala, baik dalam tingkat lokal maupun nasional. Orang terperangkap dalam  truth claim  sepihak. Mereka dan kelompoknyalah yang paling benar, sehingga ujung-ujungnya memaksakan “kebenaran” tersebut. Untuk itu,  jalan kekerasan pun sah-sah saja digunakan. Padahal kekerasan akan menimbulkan kekerasan yang baru. Kenyataan seperti itu menyimpulkan pentingnya revitalisasi kearifan lokal yang dijadikan sandaran dalam penyelesaian sengketa di  Ende dengan cara yang lebih substansial. Melalui penghargaan terhadap keberagaman ini,  nilai-nilai multikulturalisme akan muncul keluar.
Di  Kabupaten Ende,  penyelesaian sengketa dilengkapi dengan pementasan ritus tertentu, ini adalah suatu tradisi yang perlu dikembangkan dan direaktualisasi kembali. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah sesuatu yang baik, karena menghindarkan orang dari perbuatan main hakim sendiri. Namun,  akan lebih baik lagi apabila persengketaan itu dilakukan di luar pengadilan. Kearifan lokal serta tradisi, kata A’la (2002: 174),  merujuk kepada segala sesuatu yang ditransmisikan, oleh masa lalu ke masa sekarang. Dalam konteks Ende,  ritus-ritus tertentu dalam penyelesaian sengketa di Ende  adalah sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian masyarakat  Ende yang berasal dari masa lalu. Dalam pengertian semacam ini, tradisi penyelesaian sengketa di Ende sangat maknawi untuk menciptakan perdamaian. Sebab, netralitas yang ada di dalamnya mengandung aspek-aspek holistik yang didambakan dalam kehidupan manusia dari satu zaman ke zaman yang lain, yaitu kedamaian. 

KESIMPULAN
Revitalisasi kearifan lokal sangat penting dalam proses penyelesaian sengketa yang muncul antara para warga, karena pada masyarakat lokallah nilai-nilai, ide-ide, anggapan-anggapan, persepsi, dan lembaga hukum yang dirasakan adil itu hidup, tumbuh, dan berkembang. Pada tataran pencarian keadilan, budaya hukum masyarakat akan sangat menentukan, apakah hukum negara akan digunakan atau tidak dalam menyelesaikan suatu masalah. Masyarakat membutuhkan ruang-ruang tertentu yang secara kultural tidak menghambat hubungan sosial dan menjadi “ruang bersama” bagi masyarakat multikultural dalam menciptakan perdamaian. Masyarakat menginginkan agar  “kekitaan” yang inklusif tidak merosot menjadi “kekamian” yang eksklusif, kekamian tidak dibayang-bayangi  liyan  yang hadir sebagai saingan atau ancaman. Selain itu, dalam masyarakat yang kebanyakan mengalami keterbatasan ekonomi, diperlukan penyelesaian sengketa yang hemat biaya (efektif/efisien), berbasis kultur setempat, sehingga menjamin  sense of  justice.
Bagi para pengusung pluralisme, penyelesaian sengketa alternatif ini hendaknya menjadi pilihan pertama dalam berbagai ranah kehidupan bila terjadi sengketa  karena sifat dasarnya sangat menghargai multikulturalisme. Penghargaan terhadap multikulturalisme akan meredam gejolak semangat  “kita atau mereka”  yang melanda masyarakat akhir-akhir ini. Atas pertimbangan tersebut, diajukan saran untuk menjamin bahwa  penyelesaian sengketa alternatif benar-benar berjalan efektif, harus dipastikan bahwa para agen penyelesai sengketa benar-benar mampu menjalankan tugasnya dan memahami benar karakter masyarakat setempat berikut potensi kekerasan yang mungkin terjadi apabila proses berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini akan muncul bila penyelesaian sengketa berjalan tidak seimbang.

DAFTAR PUSTAKA
Ardika, I Wayan. 2007. Pusaka Budaya & Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan.
Ardika, I Wayan. 2007. “Budaya sebagai Unggulan Universitas Udayana,” dalam 45 Tahun Universitas Udayana, Evaluasi dan Pemikiran Para Guru Besar.  Denpasar: Udayana University Press.
Agger, Ben. 2005.  Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Penerjemah Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Astra, I Gde Semadi. 2004. “Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Memperkokoh Jatidiri Bangsa di Era Global,” dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra (Ed). Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik.  Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Balimangsi Press. Hal. 92 – 107.
A’la, Abd. 2002. Melampaui Dialog Agama.  Jakarta: Buku Kompas.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Kultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir. 2004a. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan.  Yogyakarta: Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir. 2004b. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir. 2004c. “Semiotika sebagai Metode dalam Penelitian Desain,” dalam  T. Christomy & Untung Yuwono (Ed). Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia. Halaman 87-108. *

posted by Jurnal Online Uniflor @ 20.00,

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home