Agrica, Vol. 1 No. 1 Juni 2010
Rabu, 16 Mei 2012
AGRICA, 3 (1) : 27 – 38 (2010)
ISSN : 1979-0368
KINERJA DAN PERBANYAKAN PARASITOID Tetrastichus brontispae PADA HAMA DAUN KELAPA : Brontispa longissima GESTRO (COLEOPTERA : CHRYSOMELIDAE) DI KABUPATEN ENDE – FLORES
Sri Wahyuni
Program Studi Agroteknologi,
Fakultas Pertanian Universitas Flores
ABSTRACT
The multiplication and performance of
Tetrastichus brontispae parasite on Brontispa longissima coconut leaves disease in Kabupaten Ende Flores
Brontispa
longissima
Gestro (Coleoptera: Chrysomelidae) is one of the important pests that attack
the
palm plants in
Southeast Asia. There
is a reported decline in the productivity of palm plants when
the pest attack reaches
30-40% with 5% of the plants
attacked dying. B.
Longissima pest attacks
plants at all stages of life, but its attack is most prevalent when plants reach the age of 4-5 years. The
spread of pests B. Longissima has
been reported in the district of Ende, Nangakeo and Ndona in 13 villages with a
total area of 150 ha plantation consisting of 15,000 coconut trees included in
the category of severe intensity of attacks.There have been attempted control measures with
the release of natural enemies Tetratichus brontispae but not much success has been seen .
This
study aimed to find out: The dominant type of the parasite in the district of Ende.
T. Brontispae were propagated and maintained in the laboratory using, augmentation
techniques, conservation or disposal was to be done. Colonies of the propagated
parasite T. brontispae
were
then released in the
field. The
factors causing T. Brontispae control failure, the population of B. longissima in the field, possibly the need for augmentation or conservation of T. brontispae
and the right time to make the release of parasite in the field was important. This research is expected to be useful as a basis in formulating
an appropriate control program, in order to control the pest B.
longissima in the field. The experiment
was conducted from January to June 2010 at Nangakeo, Ndona and Ende districts.
Implementation
of the
research was divided into four stages: location survey, maintenance and
multiplication of the pests
B. longissima and T.brontispae parasite, parasite release and the
evaluation of
results. The results were;
that there are three types of parasites, B.longissima coconut leaf pest in Ende
(sub Ndona, Nangakeo and Ende) the eggs
of the parasite Trichogrammatoideanana spp., the larvae and pupae of the parasite Tetrastichusbrontispae spp. and the ‘Asecodeshispinarum
Boucek’.
T. Brontispae parasite
being the
most dominant
parasite
in each district with 10% level of parasitization of larvae and pupae of
60-90%, biased sex male :
female ratio.
The pest
capability of T.brontispae parasite in the laboratory was 6: 10 with a
success rate of 90%. The decline in the influence of parasite performance
was
unsincronized between phases from the phase of the insect host
parasite
in the field, the availability of insect host and time of release as well as
climatic conditions not being conductive.
Keywords:
B. longissima, T. brontispae,
dominant parasitoids, parasitization ability
PENDAHULUAN
Brontispa
longissima
Gestro (Coleoptera:Chrysomelidae) merupakan salah satu hama penting yang
menyerang bangsa palm-palman di Asia Tenggara (Hosang, 2008), Dari 17 jenis
palm termasuk didalamnya adalah kelapa, nipa, pinang dan beberapa tanaman hias
menjadi inang dari B. longissima. Di beberapa provinsi di Indonesia hama
tersebut telah menjadi hama utama pada kelapa. Dilaporkan penurunan hasil
akibat serangan hama tersebut mencapai 30 – 40 % dan 5% dari tanaman yang
terserang mengalami kematian (Nakamura, 2006).
Penurunan hasil tersebut dianggap bernilai besar sebab penghasilan yang
diperoleh dari kelapa tidak sebesar penghasilan dari komediti perkebunan yang
lain dengan kata lain harga kelapa dipasaran masih relatif rendah.
