Site Network: Lembaga Publikasi Uniflor |

 



Majalah Ilmiah INDIKATOR, Volume XIII, Nomor 1, Maret 2011


EKSISTENSI HUKUM ADAT PERTANAHAN
DAN UUPA NOMOR 5 TAHUN 1960 DALAM KERANGKA
PENERTIBAN ADMINISTRASI PERTANAHAN

Oleh Christiana Sri Murni
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Flores,
 Jln. Sam Ratulangi, Ende, Flores, Telepon 081353758866


Abstract
Federation of public customary law right over  land called customary right for land rights. This right to be recognized by the state through Article 3 of the Principal Agrarian Law. The criteria of customary right for land rights still exist, that is the existence of public customary law that fulfill certain characteristics as the subject of  customary right for land rights. The presence of land / territory with certain limits which is the object of costumary right for land rights. The existence of public customary law authority to regulate the land use and maintenance of land, to regulate and determine the legal relationship between people with the land, to regulate and establish the legal relationship between persons and legal actions relating to land. To control the land administration, land registration is done to get the evidence in the form of legal certificate. The customary right for land rights is necessary to be stated in the map registration, but on the community land certificate is not issued, because costumary right for land rights is not the subject to land registration. By having the legal certificate certainty of law regarding the subject of right and objects of right become real. Procurement of land for the implementation of development for public use, includes three ways, that is the release of land rights, the revocation of land rights, the sale and purchase, exchange, or by other means agreed upon voluntarily by the parties concerned.
Kata Kunci
Hukum  adat, hak ulayat, subjek tanah,  objek  tanah, sertifikat, kepastian hukum.


PENDAHULUAN
Permasalahan tanah dari segi empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin komplek dengan diterbitkannya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokrasi di bidang pertanahan. Kesadaran akan arti pentingnya melakukan reformasi di berbagai bidang dalam upaya untuk mencari jalan keluar dari krisis ekonomi yang mulai dirasakan akhir tahun 1977.
            Berbicara tentang Pembidangan  dan pokok bahasan hukum agraria secara garis besar setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi 2 bidang, yaitu :
Pertama : Hukum agraria perdata (keperdataan) adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada hak perorangan dan badan hukum yang memperbolehkan, mewajibkan, melarang diperlakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan tanah atau tentang obyeknya  tanah yang meliputi : hak penguasaan tanah meliputi hak bangsa Indonesia atas tanah, hak menguasai dari negara, hak ulayat, hak perseorangan atas tanah.  
Kedua : hukum administrasi adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang memberi wewenang kepada pejabat dalam menjalankan praktek hukum negara dan mengambil tindakan dari masalah-masalah agraria yang timbul, yaitu tentang pendaftaran tanah, pengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah.
            Mengacu kedua bidang tersebut maka penulis memberi penekanan materi makalah ini tentang  : Hak ulayat dan pengakuannya oleh UUPA, Eksistensi hak ulayat, Kepastian hukum hak atas tanah, pengadaan  tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Adapun alasannya bahwa secara empiris materi tersebut masih banyak menimbulkan konflik di masyarakat, sehingga tulisan ini diharapkan dapat dijadikan referensi dan memberi pencerahan pemahaman bagi yang membutuhkan.

HAK ULAYAT DAN PENGAKUAN OLEH NEGARA
Saat ini dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah untuk keperluan pembangunan, sementara tanah negara dapat dikatakan hampir tidak tersedia lagi, isu tentang eksistensi hak ulayat perlu mendapat pemikiran yang proporsional. Paling tidak dapat dikatakan  ada dua pandangan /sikap mengenai isu tersebut, yakni di satu pihak kekahawatiran bahwa hak ulayat yang semula sudah tidak ada kemudian dinyatakan hidup lagi. Di pihak lain ada kekhawatiran bahwa dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah, akan semakin mendesak hak ulayat yang keberadaannya dijamin oleh pasal 3 UUPA.
Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UUPA merupakan hal yang wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasal 3 UUPA menegaskan pengakuan tersebut dengan menyebutkan “ dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
UUPA sendiri tidak memberikan penjelasan tentang hak ulayat itu, kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht dalam kepustakaan hukum adat. Hak ulayat sebagai istilah teknis yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masysrakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam maupun ke luar.
Pasal 3 UUPA menyebut tentang masyarakat hukum adat , tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertiannya. Bahkan dalam berbagai kesempatan dalam memori penjelasan sering digunakan istilah masyarakat hukum.  Namun sesuai dengan fungsi suatu peraturan penjelasan, maka apabila dalam memori penjelasan  disebut masyarakat hukum, yang dimaksud adalah masyarakat hukum adat yang disebut secara ekplisit dalam Pasal 3 tersebut.
Secara  teoritis pengertian masyarakat hukum dan masyarakat hukum adat berbeda.  Menurut Kusumadi Pujosewojo (1971), mengartikan masyarakat hukum sebagai suatu masyarakat yang menetap, terikat dan tunduk pada tata hukumnya sendiri. Sedangkan  masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan solidaritas yang sangat besar di antara para anggota, yang memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya. Pemanfaatannya oleh orang luar harus dengan ijin dan pemberian imbalan tertentu, berupa rekognisi dan lain-lain.
Beberapa ciri pokok masyarakat hukum adat adalah mereka merupakan suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari kekayaan perorangan, mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan tertentu.
Dengan demikian, hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum (subyek hak) dan tanah/wilayah tertentu (obyek hak). Hak ulayat tersebut berisi wewenang :
1.      Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok tanam, dan lain-lain), persediaan  (pembuatan pemukiman/persawahan baru) dan pemeliharaan tanah.
2.      Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu pada subyek tertentu).
3.      Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan dan lain-lain).
 Isi wewenang hak ulayat tersebut menyatakan bahwa hubungan antara masyarakat hukum adat dan tanah/wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan milik sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara dan tanah, menurut Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.

