Majalah Ilmiah INDIKATOR, Volume XIII, Nomor 1, Maret 2011
Selasa, 17 April 2012
MERETAS MANAJEMEN SEKOLAH
MENUJU PENDIDIKAN BERKUALITAS
Oleh Natsir Kotten
Program Studi
Pendidikan Dunia Usaha, FKIP, Universitas Flores,
Jln. Sam
Ratulangi, Ende, Flores, Telepon 085239454904
Abstrak
Ciri demokratis dari sistem
persekolahan ini adalah setiap lembaga sekolah diperbolehkan mengembangkan
dirinya berdasarkan tiga landasan. Pertama, visi dan misi masing-masing
sekolah. Artinya, sekolah diberikan peluang sebesar-besarnya untuk meningkatkan
mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan
memberdayakan sumber daya yang tersedia berdasarkan visi dan misi lembaganya.
Kedua, kondisi objektif komunitas masyarakatnya. Dengan kata Iain,
sekolah berhak dan berkewajiban untuk meningkatkan kepedulian warga
sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan
bersama. Ketiga, kondisi objektif sekolah bersangkutan. Ini termasuk
meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, sekolah, dan pemerintah
tentang mutu sekolah serta meningkatkan kompetensi yang sehat antarsekolah
untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.
Kata Kunci
Manajemen
sekolah, pendidikan berkualitas, solusi hybrida.
“Kita tidak kehilangan roh pendidikan,
melainkan kita kehilangan semangat untuk berubah.” Karena itu, kita harus
membangun semangat untuk meraih peluang di era otonomi ini. Penerapan otonomi
pendidikan harus segera "ditangkap" sebagai momentum untuk memulai
perubahan. Apabila ini sudah kita sepakati, maka setidaknya ada beberapa mata
rantai target treatment peningkatan mutu pendidikan yang harus digarap
secara simultan di tanah air. Target treatment yang paling mendesak
meliputi tiga hal. Pertama, melakukan pemberdayaan guru agar menjadi
profesional, karena para guru inilah sebagai "ujung tombak" dan
"peraga utama" keberhasilan dari otonomi pendidikan dengan segala
derivasinya. Kedua, melakukan perubahan budaya sekolah dari format
"penyeragaman" yang merasa paling serba tahu dan tersentralistis
menjadi "Lembaga Jasa Persekolahan" (selain pengemban tugas civitas
akademika, tentunya) yang mempunyai sikap mandiri, demokratis, dan kreatif, di
mana sekolah dijalankan dengan sistem manajemen secara terbuka bersama para stakeholder-nya—praktisi
pendidikan, orang tua, tokoh jasa sekolah. Sudah barang tentu dengan
mengutamakan kepentingan lokalitas berbasis peluang global atau minimal
regional, cita-cita pemberdayaan daerah bisa lebih cepat tercapai. Ketiga,
mengupayakan "Kesadaran Manusia Global" di sekolah melalui
penghadiran teknologi informasi dan kesadaran Multiculture secara
simultan, baik teknologi selaku kardware maupun muatan multiculture-nya.
Dengan demikian, "Solusi
Hybrida" yang cocok untuk menyokong ketiga kepentingan di atas adalah
melakukan kemandirian dan demokratisasi pendidikan secara simultan melalui
pelaksanaan otonomi sekolah berbasis School Based Management dan Teknologi
Informasi. Sebab, melalui "format hybrida" inilah materi makro pendidikan
(filosofi, paradigma, tujuan, strategi, dan kurikulum pendidikan yang diberlakukan),
mikro pendidikan (pengelolaan, proses belajar-mengajar, dan materi ajar), serta
meso pendidikan (dukungan masyarakat) yang berkaitan dengan kemandirian dan
demokratisasi bangsa dapat diberikan secara simultan-kontekstual dan
teraplikasi secara eksplisit di dalam sekolah sebagai struktur pengkondisian
proses kemandirian (hakikat dari kebijakan otonomi daerah), demokrasi, dan
pembangunan masyarakat madani.