Hama B. longissima dapat menyerang tanaman
pada semua stadia umur, tetapi serangannya paling banyak ditemukan pada saat
tanaman mulai berumur 4 – 5 tahun khususnya di derah beriklim kering tingkat
serangan hama tersebut lebih tinggi (Hosang 2008). Larva dan serangga dewasa B. longissimamenyerang jaringan daun
muda (janur) kelapa, dengan gejala serangan daun berubah warna menjadi coklat
sampai putih dan mengering. Gejala
serangan ini mengakibatkan berkurangnya area fotosintesis yang tentunya secara
tidak langsung dapat menurunkan produksi buah kelapa bahkan padaserangan berat
akan mengakibatkan kematian pada tanaman.
Upaya pengendalian telah dilakukan sejak hama
tersebut ditemukan di Indonesia pada tahun 1919 - 1934 (Nakamura, 2006) namun
hama tersebut tetap eksis. Dalam RENSTRA
DISHUTBUN Kab. Ende untuk tahun 2006 – 2010 tertuang program peningkatan
produktivitas tanaman perkebunan dengan salah satu upayanya adalah melakukan
pengendalian OPT pada setiap jenis pertanaman.
Dengan demikian upaya pengendalian OPT merupakan program pemerintah
daerah yang menjadi prioritas pelaksanaannya dilakukan tiap tahun. Penyebaran
hama B. longissima di Kabupaten Ende hampir merata di beberapa
Kecamatan, dari data yang diperoleh memperlihatkan bahwa di Kecamatan Ende,
Ende Timur, Ndona dan Ende Utara yang tersebar di 13 Desa dengan luas areal
pertanaman 150 Ha yang terdiri dari 15.000 pohon kelapa termasuk dalam kategori
intensitas serangan berat (DISHUTBUN, 2008).
Tindakan pengendalian yang telah diterapkan dibeberapa lokasi adalah
dengan melakukan sanitasi, pemberian pestisida dengan cara absorbsi akar dan
pelepasan musuh alami Tetratichus
brontispae (DISHUTBUN, 2008).
Pelepasan parasitoid T. brontispe
terakhir dilakukan pada bulan Desember 2007 dan Januari 2008 sejumlah 5.220
ekor. Tingkat populasi B. longissima di lapang pada saat
setelah dilakukan pelepasan musuh alami mengalami penurunan tetapi belum dapat
mengendalikan populasi hama pada musim selanjutnya hal tersebut diperlihatkan
dengan kemunculan B. longissima
setiap tahun dengan intensitas serangan berat terutama pada bulan - bulan
kering dan puncak penyerangannya terjadi pada bulan Januari – April.
Salah
satu penyebabgagalnya tindakan pengendalian yang telah dilakukan adalah kurang
baiknya system penangkalan disetiap pintu masuk daerah (karantina), sementara
itu komoditas kelapa merupakan komoditas yang dibutuhkan oleh semua lapisan
masyarakat dan kalangan industry sehingga peredaran dan perpindahan tempatnya
sangat cepat. Kegagalan kedua adalah perilaku bercocok tanam petani yang
menempatkan kelapa sebagai komoditas sampingan, sehingga teknik budidaya atau
cara penanganan OPT tidak dilakukansecara intensif. Meskipun Dinas terkait telah mengupayakan
tindakan pengendalian namunkegagalannya akan terjadi di tingkat petani. Ketiga penggunaan musuh alami di lapang
memerlukan pendampingan dan pengawalan, karena petani tidak cukup cakap untuk
melakukan hal tersebut.
Diperlukan suatu program PHT yang tepat dan menyeluruh agar masalah
tersebut dapat terselesaikan. Program
PHT tersebut mencakup studi bioekologi hama dan parasitoidnya dan teknik
budidaya yang baik. Kegiatan studi
bioekologi akan dipusatkan pada pemeliharaan parasitoid dominan dan
perbanyakannya yang nantinya akan mengarah pada pelepasan untuk tindakan
pengendalian.
