Site Network: Lembaga Publikasi Uniflor |

 



Majalah Ilmiah INDIKATOR, Volume XIII, Nomor 1, Maret 2011


MERETAS MANAJEMEN SEKOLAH
MENUJU PENDIDIKAN BERKUALITAS

Oleh Natsir Kotten
Program Studi Pendidikan Dunia Usaha, FKIP,  Universitas Flores,
Jln. Sam Ratulangi, Ende, Flores, Telepon 085239454904

Abstrak
Ciri demokratis dari sistem persekolahan ini adalah setiap lembaga sekolah diperbolehkan mengembangkan dirinya berdasarkan tiga landasan. Pertama, visi dan misi masing-masing sekolah. Artinya, sekolah diberikan peluang sebesar-besarnya untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia berdasarkan visi dan misi lembaganya. Kedua, kondisi objektif  komunitas masyarakatnya. Dengan kata Iain, sekolah berhak  dan berkewajiban untuk meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama. Ketiga, kondisi objektif sekolah bersangkutan. Ini termasuk meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, sekolah, dan pemerintah tentang mutu sekolah serta meningkatkan kompetensi yang sehat antarsekolah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.
Kata Kunci
 Manajemen sekolah, pendidikan berkualitas, solusi hybrida.

“Kita tidak kehilangan roh pendidikan, melainkan kita kehilangan semangat untuk berubah.” Karena itu, kita harus membangun semangat untuk meraih peluang di era otonomi ini. Penerapan otonomi pendidikan harus segera "ditangkap" sebagai momentum untuk memulai perubahan. Apabila ini sudah kita sepakati, maka setidaknya ada beberapa mata rantai target treatment peningkatan mutu pendidikan yang harus digarap secara simultan di tanah air. Target treatment yang paling mendesak meliputi tiga hal. Pertama, melakukan pemberdayaan guru agar menjadi profesional, karena para guru inilah sebagai  "ujung tombak" dan "peraga utama" keberhasilan dari otonomi pendidikan dengan segala derivasinya. Kedua, melakukan perubahan budaya sekolah dari format "penyeragaman" yang merasa paling serba tahu dan tersentralistis menjadi "Lembaga Jasa Persekolahan" (selain pengemban tugas civitas akademika, tentunya) yang mempunyai sikap mandiri, demokratis, dan kreatif, di mana sekolah dijalankan dengan sistem manajemen secara terbuka bersama para stakeholder-nya—praktisi pendidikan, orang tua, tokoh jasa sekolah. Sudah barang tentu dengan mengutamakan kepentingan lokalitas berbasis peluang global atau minimal regional, cita-cita pemberdayaan daerah bisa lebih cepat tercapai. Ketiga, mengupayakan "Kesadaran Manusia Global" di sekolah melalui penghadiran teknologi informasi dan kesadaran Multiculture secara simultan, baik teknologi selaku kardware maupun muatan multiculture-nya.
Dengan demikian, "Solusi Hybrida" yang cocok untuk menyokong ketiga kepentingan di atas adalah melakukan kemandirian dan demokratisasi pendidikan secara simultan melalui pelaksanaan otonomi sekolah berbasis School Based Management dan Teknologi Informasi. Sebab, melalui "format hybrida" inilah materi makro pendidikan (filosofi, paradigma, tujuan, strategi, dan kurikulum pendidikan yang diberlaku­kan), mikro pendidikan (pengelolaan, proses belajar-mengajar, dan materi ajar), serta meso pendidikan (dukungan masyarakat) yang berkaitan dengan kemandirian dan demokratisasi bangsa dapat diberikan secara simultan-kontekstual dan teraplikasi secara eksplisit di dalam sekolah sebagai struktur pengkondisian proses kemandirian (hakikat dari kebijakan otonomi daerah), demokrasi, dan pembangunan masyarakat  madani.
Salah satu implementasi dari semangat "untuk berubah", betapapun masih sebatas pada tahap awal pelaksanaan atau bahkan sudah dibilang telah mendarah daging, dunia pendidikan Indonesia sudah mulai menerapkan model Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management). Ciri demokratis dari sistem persekolahan ini adalah setiap lembaga sekolah diperbolehkan mengembangkan dirinya berdasarkan tiga landasan. Pertama, visi dan misi masing-masing sekolah. Artinya, sekolah diberikan peluang sebesar-besarnya untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia berdasarkan visi dan misi lembaganya. Kedua, kondisi objektif komunitas masyarakatnya. Dengan kata Iain, sekolah berhak dan berkewajiban untuk meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama. Ketiga, kondisi objektif sekolah bersangkutan. Ini termasuk meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, sekolah, dan pemerintah tentang mutu sekolah serta meningkatkan kompetensi yang sehat antarsekolah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.
Dalam operasionalnya, ketiga hal itu harus didukung oleh konfigurasi segitiga peran pendidikan, yakni sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk duduk bersama dalam membahas kebutuhan-kebutuhan pengembangan sumber daya lokal dengan difasilitasi oleh pemerintah (Kementerian Pendidikan). Dengan demikian, "Manajemen Sekolah" tidak lagi sentralistis dan bersifat seragam menunggu "juklak" dan "juknis" dari pusat. Lebih dari itu, tak akan terjadi lagi sekolah-sekolah di daerah tertentu misalnya, merasa "dipasung" karena harus mengikuti target-target pencapaian yang sama persis dengan kehendak "pusat".