Salah satu implementasi dari semangat
"untuk berubah", betapapun masih sebatas pada tahap awal pelaksanaan
atau bahkan sudah dibilang telah mendarah daging, dunia pendidikan Indonesia
sudah mulai menerapkan model Manajemen Berbasis Sekolah (School Based
Management). Ciri demokratis dari sistem persekolahan ini adalah setiap
lembaga sekolah diperbolehkan mengembangkan dirinya berdasarkan tiga landasan.
Pertama, visi dan misi masing-masing sekolah. Artinya, sekolah diberikan
peluang sebesar-besarnya untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian
dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang
tersedia berdasarkan visi dan misi lembaganya. Kedua, kondisi objektif
komunitas masyarakatnya. Dengan kata Iain, sekolah berhak dan berkewajiban
untuk meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama. Ketiga,
kondisi objektif sekolah bersangkutan. Ini termasuk meningkatkan tanggung jawab
sekolah kepada orang tua, sekolah, dan pemerintah tentang mutu sekolah serta
meningkatkan kompetensi yang sehat antarsekolah untuk pencapaian mutu
pendidikan yang diharapkan.
Dalam operasionalnya, ketiga hal itu
harus didukung oleh konfigurasi segitiga peran pendidikan, yakni sekolah,
keluarga, dan masyarakat untuk duduk bersama dalam membahas kebutuhan-kebutuhan
pengembangan sumber daya lokal dengan difasilitasi oleh pemerintah (Kementerian
Pendidikan). Dengan demikian, "Manajemen Sekolah" tidak lagi
sentralistis dan bersifat seragam menunggu "juklak" dan
"juknis" dari pusat. Lebih dari itu, tak akan terjadi lagi
sekolah-sekolah di daerah tertentu misalnya, merasa "dipasung" karena
harus mengikuti target-target pencapaian yang sama persis dengan kehendak
"pusat".
Menurut Purkey dan Smith, seperti yang
dikutip oleh J. Icheerens dan R. J. Bosker, indikator yang menggambarkan ciri
sekolah yang efektif adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan pengambilan
keputusan secara demokratis, kepemimpinan instruksional, waktu belajar
maksimal, perencanaan kolaboratif, serta adanya pola hubungan kolegial di
antara para guru. Sementara itu, Edmons dan Weber, seperti yang dikutip
oleh B. J. Caldwell dan J. M. Spink mengatakan bahwa ciri sekolah efektif
antara Iain memiliki kepemimpinan pengajaran yang kuat dan mempunyai kepala
sekolah yang mampu membuat keputusan yang jelas, konsisten, dan adil. Selain
memiliki ciri kepemimpinan instruksional yang kuat, kajian sekolah efektif yang
dilakukan para peneliti pada umumnya juga mencirikan adanya suasana sekolah
yang aman dan teratur, serta pentingnya faktor budaya sekolah.
Kebijakan Direktur Pendidikan Menengah
Umum tentang Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) menekankan
agar sekolah mampu mengoordinasikan dan menyerasikan segala sumber daya yang
ada di sekolah dan di luar sekolah untuk mewujudkan sekolah yang bermutu. Untuk
mewujudkan itu semua, diperlukan kesiapan dan kemampuan agar bisa memberdayakan
semua komponen di sekolah dan di luar sekolah untuk berpartisipasi secara aktif
dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh sebab itu, Total Quality Management
(TQM) yang merupakan sebuah filosofi tentang perbaikan secara terus-menerus,
yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi
pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan para pelanggannya,
saat ini dan untuk masa yang akan datang harus diterapkan dalam kerangka
perbaikan terus-menerus sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau stakeholder.