EKSISTENSI HAK ULAYAT 
UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat itu. Nanum, dengan mengacu pada pengertian fundamental tersebut diatas, dapatlah dikatakan bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus dilihat pada 3 hal, yakni :
1)      Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentui subyek hak ulayat.
2)      Adannya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu yang merupakan obyek hak ulayat
3)      Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu sebagaimana diuraikan diatas (Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, 2005).
Dipenuhinya ketiga persyaratan tersebut secara kumulatif, kiranya cukup obyektif sebagai kriteria penentu masih adanya atau tidaknya hak ulayat, sehingga misalnya, walaupun ada masyarakat hukum dan ada tanah atau wilayahnya, namun apabila masyarakat hukum tersebut tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan tiga tindakan tersebut, maka hak ulayat dapat dikatakan sudah tidak ada lagi.
Pemenuhan kriteria tersebut sesuai dengan rasa keadilan berdasarkan dua hal. Di satu pihak, bila hak ulayat memang menipis atau sudah tidak ada lagi hendaknya hal ini menjadi kesadaran bersama bahwa sebetulnya secara sosiologis masyarakat hukum adat telah ditingkatkan menjadi bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945. Tidaklah pada tempatnya untuk mencoba menghidupkan kembali hal-hal yang justru dapat mengaburkan kesadaran berbangsa dan bertanah air satu. Dipihak lain, bila hak ulayat dinilai memang masih ada, maka harus diberikan pengakuan atas hak tersebut disamping pembebanan kewajibannya oleh negara. Pengakuan atas hak itu tampak misalnya, apabila tanah ulayat diberikan untuk pembangunan (sesuai dengan fungsi sosial yang melekat pada hak ulayat) maka pihak yang memerlukan tanah harus meminta ijin pada masyarakat hukum tersebut. Dan apabila diperlukan, juga memberikan pemulihan keseimbangan berupa apapun yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat hukum tersebut maupun masyarakat sekitarnya. Kewajiban yang dibebankan kepada masyarakat hukum tersebut, antara lain berupa pemeliharaan tanah, kesuburannya, serta pelestarian lingkungannya. Kiranya diperlukan pengaturan hak ulayat yang berisi pokok-pokok pikiran mengenai kriteria eksistensi hak ulayat, siapa saja yang berwenang menentukan eksistensi hak ulayat tersebut, mekanisme penentuan hak ulayat, penempatan/kedudukan hak ulayat dalam sistem hukum tanah nasional, hak-hak dan kewajiban yang melekat pada hak ulayat, ciri-ciri/ sifat-sifat hak ulayat dll. Dengan terbentuknya peraturan tersebut diharapkan akan tercapai kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Berbagai kasus tentang tanah ulayat yang timbul dalam skala regional maupun nasional tidak pernah akan memperoleh penyelesaian secara tuntas tanpa adanya kriteria obyektif yang diperlukan sebagai tolok ukur penentu keberadaan hak ulayat. Peraturan menteri negara agraria/ kepala BPN No.5 tahun 1999 tentang pedoman penyelasaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat. Kriteria penentu tentang keberadaan hak ulayat terdiri dari 3 unsur yakni: adanya masyarakat hukum adat tertentu, adanya hak ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil keperluan hidup masyarakat hukum adat itu, dan adanya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat itu (Pasal 2). Penentuan tentang keberadaan hak ulayat dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan masyarakat hukum adat yang ada di daerah tersebut, pakar hukum adat, LSM, dan instansi yang terkait dengan sumber daya alam. Keberadaan hak ulayat itu dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dan bila batas-batasnya dapat ditentukan menurut tata cara pendaftaran tanah, batas tersebut digambarkan pada peta dasar pendaftaran tanah dan tanah dicatat dalam daftar tanah. Pengaturan lebih lanjut berkenaan dengan keberadaan hak ulayat itu diatur dengan peraturan daerah. Sebelum terbitnya perda yang dimaksud akan terdapat bidang-bidang tanah yang sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut UUPA atau sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan menurut ketentuan dan tata cara yang berlaku. Dalam hal ini pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat terhadap bidang-bidang tanah tersebut tidak dapat dilakukan lagi (Pasal 3).
Bidang-bidang tanah ulayat dimungkinkan penguasaannya oleh perseorangan, baik warga maupun bukan warga masyarakat hukum adat dan badan hukum, bila warga masyarakat hukum adat yang menguasai bidang tanah menurut hukum adat yang berlaku itu menghendaki, hak atas tanahnya dapat didaftar menurut ketentuan UUPA. Bagi instansi pemerintah, badan hukum, atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, penguasaan bidang tanah dengan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA baru dapat diberikan setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
Khusus untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan HGU dan hak pakai (HP), pelepasan tanah ulayat dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah utuk jangka waktu tertentu. Bila jangka waktunya habis atau tanahnya tidak dipergunakan lagi sehingga HGU/HP dihapus, maka penggunaannya selanjutnya harus dilakukan dengan persetujuan  dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayatnya masih ada. Pemberian, perpanjangan, dan pembatuan HGU/HP oleh negara tidak boleh melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diberikan oleh masyarakat hukum adat tersebut.
Efektivitas peraturan tentang pengukuan hak ulayat tergantung pada inisiatif pemerintah daerah untuk melakukan penelitian sebagi dasar penentuan keberadaan hak ulayat di daerah bersangkutan, baik ketika timbul permasalahan pada saat tanah hak ulayat tertentu diperlukan untuk menunjang berbagai kegiatan pihak lain, maupun pada saat tidak ada permasalahan, yakni dalam rangka memperoleh informasi mengenai status tanah-tanah di daerah tersebut.
Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa terhadap bidang-bidang tanah ulayat yang sudah dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum dengan suatu hak menurut UUPA, atau oleh instansi pemerintah, badan hukum, perseorangan yang diperoleh menurut tata cara yang berlaku sebelum terbitnya perda, maka pelaksanaan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat tidak berlaku lagi. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atau mereka yang memperoleh tanah dan menguasainya secara sah. Perolehan adalah sah apabila memenuhi syarat material, yakni diperoleh dengan itikad baik menurut cara yang disepakati para pihak, dan syarat formal, yakni dilakukan menurut ketentuan dan tata cara peraturan perundangan yang berlaku.
Pemberian bidang tanah ulayat oleh masyarakat hukum adat atau warganya dapat ditempuh dengan cara dilepaskan untuk selama-lamanya atau diberikan penggunaanya untuk jangka waktu tertentu. Dalam upaya mencapai kesepakatan, kompensasi yang diberikan kepada masyarakat hukum adat hendaknya mempertimbangkan hilangnya atau berkurangnya tanah dan sumber daya alam yang menjadi sumber penghidupannya dan hilangnya pusat-pusat budaya dan religi masyarakat hukum adat tersebut. Manfaat yang diperoleh pihak luar tersebut hendaknya dapat bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Keberadaan hak ulayat dinyatakan dalam peta pendaftaran, tetapi terhadap tanah ulayat tidak diterbitkan sertifikat karena hak ulayat bukan obyek pendaftaran tanah, disamping itu sifatnya yang dinamis memungkinkan terjadi individualisasi secara alamiah karena faktor sosial-ekonomis yang membawa penguruh terhadap perubahan internal di kalangan masyarakat hukum adat sendiri.
Terbitnya Permen ini seyogianya mempertegas komitmen terhadap pengukuan hak-hak masyarakat hukum adat dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait (UU tentang lingkungan hidup, UU kehutanan, UU transmigrasi, dan lain-lain). Pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat mewujudkan penghormatan kepada hak orang lain dan upaya perlindungannya secara wajar. Hak ulayat itu tidak bersifat eksklusif. Masyarakat hukum adat berkewajiban untuk turut serta mewujudkan tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memberikan kesempatan kepada pihak-pihak di luar anggota masyarakat hukum adat untuk ikut menggunakan tanah berikut sumber daya alamnya dengan cara-cara yang disepakati bersama. Bila semua ketentuan dan hak serta kewajiban ditaati, kekhawatiran terjadinya bahaya disintegrasi karena diakuinya hak ulayat dapat ditepis.