Menurut Purkey dan Smith, seperti yang dikutip oleh J. Icheerens dan R. J. Bosker, indikator yang menggambarkan ciri sekolah yang efektif adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan pengambilan keputusan secara demokratis, kepemimpinan instruksional, waktu belajar maksimal, perencanaan kolaboratif, serta adanya pola hubungan kolegial di antara para guru.  Sementara itu, Edmons dan Weber, seperti yang dikutip oleh B. J. Caldwell dan J. M. Spink mengatakan bahwa ciri sekolah efektif antara Iain memiliki kepemimpinan pengajaran yang kuat dan mempunyai kepala sekolah yang mampu membuat keputusan yang jelas, konsisten, dan adil. Selain memiliki ciri kepemimpinan instruksional yang kuat, kajian sekolah efektif yang dilakukan para peneliti pada umumnya juga mencirikan adanya suasana sekolah yang aman dan teratur, serta pentingnya faktor budaya sekolah.
Kebijakan Direktur Pendidikan Menengah Umum tentang Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) menekankan agar sekolah mampu mengoordinasikan dan menyerasikan segala sumber daya yang ada di sekolah dan di luar sekolah untuk mewujudkan sekolah yang bermutu. Untuk mewujudkan itu semua, diperlukan kesiapan dan kemampuan agar bisa memberdayakan semua komponen di sekolah dan di luar sekolah untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh sebab itu, Total Quality Management (TQM) yang merupakan sebuah filosofi tentang perbaikan secara terus-menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan para pelanggannya, saat ini dan untuk masa yang akan datang  harus diterapkan dalam kerangka perbaikan terus-menerus sesuai dengan kebutuhan masyarakat  atau stakeholder.
Dengan TQM yang merupakan suatu metode dalam membangun sekolah dengan penjamin mutu sekolah, sekolah akan mempunyai kredibilitas yang tinggi. TQM adalah pendekatan praktis dan strategis dalam menjalankan roda organisasi yang memfokuskan diri pada kebutuhan pelanggan dan kliennya. Karena kebutuhan dan kepuasan pelanggan selalu berubah dan berkembang, maka manajemen dan pelayanan sekolah terhadap pelanggan (stakeholders) juga harus terus diperbaiki dengan memperhatikan kebutuhan lingkungan masyarakat sekitar sekolah. Maka, mutu merupakan kebutuhan stakebolders pada saat ini, waktu ini, dan tempat ini, sehingga mutu bersifat tentatif dan akan terus berubah seiring dengan berubahnya era. Sehingga, pada ranah ini perlu suatu komitmen dari komponen sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah yang bersangkutan. Gibson menyatakan bahwa komitmen merupakan kekuatan relatif dari identifikasi individu terhadap organisasi dan keterlibatannya dalam pencapaian tujuan organisasi. Sementara itu, Luthans berpendapat bahwa komitmen terhadap organisasi adalah keadaan di mana ndividu menjadi terikat oleh aktivitasnya, dan selanjutnya tetap mempertahankan aktivitas dan keterlibatannya.
Dengan demikian, manajemen sekolah akan terus mencari bentuk yang sesuai dengan keinginan dari stakeholders, begitu pula dalam bentuk, pola, serta dasar yang sesuai dengan perkembangan lingkungan sekolah. Dalam hal ini, Luthans menyatakan bahwa organisasi akan berusaha untuk menciptakan suatu struktur agar dapat mengoordinasi aktivitas-aktivitas dan mengontrol tindakan-tindakan anggota organisasi tersebut. Artinya, gesekan dalam manajemen sekolah akan terus berjalan dengan adanya faktor eksternal yang menuntut untuk sesuai dengan perkembangan eksternal, yaitu mutu yang sesuai dengan selera, hasrat, dan keinginan pangsa pasar. Dengan berdasarkan hal tersebut, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang memprioritaskan TQM akan menjadi solusi dalam menemukan sekolah yang efektif.
Akan tetapi, Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management) bukanlah tanpa risiko. Ia ibarat pisau yang bermata dua. Bahayanya adalah apabila kita gagal menyiapkan proses "alih mental" dan "rekulturisasi sistem" lebih pada etos manajerialnya daripada sekadar tiruan prosedur fisiknya, maka yang akan terjadi adalah munculnya "raja-raja kecil", yaitu perilaku "pengelola sekolah" yang menerapkan wewenang dan kekuasaannya dengan semena-mena tanpa memiliki dasar konsep yang benar. Jika demikian yang terjadi, hasilnya adalah malapetaka pendidikan. School Based Management membutuhkan "perubahan budaya" dari budaya kepemimpinan otoriter ke demokratis, dan dari budaya tergantung kepada budaya mandiri serta kreatif. Budaya manajerial kita masih jauh dari demokratis, partisipatif pun belum. Dalam unit-unit pendidikan Indonesia, masih banyak sekali endave-endave (pulau-pulau) si "raja kecil". Transparansi masih satu kemewahan, duduk sama rendah juga masih satu keajaiban. Padahal, sistem demokratis School Based Management membutuhkan egalitarianisme yang tinggi dengan asas persamaan antarkomponen sekolah.