Dengan TQM yang merupakan suatu metode
dalam membangun sekolah dengan penjamin mutu sekolah, sekolah akan mempunyai
kredibilitas yang tinggi. TQM adalah pendekatan praktis dan strategis dalam
menjalankan roda organisasi yang memfokuskan diri pada kebutuhan pelanggan dan
kliennya. Karena kebutuhan dan kepuasan pelanggan selalu berubah dan berkembang,
maka manajemen dan pelayanan sekolah terhadap pelanggan (stakeholders)
juga harus terus diperbaiki dengan memperhatikan kebutuhan lingkungan
masyarakat sekitar sekolah. Maka, mutu merupakan kebutuhan stakebolders
pada saat ini, waktu ini, dan tempat ini, sehingga mutu bersifat tentatif dan
akan terus berubah seiring dengan berubahnya era. Sehingga, pada ranah ini
perlu suatu komitmen dari komponen sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah yang
bersangkutan. Gibson menyatakan bahwa komitmen merupakan kekuatan relatif dari
identifikasi individu terhadap organisasi dan keterlibatannya dalam pencapaian
tujuan organisasi. Sementara itu, Luthans berpendapat bahwa komitmen terhadap
organisasi adalah keadaan di mana ndividu menjadi terikat oleh aktivitasnya,
dan selanjutnya tetap mempertahankan aktivitas dan keterlibatannya.
Dengan demikian, manajemen sekolah akan
terus mencari bentuk yang sesuai dengan keinginan dari stakeholders, begitu
pula dalam bentuk, pola, serta dasar yang sesuai dengan perkembangan lingkungan
sekolah. Dalam hal ini, Luthans menyatakan bahwa organisasi akan berusaha untuk
menciptakan suatu struktur agar dapat mengoordinasi aktivitas-aktivitas dan
mengontrol tindakan-tindakan anggota organisasi tersebut. Artinya, gesekan
dalam manajemen sekolah akan terus berjalan dengan adanya faktor eksternal yang
menuntut untuk sesuai dengan perkembangan eksternal, yaitu mutu yang sesuai
dengan selera, hasrat, dan keinginan pangsa pasar. Dengan berdasarkan hal
tersebut, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang memprioritaskan TQM akan
menjadi solusi dalam menemukan sekolah yang efektif.
Akan tetapi, Manajemen Berbasis Sekolah
(School Based Management) bukanlah tanpa risiko. Ia ibarat pisau yang
bermata dua. Bahayanya adalah apabila kita gagal menyiapkan proses "alih
mental" dan "rekulturisasi sistem" lebih pada etos manajerialnya
daripada sekadar tiruan prosedur fisiknya, maka yang akan terjadi adalah
munculnya "raja-raja kecil", yaitu perilaku "pengelola
sekolah" yang menerapkan wewenang dan kekuasaannya dengan semena-mena
tanpa memiliki dasar konsep yang benar. Jika demikian yang terjadi, hasilnya
adalah malapetaka pendidikan. School Based Management membutuhkan
"perubahan budaya" dari budaya kepemimpinan otoriter ke demokratis,
dan dari budaya tergantung kepada budaya mandiri serta kreatif. Budaya
manajerial kita masih jauh dari demokratis, partisipatif pun belum. Dalam
unit-unit pendidikan Indonesia, masih banyak sekali endave-endave
(pulau-pulau) si "raja kecil". Transparansi masih satu kemewahan,
duduk sama rendah juga masih satu keajaiban. Padahal, sistem demokratis School
Based Management membutuhkan egalitarianisme yang tinggi dengan asas
persamaan antarkomponen sekolah.
Lalu, apa solusinya? Tentulah, bukan
menghentikan program School Based Management. Program ini sudah kehendak
zaman. Artinya, School Based Management merupakan tuntutan dunia atau
masyarakat pendidikan untuk menuju ke peradaban baru pendidikan Indonesia.