Keberhasilan suatu tindakan pelepasan parasitoid yang telah dilakukan
mempunyai indikator berupa kemapanan parasitoid tersebut secara mudah dan
cepat. Hal tersebut berkenaan dengan
teori “Three Generation Three Years” yang dikemukakan oleh Ev Chausen seorang
ahli PHT dari California bahwa : a)
parasitoid/predator yang efektif secara sempurna selalu mapan secara
mudah dan cepat. b) parasitoid/predator yang gagal mapan secara mudah dan cepat
merupakan indikator ketidak efektifan musuh alami tersebut. c) kolonisasi / pelepasan
parasitoid atau predator eksotik dapat dihentikan selama tiga tahun apabila
tidak ada bukti kemapanannya di lapang.
Untuk itu kegiatan awal yang harus dilakukan adalah dengan mengetahui
kolonisasi dan kemapanan parasitoid yang telah dilepaskan terdahulu untuk
menemukan teknik pengendalian yang tepat.
Disamping itu, perlu diketahui jenis – jenis paraitoid yang ada di
lapang dan bagaimana tingkat dominansinya serta kemampuan parasitisasinya
dilapang. Sehingga kegiatan pemeliharaan
dan perbanyakan akan dipusatkan pada parasitoid dominan dengan tingkat
parasitisasi yang tinggi di lapang.
Sampai saat ini jenis parasitoid yang telah dilepaskan dan diharapkan
mampu mengendalikan populasi B. lingossima dilapang merupakan
parasitoid yang berasal dari daerah lain, dan belum ada informasi yang lengkap
mengenai jenis – jenis parasitoid yang ada di Kabupaten Ende dan tingkat
parasitisasinya di lapang. Untuk itu
penelitian ini dilakukan sebagai informasi berupa data yang akurat untuk
menyusun program PHT yang akan diterapkan.
Hama
B. longissima merupakan hama yang
keberadaannya paling dominan dan selalu muncul setiap tahun. Teknik pengendalian yang telah diterapkan
selama ini belum dapat mengendalikan populasi dan menurunkan tingkat serangan
hama tersebut di lapang. Hal tersebut
dikarenakan belum ditemukannya teknik pengendalian yang tepat dan tidak adanya
informasi mengenai faktor – faktor penyebab terjadinya kegagalan usaha
pengendalian yang telah dilakukan. Dengan mengetahui bioekologi hama dan musuh
alaminya dan mengetahui faktor penyebab gagalnya teknik pengendalian terdahulu
merupakan modal dasar dalam pengendalian hama B. longisimma selanjutnya yang akan dilakukan di lapang.
BAHAN
DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan Nangakeo, Ndona dan Ende.
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dengan alokasi pengambilan
sampel tiap kecamatan dilakukan sebanyak 4 kali. Penelitian dilakukan pada bulan Januari –
Juni 2010.
Adapun
yang menjadi parameter dalam pengamatan penelitian ini adalah :
1.
Jenis parasitoid yang muncul (%)
Jenis parasitoid
yang di dapat dari lapangan kemudian diidentifikasi dengan menggunakan kunci
determinasi serangga serta mencocokkan dengan literatur yang ada, setiap jenis
yang didapatkan pada setiap lokasi dikelompokkan berdasarkan jenisnya.
2.
Dominansi parasitoid (%)
Tingkat
dominansi masing – masing jenis parasitoid yang muncul dihitung komposisinya
dalam setiap lokasi pengambilan sampel untuk mengetahui tingkat dominansinya
maka digunakan rumus :
D =∑(ni (ni-1))
N(N – 1)
Dimana :
D = Dominansi
N = Jumlah
total species
Ni
= Jumlah suatu species
3.
Tingkat parasitisasi parasitoid (%)
Tingkat
parasitisasi atau kemampuan memarasit dari jenis parasitoid dominan akan
dihitung berdasarkan rumus :
……….(1)
..(2)
Dimana :
TP = Tingkat
Parasitisasi
Pr = Jumlah parasitoid yang muncul
P
= Jumlah pupa yang muncul
Model pertama
digunakan untuk parasitoid yang bersifat endoparasit. Model kedua digunakan untuk parasitoid yang
ektoparasit.
4.