KEPASTIAN HUKUM HAK ATAS TANAH                
            Untuk memberikan jaminan kepastian hukum khususnya di bidang pendaftaran tanah, maka pembentukan hukum di bidang pertanahan telah dilakukan dengan suatu peraturan perundang-undangan yang terakhir dengan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
            Pasal 19 UUPA menyatakan:” (1) untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Selanjutnya ayat (2) menegaskan bahwa pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) itu meliputi kegiatan :
a.       Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah
b.      Pendaftaran hak-hak atas tanah peralihan hak-hak tersebut
c.       Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
            Akselerasi dalam pembangunan nasional sangat memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pendaftaran tanah. Penyelenggaraan pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sebagai hukum positif dan ketentuan pelaksanaan peraturan pemerintah ini diatur dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Badan pertanahan nasional Nomor 3 Tahun 1997. Peraturan pemerintah tersebut merupakan pelaksanaan dari amanat Pasal 19 UUPA. Pendaftaran tanah dilaksanakan secara sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau kelurahan, atau sebagainya yang terutama dilakukan atas prakarsa pemerintah, dan secara sporadik, yaitu pendaftaran mengenai bidang-bidang tanah atas permintaan pemegang atau penerima hak yang bersangkutan secara individual atau masal (Irawan Soerodjo, 2002, 118).
 
Kegiatan pendaftaran tanah akan menghasilkan tanda bukti hak atas tanah yang disebut sertifikat, merupakan realisasi salah satu tujuan UUPA. Kewajiban untuk melakukan pendaftaran tanah itu prinsipnya dibebankan kepada pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, daerah demi daerah berdasarkan pertimbangan ketersediaan peta dasar pendaftaran. Di Indonesia baru sekitar 55 juta bidang tanah yang ada, baru sekitar 30 persen yang bersertifikat.
            Sertifikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran tanah berisi data fisik (keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah, serta bagian bangunan atau bangunan yang ada diatasnya bila dianggap perlu) dan data yuridis  (keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar, pemegang hak atas tanah, dan hak-hak pihak lain, serta beban-beban lain yang berada diatasnya). Dengan memiliki sertifikat maka kepastian hukum berkenaan subyek hak dan obyek haknya menjadi nyata.
            Disamping itu sertifikat memberikan berbagai manfaat, yakni dapat mengurangi kemungkinan timbulnya sengketa, memperkuat posisi tawar menawar bila diperlukan pihak lain, mempersingkat proses peralihan hak dan mempunyai nilai lebih bagi pemegang sertifikat.

PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM 
Tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia karena mempunyai
fungsi ganda, yaitu social asset dan capital asset . Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan.  Sebagai capital asset tanah  sebagai benda ekonomi yang yang sangat penting sekaligus sebagai perniagaan dan objek spekulasi. Di satu sisi tanah dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, secara lahir, batin, adil dan merata, sedangkan disisi lain juga harus dijaga kelestariannya.
            Sebagai karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis bagi bangsa negara, dan rakyat, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup bangsa Indonesia sehingga perlu campur tangan negara turut mengaturnya. Hal ini sesuai amanat Konstitusional  sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
            Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan bumi (tanah),
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian antara dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Artinya, dikuasainya bumi (tanah), air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara, semata-mata dimaksudkan agar dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan kelompok atau golongan tertentu dari rakyat Indonesia, terlebih hanya untuk elit tertentu dari instansi pemerintah yang membutuhkan tanah tersebut.
Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA(UU No. 5 Tahun 1960) diartikan sebagai kepentingan kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA dijabarkan tentang pengertian hak menguasai dari negara (HMN) sebagai berikut.
1.      Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan , penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
2.      Menentukan dan mengatur hubungan –hubungan hukum antara orang-orang  dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
3.      Menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
      Dari ketentuan Pasal 2 ayat 2 UUPA dapat diketahui bahwa makna hak menguasai dari negara memiliki kewenangan :
1.         Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2.         Menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
3.         Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
            Dalam tataran teoritis, menurut hukum alam konsep hak menguasai negara (HMN) menempatkan tanah sebagai salah satu objek pemilikan, baik oleh perseorangan maupun masyarakat. Dengan demikian, negara bukan sebagai pemilik (privat) atas tanah sebab pemilik atas tanah adalah manusia alami. Sementara itu, tanah-tanah tak bertuan atau tanah masyarakat hukum yang diduduki oleh warga masyarakat menjadi bagian dari sifat keteraturan pola kepemilikan tanah individual. Pencabutan hak individu oleh negara berdasarkan undang-undang mewujudkan kuatnya pengakuan hak individu atas tanah tersebut. Dalam kaitannya dengan kepemilikan  tanah oleh negara, negara tidak dapat memiliki tanah dalam pengertian milik (eigendom) yang berisi kekuasaan mutlak atas tanah namun negara dapat menguasai tanah untuk kepentingan publik.
Konsep HMN menurut teori perjanjian masyarakat (du contract social) sebagaimana dikemukakan oleh JJ. Rousseau yang didukung pendapat M. Kaser dan PBJ.Wubbe menyatakan bahwa hak milik perseorangan atas tanah diserahkan berdasarkan perjanjian masyarakat yang dijelmakan dengan hukum. Dalam kehidupan bernegara, seluruh kekayaan yang ada adalah milik publik dan dikuasai oleh hukum negara.
            Sebagai konsekuensi dari hak menguasai oleh negara (HMN) agar dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, UUPA memberikan kekuasaan yang besar dan kewenangan yang sangat luas kepada negara untuk mengatur alokasi atas sumber-sumber agraria menjadi sangat tergantung kepada politik hukum dan kepentingan negara.
            Bertolak dari konsep hak menguasai negara, negara mempunyai kewenangan untuk menentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang diberikan kepada dan dapat dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan badan hukum. Disamping itu negara juga mempunayi hak untuk mencabut hak-hak atas tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh warga negara dengan memberikan ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
            Apabila dilihat dari fungsi hak atas tanah, pencabutan hak atas tanah didasarkan juga prinsip bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Artinya  seseorang tidak mempunyai kewenangan mutlak untuk menggunakan hak atas tanah atau tidak dengan sekehendak hatinya, jika hal itu merugikan orang lain. Apabila umum dan kepentingan masyarakat luas maka harus diberlakukan fungsi sosial terhadap hak atas tanah tersebut yakni kepentingan individu dikorbankan demi kepentingan umum.  Jadi prinsip kepemilikan atas tanah menurut UUPA di samping menghormati hak-hak individual juga memerhatikan kepentingan yang lebih luas dengan menentukan adanya fungsi sosial dari suatu hak atas tanah.
            Menurut konsep Friedrich Hegel yang menempatkan hak manusia pribadi hanya sebagai bagian dari hak masyarakat secara keseluruhan walaupun manusia pribadi diakui mempunyai kedudukan yang sangat penting.
Dalam Pasal 6 UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ketentuan tersebut mendasari sifat kebersamaan atau kemasyarakatan dari setiap hak atas tanah. Dengan fungsi sosial tersebut hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidak dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian masyarakat.
            Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan pemilik sekaligus bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut tidak berarti kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Disamping kepentingan umum, UUPA juga memperhatikan kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi hingga tercapainya tujuan pokok, yaitu kemekmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.
            Konsep fungsi sosial hak atas tanah sejalan dengan hukum adat yang menyatakan bahwa tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat adalah tanah kepunyaan bersama seluruh warga masyarakat bersangkutan. Artinya kepentingan bersama dan kepentingan orang per orangan harus saling terpenuhi dan penggunaannya dilakukan bersama-sama di bawah pimpinan penguasa adat. Untuk dapat memenuhi kebutuhan, setiap warga diberi kesempatan untuk membuka, menguasai, menghaki, mempunyai, dan memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari tanah adat/ulayat.
            Apabila suatu bagian tanah sudah diberikan kepada warga maka harus dimanfaatkan dan dipelihara sehingga tindakan pembiaran/penelantaran suatu bagian tanah dapat dinilai menyalai tujuan pemberian hak atas tanah tersebut. Penguasa adat mempunyai kewenangan untuk mengambil kembali tanah-tanah yang ditelantarkan tersebut dan mengalihkan kepada warga masyarakat lainnya untuk dimanfaatkan.  Demikian, hak atas tanah menurut hukum adat bukan hanya berisi wewenang tetapi juga kewajiban untuk memanfaatkannya. Konsep pemilikan tanah menurut hukum adat tersebut kemudian diterima dalam UUPA sebagai hukum tanah nasional.
Dengan demikian, tanah yang dihaki dan dimiliki oleh seseorang tidak hanya berfungsi bagi pemilik hak itu, tetapi juga bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sebagai konsekuensinya, penggunaan tanah tersebut tidak hanya berpedoman pada kepentingan pemegang hak, tetapi juga harus mengingat dan memperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan perorangan yang mempunyai tanah dan kepentingan masyarakat. Untuk itu perlu adanya perencanaan, peruntukan,dan penggunaan hak-hak atas tanah.
            Dengan menggunakan tanah sesuai rencana yang telah ditetapkan oleh Pemerintah berarti fungsi sosial atas sesuatu hak atas tanah telah terpenuhi. Kepentingan umum harus lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi, sesuai dengan sas hukum yang berlaku bagi terselenggaranya kehidupan bersama dalam masyarakat. Meskipun demikian, kepentingan individu juga tidak dapat diabaikan karena hak individu atas tanah dihormati dan dilindungi oleh hukum.Apabila kepentingan umum mendesak kepentingan individu sehingga kepentingan tersebut mengalami kerugian maka dia harus diberi ganti rugi secara layak.
            Sehubungan hal tersebut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah mengatur masalah pemberian ganti rugi berkaitan dengan pencabutan hak atas tanah individu yang digunakan bagi kepentingan umum. Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992  tentang Penataan Ruang yang menyebutkan bahwa apabila kegiatan pembangunan yang dilaksanakan telah sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan merugikan seseorang yang mempunyai tanah maka dia berhak memperoleh penggantian kerugian yang layak.
            Fungsi sosial hak atas tanah mewajibkan para pemegang hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, yakni keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Apabila kewajiban tersebut diabaikan akan mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. Jika sesuatu hak atas tanah ditelantarkan maka haknya akan hapus dan tanahnya menjadi tanah negara.
          Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah meliputi :
a.    Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi.
b.    Waduk, bendungan, bendungan irigasi, dan bangunan pengairan lainnya.
c.    Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal.
d.   Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain.
e.    Tempat pembuangan sampah
f.     Cagar alam dan cagar budaya
g.    Pembangkit, transmisi, distribusi  tenaga listrik.