Lalu, apa solusinya? Tentulah, bukan menghentikan program School Based Management. Program ini sudah kehendak zaman. Artinya, School Based Management merupakan tuntutan dunia atau masyarakat pendidikan untuk menuju ke peradaban baru pendidikan Indonesia. Tidaklah berlebihan apabila diklaim bahwa School Based Management sebagai manajemen sekolah paradigma holistik. Ilustrasi yang paling sederhana yakni bahwa kenyataan di lapangan, untuk menerapkan manajemen sekolah yang efektif adalah hal yang sangat sulit apabila dilakukan secara manual tanpa berbasis pada teknologi. Kita ketahui bersama, untuk aktivitas administrasi saja (di luar pekerjaan akademis/ proses belajar mengajar dan pengelolaan stakeholder), seperti set up data (baik pengolahan data dan transaksi, pelaporan dan evaluasi, pengendalian dan pengawasan, maupun pengambilan keputusan) yang meliputi data kepegawaian, data siswa, aktivitas semester, evaluasi hasil belajar, pengelolaan nilai dan kompetensi, pengelolaan ujian akhir, proses penyusunan rapor, proses kenaikan kelas, laporan nilai per mata pelajaran per siswa, dan laporan-laporan rekap lainnya, seperti  distribusi nilai per mata pelajaran, rekap kenaikan kelas, rekap kelulusan, dan segudang tugas-tugas lainnya.
Berdasarkan deskripsi di atas, maka perlu kiranya untuk melaksanakan program yang disusun berdasarkan skala prioritas penanganan isu berdasarkan implementasi manajemen sekolah efektif guna peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Langkah yang paling tepat adalah menyebarluaskan dan mengintroduksi terlebih dahulu perspektif otonomi sekolah atas dasar School Based Management (SBM) yang memfokuskan pada mutu pendidikan, sehingga menjadi suatu kepedulian yang mendalam dari para pengelola pendidikan/guru guna mewujudkan rencana strategis sekolah secara matang dan tepat guna. Dengan demikian, penerapan TQM akan berarti pada adanya kebebasan untuk berpendapat bagi seluruh komponen sekolah. Dalam kegiatan pembela­jarannya pun, kebebasan berpendapat akan menciptakan iklim yang dialogis antara siswa dengan guru, siswa dengan kepala sekolah, serta guru dan kepala sekolah, singkatnya, kebebasan berpendapat dan keterbukaan antara seluruh warga sekolah.
Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan, melainkan  juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas-batas tertentu, namun tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resoums are necessary but not suffiaent condition to improve student achievement). Di samping itu, mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi peserta didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, dan kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. Peningkatan mutu di setiap satuan pendidikan diarahkan pada upaya terselenggaranya layanan pendidikan kepada pihak yang berkepentingan atau masyarakat.
Dengan demikian, di lembaga pendidikan ada upaya untuk terus berpacu dengan fenomena masyarakat berdasarkan pada mutu yang terjamin, karenanya perbaikan secara berkesinambungan merupakan langkah yang pasti untuk diambil. Perbaikan yang berkesinambungan berkaitan dengan komitmen continuous quality improvement  atau CQI dan continuous process improvement.  Komitmen terhadap kualitas dimulai dengan pernyataan dedikasi pada misi dan visi bersama, serta pemberdayaan semua partisipan untuk secara inkremental mewujudkan visi tersebut. Perbaikan yang berkesinambungan tergantung kepada dua unsur. Pertama, mempelajari proses, alat, dan keterampilan yang tepat. Kedua, menerapkan keterampilan baru pada small achievabk projects. Upaya perbaikan kualitas secara berkesinambungan dalam lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan sistem terbuka atas fungsi inti lembaga pendidikan, yakni student learning.
Semoga dengan adanya komitmen internal akan menjadikan mutu pendidikan di Indonesia terus meningkat dan mencapai suatu tatanan nilai yang idealis seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid. 2007. Perencanaan Pembelajaran, Mengembangkan Standar Kompetensi. Bandung:  Remaja Rosdakarya.
Abdul Aziz Wahab.  2007. Metode dan Model-Model Mengajar. Bandung: Alfabeta.
Moh. Uzer Usman.  2008. Menjadi Guru Profesional. Bandung:  Remaja Rosdakarya.
 Mulyasa, E. 2007. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung:   Remaja Rosdakarya.
Oemar Hamalik. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta:  Bumi Aksara.
Sugiyono.  2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:  Alfabeta.
Zamroni.  2000. Paradigma Pendidiknan Masa Depan. Yogyakarta:  Bigraf Publishing. *

posted by Jurnal Online Uniflor @ 20.14,

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home