Nisbah kelamin parasitoid (%)
Nisbah kelamin
pada umumnya nisbah kelamin yang normal adalah 1 : 1, namun demikian terdapat
jenis serangga yang memiliki tipe reproduksi Thelytoki yaitu serangga yang menghasilkan individu – individu
betina pada setiap keturunannya.
:
Dimana :
NB :
Nisbah Kelamin
Pj : Parasitoid Jantan
Pb : Parasitoid Betina
Pr : Parasitoid yang muncul
5.
Keperidian parasitoid dominan(%)
Keperidian
merupakan indikator banyak atau tidaknya individu yang dapat dihasilkan,
semakin tinggi tingkat keperidian maka semakin baik kinerja parasitoid
tersebut. Keperidian diamati dengan cara
menghitung jumlah keturunan pada setiap pupa terparasit.
6.
Tingkat kolonisasi parasitoid yang telah
dilepas (%)
Tingkat
kolonisasi parasitoid yang dianggap berhasil adalah kolonisasi yang dapat
ditemukan setiap saat dipertanaman dengan jumlah yang cukup dan mapan pada
ekosistemnya.
Bahan :
alkohol 90%, kapur anti semut, daun terserang yang masih terdapat telur, larva
maupun pupa B. lingossima.
Alat : cool box, hand score, botol
koleksi, toples penetasan, kuas, label, mikroskop, tabung reaksi, kain kasa,
lem kastol, karet, tabung banbu, cutter, guntung, alat tulis.
Pelaksanaan penelitian meliputi hal –
hal berikut :
1.
Survey
Survey
lokasi dilakukan untuk menetapkan lokasi pengambilan sampel pada tiap Kecamatan
yang telah ditentukan sebagai area penelitian.
Selain untuk mengetahui tingkat serangan B. longisimma dan keberadaan parasitoidnya di lapang dengan
mengambil beberapa bagian tanaman terserang yang masih mengandung telur, larva,
pupa maupun imago dan diidentifikasi di laboratorium, juga dilakukan
pengoleksian parasitoid dominan sebagai indikator kolonisasi dan kemapanan
parasitoid tersebut dilapang.
2.
Pembuatan
dan percobaan instrumen penelitian
Percobaan instrumen penelitian dilakukan
untuk mengetahui ketepatan daya guna dari instrumen tersebut. Dalam hal ini yang perlu dicoba adalah
pembuatan dan percobaan toples penetasan bagi B. longisimma dan parasitoidnya, teknik pengambilan sampel
dilapangan, teknik pemeliharaan dan perbanyakan dan teknik identifikasi di
laboratorium
3.
Perbanyakan
parasitoid dominan
Imago B.
longissima diperoleh dari lapangan.
Sekitar 20 ekor imago dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah
berisi daun muda kelapa (janur) segar, sebagai bahan pembiakan. Setelah 24 jam janur (tanaman inang) yang
telah diteluri dipindahkan ke dalam tabung lain dan diganti dengan pakan
baru. Kegiatan tersebut dilakukan
berulang – ulang sampai persediaan serangga inang dan instar inang
terpenuhi. Pemeliharan janur yang telah
diteluri dilakukan sampai telur menetas dan berkembang menjadi larva
instar-3 (jika janur layu, maka telur B. longissima dipindahkan ke wadah yang
telah dikondisikan sesuai bagi perkembangan telur B. longissima dengan menggunakan kuas), pakan terus diganti selama
fase larva hingga larva telah siap menjadi pupa, pupa yang siap menetas
dipindahkan ke dalam wadah plastik penetasan yang berdiameter 20 cm dan tinggi
30 cm. Imago yang muncul kemudian
digunakan untuk pembiakan selanjutnya.