ASAS-ASAS PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
            Kepemilikan seseorang atas tanah merupakan suatu hak yang bersifat keperdataan dan hak-hak ekonomi yang substansinya didasarkan atas asas-asas hukum yang berlaku. Asas-asas tersebut dimaksudkan untuk melindungi hak setiap orang atas tanahnya agar tidak dilanggar atau dirugikan ketika berhadapan dengan kepentingan umum.
Untuk pengadaan tanah dalam bentuk pelepasan hak atau pembebasan tanah harus didasarkan  pada asas-asas hukum :
1.      Asas Kesepakatan
Asas kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah. Kesepakatan dilakukan atas dasar persesuaian kehendak kedua belah pihak tanpa ada unsur paksaan, kekhilafan dan penipuan serta dengan itikad baik. Hal ini perlu karena hubungan kedua belah pihak adalah hubungan keperdataan yang berasal dari perjanjian sehingga unsur pasal 1320 KUH Perdata terpenuhi.
2.      Asas Keadilan
 Dalam rangka pengadaan tanah, asas keadilan diletakkan sebagai dasar penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi yang harus diberikan kepada pemilik tanah dan orang-orang yang terkait dengan tanah yang dicabut atau dibebaskan haknya untuk kepentingan umum. Asas keadilan dikongkritkan dalam pemberian ganti rugi, artinya dapat memungkinkan kondisi sosial ekonomi mereka minimal setara atau setidaknya masyarakat tidak menjadi lebih miskin dari sebelumnya. Prinsip keadilan juga harus meliputi pihak yang membutuhkan tanah agar dapat memperoleh perlindungan hukum. Penerapan asas keadilan dalam peraturan pengadaan tanah yakni masyarakat yang terkena dampak pembangunan harus memperoleh ganti rugi yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonomi mereka minimal setara dengan keadaan sebelum dilakukan pelepasan atau pencabutan hak atas tanah. Di sisi lain pihak yang membutuhkan tanah juga memperoleh tanah sesuai rencana dan peruntukannya serta mendapatkan perlindungan hukum.
3.      Asas Kemanfaatan
Pelepasan hak atau pencabutan hak atas tanah pada prinsipnya harus dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan tanah dan masyarakat yang tanahnya dilepaskan atau dicabut. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat terwujud sehingga pembangunan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana untuk berbagai fasilitas kepentingan umum. Di samping itu, pihak masyarakat pemilik tanah dapat diberikan ganti rugi yang layak atau dapat diberikan tanah pengganti dan permukiman kembali sehingga tingkat kehidupan sosial ekonominya dapat menjadi lebih baik, atau setidaknya tidak menjadi lebih miskin dari sebelum tanah dicabut atau dilepaskan.
4.      Asas Kepastian Hukum
Pelaksanaan pengadaan tanah harus memenuhi asas kepastian hukum, yakni dilakukan dengan cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di mana semua pihak dapat mengetahui dengan pasti hak dan kewajibannya masing-masing. Di samping itu, kepastian hukum juga harus tertuju terhadap pemberian ganti rugi  atas lepasnya hak atas tanahnya  akibat dilepaskan  atau dicabut haknya untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Di sisi lain, pihak yang membutuhkan tanah juga harus memperoleh kepastian untuk dapat menikmati atau mengusahakan tanah tersebut tanpa mandapat gangguan dari pihak manapun.
5.      Asas Musyawarah
Musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan di antara kedua belah pihak dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Menurut Moch. Koesnoe, musyawarah menunjuk pada pembentukan kehendak bersama dalam urusan mengenai kepentingan hidup bersama dalam masyarakat yang bersangkutan sebagai keseluruhan, sedangkan mufakat menunjuk pada pembentukan kehendak bersama antara dua orang atau lebih, di mana masing-masing berpangkal dari perhitungan untuk melindungi kepentingan masing-masing sejauh mungkin (Moch. Koesnoe, Catatan –catatan terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, Surabaya,1979: 45).
Musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai harga ganti rugi serta mekanisme pembayaran dan pelepasan hak atas tanahnya. Dalam musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama juga tidak boleh terdapat unsur penipuan, kesesatan dan atau paksaan.
Dalam musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum harus dilakukan menurut alur yang patut, artinya masing-masing pihak tidak merasa dirugikan atau tercapai kompromi yang memuaskan kedua belah pihak (win-win solution).
6.      Asas Keterbukaan
              Peraturan mengenai pengadaan tanah harus dikomunikasikan kepada masyarakat sehingga masyarakat memperoleh pengetahuan mengenai isi peraturan tersebut. Demikian pula mengenai rencana pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum harus dikomunikasikan kepada masyarakat pemilik tanah mengenai tujuan, peruntukan tanah dan besarnya ganti rugi, serta tata cara pembayaran ganti kerugian dan keseluruhan proses administrasi atas pelepasan tanah tersebut.
7.      Asas Partisipasi
              Peran serta semua pihak yang terkait secara aktif dalam proses pelepasan hak atau pencabutan hak akan menimbulkan rasa ikut memiliki dan dapat memperkecil kemungkinan timbulnya penolakan terhadap kegiatan pencabutan dan atau pelepasan hak atas tanah. Masyarakat pemilik tanah, masyarakat yang terkena dampak, serta LSM yang ada di lokasi pengadaan tanah dilibatkan dalam tahap pengumpulan data, perencanaan pemukiman kembali, dan dalam pelaksanaan proyek.
8.      Asas Kesetaraan