Tidaklah berlebihan apabila diklaim bahwa School Based Management
sebagai manajemen sekolah paradigma holistik. Ilustrasi yang paling sederhana
yakni bahwa kenyataan di lapangan, untuk menerapkan manajemen sekolah yang
efektif adalah hal yang sangat sulit apabila dilakukan secara manual tanpa
berbasis pada teknologi. Kita ketahui bersama, untuk aktivitas administrasi
saja (di luar pekerjaan akademis/ proses belajar mengajar dan pengelolaan stakeholder),
seperti set up data (baik pengolahan data dan transaksi, pelaporan dan
evaluasi, pengendalian dan pengawasan, maupun pengambilan keputusan) yang
meliputi data kepegawaian, data siswa, aktivitas semester, evaluasi hasil
belajar, pengelolaan nilai dan kompetensi, pengelolaan ujian akhir, proses
penyusunan rapor, proses kenaikan kelas, laporan nilai per mata pelajaran per
siswa, dan laporan-laporan rekap lainnya, seperti distribusi nilai per
mata pelajaran, rekap kenaikan kelas, rekap kelulusan, dan segudang tugas-tugas
lainnya.
Berdasarkan deskripsi di atas, maka
perlu kiranya untuk melaksanakan program yang disusun berdasarkan skala
prioritas penanganan isu berdasarkan implementasi manajemen sekolah efektif
guna peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Langkah yang paling tepat adalah
menyebarluaskan dan mengintroduksi terlebih dahulu perspektif otonomi sekolah
atas dasar School Based Management (SBM) yang memfokuskan pada mutu
pendidikan, sehingga menjadi suatu kepedulian yang mendalam dari para pengelola
pendidikan/guru guna mewujudkan rencana strategis sekolah secara matang dan
tepat guna. Dengan demikian, penerapan TQM akan berarti pada adanya kebebasan
untuk berpendapat bagi seluruh komponen sekolah. Dalam kegiatan pembelajarannya
pun, kebebasan berpendapat akan menciptakan iklim yang dialogis antara siswa
dengan guru, siswa dengan kepala sekolah, serta guru dan kepala sekolah,
singkatnya, kebebasan berpendapat dan keterbukaan antara seluruh warga sekolah.
Diskusi tersebut memberikan pemahaman
kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan
faktor input pendidikan, melainkan juga harus lebih memperhatikan faktor
proses pendidikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam
batas-batas tertentu, namun tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis
meningkatkan mutu pendidikan (school resoums are necessary but not suffiaent
condition to improve student achievement). Di samping itu, mengingat
sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai
keragaman potensi peserta didik yang memerlukan layanan pendidikan yang
beragam, dan kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah
harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan
peningkatan kualitas/mutu pendidikan. Peningkatan mutu di setiap satuan
pendidikan diarahkan pada upaya terselenggaranya layanan pendidikan kepada
pihak yang berkepentingan atau masyarakat.
Dengan demikian, di lembaga pendidikan
ada upaya untuk terus berpacu dengan fenomena masyarakat berdasarkan pada mutu
yang terjamin, karenanya perbaikan secara berkesinambungan merupakan langkah
yang pasti untuk diambil. Perbaikan yang berkesinambungan berkaitan dengan
komitmen continuous quality improvement atau CQI dan continuous
process improvement. Komitmen terhadap kualitas dimulai dengan
pernyataan dedikasi pada misi dan visi bersama, serta pemberdayaan semua
partisipan untuk secara inkremental mewujudkan visi tersebut. Perbaikan yang
berkesinambungan tergantung kepada dua unsur. Pertama, mempelajari proses,
alat, dan keterampilan yang tepat. Kedua, menerapkan keterampilan baru pada small
achievabk projects. Upaya perbaikan kualitas secara berkesinambungan dalam
lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan sistem terbuka atas fungsi inti
lembaga pendidikan, yakni student learning.
Semoga dengan adanya komitmen internal
akan menjadikan mutu pendidikan di Indonesia terus meningkat dan mencapai suatu
tatanan nilai yang idealis seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945
serta dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid.
2007. Perencanaan Pembelajaran, Mengembangkan Standar Kompetensi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Abdul Aziz
Wahab. 2007. Metode dan Model-Model Mengajar. Bandung: Alfabeta.
Moh. Uzer
Usman. 2008. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyasa,
E. 2007. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Oemar Hamalik.
2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Sugiyono.
2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Zamroni.
2000. Paradigma Pendidiknan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf
Publishing. *
posted by Jurnal Online Uniflor @ 20.14,
0 Comments:
Posting Komentar