Imago parasitoid yang telah
diidentifikasi dimasukkan ke dalam kurungan pemeliharaan yang berisi janur yang
telah terinfestasi larva B. longissima instar-2. Sebagai pakan tambahan untuk menjaga
kebugaran parasitoid diberikan larutan madu 10% yang dicelupkan kertas
kalender, kemudian kertas dimasukkan ke dalam kurungan . Infestasi dilakukan selama 24 jam. Tanaman inang
yang telah terinfestasi oleh parasitoid dipindahkan ke dalam tabung lain. Tanaman inang tersebut diganti dengan tanaman
inang baru yang telah terinfestasi larva B.
longissima instar-2, kegiatan ini diulang hingga persediaan parasitoid
terpenuhi. Setelah tiga hari infestasi
(hsi) janur yang telah berisi pupa inang terparasit dipindahkan kedalam stoples
penetasan. Pengambilan imago parasitoid
dilakukan pada hari ke-7 sampai hari ke-14 hsi.
Imago yang muncul digunakan sebagai bahan penelitian selanjutnya. Prosedur kerja dapat dilihat pada Gambar 4.1
berikut :
4.
Pelepasan
Brontispa longisima merupakan serangga nucturnal yaitu
serangga yang melakukan aktivitasnya pada malam hari. Oleh sebab itu pemilihan waktu yang tepat
untuk melakukan pelepasan adalah hal mendasar yang perlu diketahui. Waktu pelepasan parasitoid yang dianggap
efektif adalah pada senja hari.
Pelepasan parasitoid akan dilakukan secara serempak ditiap kecamatan
dengan mencoba melakukan teknik pelepasan secara augmentasi. Pelepasan dilakukan dengan dua cara yaitu
melepas pupa b. longissima yang telah
terparasit T. brontispae dan melepas imago T. brontispae yang telah menetas kurang lebih satu jam. Proses pelepasan dapat dilihat pada
gambar 4.2 berikut :
5.
Pengamatan
Pengamatan
yang dilakukan di laboratorium diawali dari proses identifikasi parasitoid dan
pada saat perbanyakan (jumlah parasitoid yang muncul, keperidian, nisbah
kelamin dan tingkat parasitisasinya).
Pengamatan dilapangan dilakukan pada saat setelah melakukan pelepasan
parasitoid (kolonisasi dan kemapanan).
6.
Analisis
Data
Data – data kuantitatif dianalisis secara
statistik dengan analisis varian (tingkat parasitisasi, keperidian, nisbah
kelamin dan dominansi masing – masing parasitoid). Sementara untuk data – data
diskriptif dianalisis secara kualitatif
(Gasperz, 1991).
HASIL
DAN PEMBAHASAN
1.
Jenis dan
Dominansi Parasitoid
Jenis musuh alami (parasitoid) pengendali
B. longissima yang ditemukan di lapangan
sebanyak tiga jenis yaitu parasit telur Trichogramma
toideanana Zehnter (Hymenoptera : Trichogrammatoidae), parasit larva dan
pupa adalah Tetrastichus brontispae
Ferriere (Hymenoptera : Eulophydae) dan Asecodes
hispinarum Boucek. Namun demikian dari ketiga jenis tersebut T.brontispae Ferriere (Hymenoptera :
Eulophydae) merupakan jenis parasitoid yang paling dominan pada setiap lokasi
(Nangakeo 26%, Ndona 15% dan Ende 39%). Data persentase dominansi disajikan
dalam tabel berikut :
Tabel 1. Dominansi jenis parasitoid pada tiga lokasi
pengamatan.
Jenis
Parasitoid
|
Lokasi
|
Dominansi
(%)
|
Trichogrammatoideanana
Zehnter
|
Nangakeo
|
15
|
Tetrastichusbrontispae
Ferriere
|
|
26
|
Asecodeshispinarum
Boucek
|
|
18
|
Trichogrammatoideanana
Zehnter
|
Ndona
|
3
|
Tetrastichusbrontispae
Ferriere
|
|
15
|
Asecodeshispinarum
Boucek
|
|
13
|
Trichogrammatoideanana
Zehnter
|
Ende
|
11
|
Tetrastichusbrontispae
Ferriere
|
|
39
|
Asecodeshispinarum
Boucek
|
|
18
|
Keterangan :
data telah di analisis menggunakan indeks dominansi simpson’s
Tetrastichus brontispae
Ferriere merupakan jenis musuh alami dengan tingkat dominansi paling tinggi di
tiga kecamatan secara berturut – turut kecamatan Nangakeo (26%), Ndona (15%)
dan Ende (39%) hal tersebut dikarenakan T.