Asas kesetaraan dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang memerlukan tanah dan pihak yang tanahnya akan dilepaskan atau dicabut harus diletakkan secara sejajar dalam seluruh proses pengambilalihan tanah. Pihak yang membutuhkan tanah harus menempatkan pihak pemilik tanah pada posisi sederajat, tidak memandang sebagai subordinat. Apabila terdapat kesetaraan posisional antara pemilik tanah dengan pihak yang membutuhkan tanah, pelaksanaan pengadaan tanah diharapkan akan berhasil dengan baik karena masing-masing pihak dapat mengajukan keinginan dan menyampaikan tawaran sesuai kesederajatan posisi mereka.
9.      Asas Minimalisasi Dampak dan Kelangsungan Kesejahteraan Ekonomi
Pengadaan tanah dilakukan dengan upaya untuk meminimalkan dampak negatif atau dampak penting yang mungkin timbul dari kegiatan pembangunan tersebut. Di samping itu, juga harus diupayakan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat yang terkena proyek pembangunan atau yang tanahnya dilepaskan atau dicabut haknya. Artinya, kesejahteraan ekonomi masyarakat yang terkena proyek pembangunan minimal harus  sama dengan sebelum terkena pengadaan tanah.
Mengingat asas-asas hukum tersebut merupakan ( pinjam istilah Satjipto Raharjo) unsur terpenting dari peraturan hukum, jantungnya hukum, roh hukum dari peraturan perundang-undangan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, maka aparat penegak hukum, panitia pengadaan tanah, anggota legislatif dan eksekutif, investor, dan setiap anggota masyarakat harus memahami asas-asas tersebut guna menjadi pedoman (guidelines) dan spirit hukum (spirit of law) dalam praktik pengadaan tanah kepentingan umum di lapangan.
PROSEDUR PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Tata cara pengadaan tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden  Nomor 36 Tahun 2005  yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,  meliputi tiga cara, yakni:
1.      Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
2.      Pencabutan hak atas tanah
3.      Jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Adapun tahapan pengadaan tanah oleh pemerintah untuk pembangunan bagi kepentingan umum harus dimulai dari proses jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh para pihak. Apabila cara tersebut tidak  berhasil maka ditempuh cara berikutnya yaitu pelepasan atau penyerahan hak atas tanah disertai ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah. Cara lain yang dapat ditempuh pemerintah apabila kedua cara sebelumnya tidak berhasil adalah pencabutan hak atas tanah disertai pemberian ganti rugi. Masing-masing prosedur pengadaan tanah, baik berupa pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, pencabutan hak atas tanah maupun jual beli/tukar menukar atau cara lain dapat kami uraian berikut ini :
1.      Pelepasan atau Penyerahan Hak atas Tanah
Konsep dasar hak atas tanah dilakukan melalui musyawarah berdasarkan kesepakatan di antara kedua belah pihak, yaitu pihak pemilik tanah dan pihak yang membutuhkan tanah. Hal ini terlihat dari pengertian pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 6 perpres No.36 tahun 2005, yaitu kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Pengadaan tanah dengan menggunakan tata cara ini dilakukan oleh panitia pengadaan tanah, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau pusat sesuai areal tanah yang akan dilepaskan haknya dengan menerapkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.
Pengadaan tanah melalui cara tersebut harus didasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan terlebih dahulu, atau berdasarkan RTRW yang sudah ada sebelumnya jika yang baru belum ditetapkan. Pengadaan tanah dilakukan melalui musyawarah untuk memperoleh kesepakatan mengenai pelaksanaan pembangunan dan bentuk serta besarnya ganti rugi. Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah dengan panitia pengadaan tanah dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Apabila jumlah pemegang hak atas tanah sangat banyak, musyawarah dapat dilakukan oleh beberapa orang yang mewakili para pemegang hak atas tanah.
Apabila dalam musyawarah tidak dicapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, panitia menyerahkan persoalan tersebut kepada bupati/walikota atau gubernur yang (sesuai kewenangannya) memutus besarnya ganti rugi dengan mempertimbangkan permintaan pemegang hak atas tanah.  Bagi tanah yang sangat dibutuhkan dan tidak dapat dipindahkan ke tempat lain, ganti rugi yagn ditetapkan penitia dapat dititipkan ke pengadilan. Ganti rugi yagn diberikan kepada pemegang hak atas tanah dapat berupa uang, tanah pengganti, atau pemukiman kembali. Jika pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi tersebut maka dapat diberikan kempensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai peraturna perundang-undangan yang berlaku (pasal 13 Perpres No.36 tahun 2005). Perpres ini merumuskan ganti kerugian baik bersifat fisik dan atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.
Dasar penghitungan ganti rugi adalah nilai jual objek pajak atau nilai nyata sebenarnya berdasarkan penetapan lembaga/tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia. Ganti rugi diserahkanlangsung kepada pemegang hak atas tanah yang berhak, atau kepada nadzir untuk tanah wakaf. Sementara itu, bagi atanah yagn dimiliki oleh lebih dari satu orang dimana ada satu atau bebrapa orang yang dtidak dapat ditemukan, ganti rugi yang menjadi hak orang tersebut dititipkan ke pengadilan negeri. Bentuk ganti rugi dalam Perpres di samping berupa uang, tanah pengganti, atau pemukiman kembali juga dapat diberikan kompensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi berupa uang, tanah pengganti atau pemukiman kembali. Dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 ditambahkan bahwa ganti rugi juga dapat berupa penggabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana yang telah disebutkan dan bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

2.      Pencabutan Hak atas Tanah
Apabila upaya pengadaan tanah melalui pelepasan atau penyerahan hak tidak berhasil dalam arti tidak diperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi maka dapat dilakukan pencabutan hak atas tanah. Upaya ini dilakukan jika lokasi pembangunan proyek yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan ke tempat lain. Pengadaan tanah melalui pencabutan hak diajukan oleh bupati/walikota/gubernur/menteri dalma negeri susuai kewenangannya kepada presiden melalui kepala badan pertanahan nasional dengan tembusan kepada menteri dan instansi ynag memerlukan tanah dan menteri hukum dan hak asasi manusia.
Pencabutan hak atas tanah berdasarkan UU No.20 tahun 1961 dilakuan dalam keadaan yang sangat mendesak, yakni proyek pembangunan tidak mungkin dipindahkan ke tempat lain. Pengajuan pencabutan hak atas tanah dilakukan oleh kepala badan pertanahan nasional kepada presiden. Ats permohonan tersebut presiden dapat menyetujui atau menolak. Apabila permohonan pencabutan hak tidak disetujui oleh presiden maka tanah harus dikembalikan dalam keadaan semula kepad pemegang hak atas tanah. Sebaliknya, jika permohonan disetujui maka presiden menerbitkan keputusan pencabutan hak disertai pemberian ganti rugi. Jika pemilik tanah dapat menerima keppres tersebut mak tanah dikuasai oleh negara dan digunakan bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Namun kika keppres tidak diterima maka dapt diajukan banding ke pengadilan tinggi (khusus mengenai ganti rugi), sedangkan terhadap pencabutan haknya tidak bisa dibanding.
Jadi, meski dilakukan pencabutan hak, pemilik tanah tetap diberi ganti rugi sebagai penghormatan terhadap hak individual yang dimilikinya. Yang dicabut secara paksa hanyalah haknya sedangkan kerugian yang timbul atas tindakan tersebut tetap mendapat penggantian dari negara. Pencabutan hak atas tanah tidak boleh dilakukan tanpa disertai ganti rugi karena hal itu merupakan perampasan terhdap tanah rakyat. Meskipun demikian, jika nilai ganti rugi atas tanah yang ditentukan dalam keppres pencabutan hak dirasa masih belum layak, pihak pemilik tanah yang dicabut haknya dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Pelibatan lembaga peradilan ini dimaksudkan untuk memenuhi asas independensi dan nondiskriminasi agar lembaga peradilan ikut melakukan koreksi terhadap keputusan presiden mengenai nilai ganti rugi tanah jika dinilai terlalu rendah atau tidak layak.
3.      Jual Beli, Tukar-Menukar atau Cara Lain
Pasal 20 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 menyebutkan bahwa pelaksaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar dapat dilakukan secara langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli tau tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak. Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa jika tanah yang diperlukan kurang dari satu hektar maka pelaksanaan pengadaan tanah “dapat” dilakukan secara langsung melalui transaksi yang lazim terjadi dalam lapangan hukum perdata. Dari kata “dapat” berarti untuk tanah tidak lebih dari satu hektar dilakukan secara langsung, namun juga dapat dengan meminta bantuan panitia melalu cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Apabila ditempuh upaya jual beli atau tukar-menukar atau cara lain, maka ketentuan yang berlaku bagi kedua belah pihak adalah dalam hukum perdata. Oleh kerena itu, transaksi tersebut harus memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian sebagimana yang diatur dalam KUH Perdata. Sementara itu, ketentuan dan tata cara pembuatan perjanjian, pendaftaran, dan peralihan haknya mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 KUHPer harus dipenuhi, yaitu meliputi (1) kata sepakat diantara kedua belah pihak; (2) kecakapan pihak-pihak yang membuat perjanjian; (3) adanya objek tertentu; serta (4) adanya kausa yang halal.
Sementara itu, proses pembuatan akta perjanjiannya dilakukan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yakni dapat dibuat di hadapan pejabat pembuat akta tanah dan didaftarkan (atau dibalik nama) ke kantor pertanahan. Apabila instansi yang memerlukan tanah tidak boleh mempunyai hak atas tanah dengan hak milik maka prosesnya tidak melalui jual beli, tetapi dilakukan dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah oleh pemilik tanah disertai pemberian ganti rugi (harga tanah). Apabila tanah tersebut sudah dilepaskan maka akan menjadi tanah negara dan dimohonkan hak baru oleh instansi yang membutuhkan tanah.