Brontispae memiliki tipe reproduksi gregarius yaitu lebih dari satu
individu parasitoid dari species yang sama dapat hidup dalam satu inang
(Trimurti dkk, 2006). Keadaan yang
demikian juga diperkuat oleh penelitian Zhou (2006) yang menyatakan bahwa T.brontispae merupakan parasitoid
monofag yang secara umum terbatas pada satu species inang dan parasitoid
tersebut juga merupakan endoparasit yang meletakkan telur di dalam tubuh
inang. Parasitoid yang bersifat monofag
memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengendalikan populasi hama di lapang
dibandingkan dengan jenis parasitoid yang bersifat polyfag.
Berdasarkan sifat dan kemampuan yang dimiliki oleh T. Brontisphae maka jenis parasitoid ini dapat dijadikan sebagai
agen pengendali hayati untuk menekan populasi hama B. longissima di lapang.
2. Tingkat Parasitisasi Parasitoid Tetrastichus brontispae
Tingkat parasititasis adalah kemampuan
parasitoid untuk memarasit atau mematikan serangga inang yang ditandai dengan
banyakanya mortalitas serangga inang dan tingginya tingkat keperidian serta
nisbah kelamin yang ideal. Parameter
tersebut merupakan kriteria musuh alami yang efektif untuk mengendalikan
populasi serangga inang di lapang. Tetrastichus brontispae yang
dikembangkan di laboratorium dengan suhu rata – rata 320C dan
kelembaban rata – rata 79% memiliki
tingkat parasitisasi yang baik yaitu berkisar 40 - 80%. Data tingkat
parasitisasi T. brontispae yang diuji
dalam laboratorium pada 10 ekor B.
longissima dengan 10 kali pengulangan diperlihatkan pada tabel berikut :
Tabel
2 Tingkat Parasitisasi T. brontispae pada
berbagai komposisi
Imago T. Brontispae
|
Pupa B. longissima
|
Tingkat Parasitisasi (%)
|
1
|
10
|
0d
|
2
|
10
|
0cd
|
3
|
10
|
40bc
|
4
|
10
|
46b
|
5
|
10
|
62b
|
6
|
10
|
80a
|
7
|
10
|
31bc
|
8
|
10
|
0,67c
|
9
|
10
|
0,43c
|
10
|
10
|
0,16cd
|
Keterangan : huruf yang sama pada kolom yang sama
menandakan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada uji duncan’s taraf 5%
Persentase mortalitas pupa T. brontispae terendah diperlihatkan
pada perlakuan 1 : 10 dan 2 : 10. Hal
tersebut memperlihatkan bahwa satu dan dua ekor larva belum mampu memarasit
pupa B. longissima di dalam tabung,
dengan kata lain semakin tinggi populasi parasitoid maka semakin tinggi tingkat
parasitisasi (Okmar dan Bind, 2004).
Pola interaksi parasitoid dan populasi hama di alam adalah mengikuti
pola perkembangan inangnya sehingga apabila hama di lapang meningkat maka
populasi parasitoid juga semakin meningkat dan sebaliknya (Wahyuni, 2006).
Penurunan
tingkat parasitisasi T. Brontispae diperlihatkan
pada perlakuan 8 : 10 (0,67%); 9 : 10 (0,43%) dan 10 : 10 (0,16%). Keadaan yang demikian diperkirakan karena
terjadi kompetisi antara parasitoid untuk memperebutkan serangga inang. Wahyuni (2006) menjelaskan bahwa proses
parasitisasi juga dapat dipengaruhi karena adanya faktor kompetisi secara
intraspesifik maupun interspesifik.
Persaingan intraspesifik yaitu persaingan yang terjadi antara individu –
individu sejenis sedangkan persaingan interspesifik yaitu persaingan yang
terjadi antara dua jenis yang berbeda.
Persaingan terjadi akibat adanya perebutan makanan, ruang tempat
tinggal, cahaya dan sebagainya (Nicholson, 1954 dalam Price, 1984). Keadaan
yang demikian menandakan bahwa dalam proses bereproduksi, umumnya suatu jenis
parasitoid akan melewati tahapan – tahapan parasitisasi agar parasitoid
berhasil memarasit inangnya.