KESIMPULAN
Penguasaan dan penataan penguasaan tanah oleh negara diarahkan pemanfaatannya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penguasaan tanah oleh negara, sesuai dengan tujuan pemanfaatannya, perlu memperhatikan kepentingan masyarakat luas sehinnga tidak menimbulkan sengketa. Untuk menjamin adanya kepastian hukum atas tanah harus jelas subyek dan obyek hak atas tanah. Untuk mendapat kepastian hukum kepada pemegang hak harus dilakukan pendaftaran tanah, sehingga akan mendapatkan alat bukti berupa sertifikat.
Berkaitan dengan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, dilakukan melalui jual beli, tukar menukar, sesuai yang disepakati antara pemilik hak dengan panitia pengadaan tanah.  Apabila tidak tercapai kesepakatan dengan cara jual beli dilakukan dengan pelepasan hak atau penyerahan hak dan hal ini kalau tidak mendapat persetujuan tentang ganti rugi dengan cara terakhir yakni melalui pencabutan hak.
Agar tidak terjadi sengketa dalam pengadaan tanah perlu diperhatikan prosedur dan asas-asas hukum mengingat asas-asas hukum tersebut merupakan unsur terpenting dari peraturan hukum, jantungnya hukum, roh hukum dari peraturan perundang-undangan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1994. Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Achmad Rubaie. 2007. Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. IKAPI Jatim: Bayumedia Publishing.
Badan Pertanahan Nasional, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. 2002. Reformasi Pertanahan. Jakarta: Mandar Maju.
Budi Harsono. 2006. Hukum Agraria Indoonesia, Himpunan Peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan.
Donatus Patty. 1999. Asas-asas dan Pokok-Pokok Agraria. Kupang: Percetakan Offset SV Guntur
Felix Sitorus dkk. 2002. Menuju Keadilan Agraria. Bandung: Akatiga.
Irawan Soerodjo. 2002.  Kepastian Hukum Atas Tanah di Indonesia. Surabaya: Arkola.
Maria S.W Sumardjono. 2001. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas.
---------. 2005. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas.
Maria Rita Ruwiastuti. 2003. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasa Negara atas Hak-hak Adat.
Moch. Koesnoe. 1979.  Catatan –catatan terhadap Hukum Adat Dewasa Ini.  Surabaya:
           Airlangga University Press.
Tim Lapera. 2001. Prinsip-Prinsip Reformasi Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran  Rakyat. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. *

posted by Jurnal Online Uniflor @ 20.05,

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home