Sebelum
proses peneluran berlangsung imago T.
brontispae terlebih dahulu melakukan pendekatan terhadap inang. Pertanda yang digunakan untuk mendeteksi
keberadaan inang meliputi senyawa kimia yang dihasilkan oleh inang berupa
cairan ataupun kotoran dan pertanda fisik seperti ukuran, bentuk ataupun
tekstur inang (Sofia, 2008).
Tetratichus
brontispae merupakan
jenis parasitoid endoparasit yaitu parasitoid yang memarasit dari dalam tubuh
serangga inang. Ciri khas dari tipe
parasitoid ini adalah memiliki kemampuan melakukan host feeding yaitu perilaku parasitoid sebagai usaha untuk
memperoleh makanan dengan cara mengambil atau menghisap tubuh inangnya. Host
feeding memiliki perangan yang sangat penting bagi serangga betina untuk
memenuhi kebutuhan protein dalam tubuhnya untuk memproduksi telur (Ueno,
1998). Peristiwa host feeding diperlihatkan pada perlakuan pada perlakuan 8 : 10, 9
: 10 dan 10 : 10, dimana pada ketiga perlakuan tersebut meunjukkan kegagalan T.brontispae untuk menjadi imago karena
adanya peristiwa kompetisi antara imago - imago T.brontispae. Telur T.brontispae yang telah di letakkan pada
inang akan mengalami kegagalan menetas karena inang yang sama telah di host feeding oleh imago T.brontispae lain yang mengakibatkan
larva T.brontispae yang ada di dalam
tubuh serangga inang mengalami kekurangan cairan dan akhirnya gagal
menetas.
3.
Nisbah
Kelamin dan Keperidian Tetratichus
brontispae
Nisbah kelamin dan keperidian T. Brontispae yang diberi perlakuan
kombinasi perbandingan pupa B.longissima disajikan
dalam tabel 3 berikut :
Tabel 3.
Nisbah kelamin dan keperidian T.brontispae
pada setiap perlakuan
Imago T. brontispae
|
Pupa B. longissima
|
Nisbah kelamin
|
Keperidian (%)
|
1
|
10
|
0 : 0
|
0e
|
2
|
10
|
0 : 0,8
|
0,2e
|
3
|
10
|
1 : 1,27
|
49bc
|
4
|
10
|
1 : 1,48
|
58b
|
5
|
10
|
1 : 1,53
|
97a
|
6
|
10
|
1 : 1,58
|
100a
|
7
|
10
|
1 : 1,46
|
46bc
|
8
|
10
|
1 : 1,05
|
7d
|
9
|
10
|
0 : 1
|
6d
|
10
|
10
|
0 : 1
|
6d
|
Keterangan :
huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan pengaruh yang tidak berbeda
nyata pada uji duncan’s taraf 5%
Tabel 3 di atas memperlihatkan hasil terendah pada
nisbah kelamin secara adalah perlakuan 1
: 10 (0 : 0) dan 2 : 10 (0 : 0,8) dan diikuti dengan tingkat keperidian
terendah. Hal tersebut terjadi
diperkirakan karena satu dan dua individu T.brontispae
belum mampu mengendalikan 10 ekor pupa B.longissima
di dalam tabung. Kegagalan T.brontispae menetas pada perlakuan 1 :
10 dan 2 : 10 disebabkan masih banyaknya kandungan lemak pada pupa yang
menghambat proses keluarnya T.brontispae dari
pupa B.longissima yang ditandai
dengan gagalnya pupa B.longissima menjadi
imago. Kemungkinan lain karena
terjadinya hamabtan pada proses pengenalan inang yang dilakukan oleh T.brontispae.
Tingkat
keperidian tertinggi diperlihatkan pada perlakuan 6 : 10 (100%) dan 7 : 10
(97%). Keadaan yang demikian menandakan
bahwa 6 ekor T.brontispae memiliki
kemampuan terbaik untuk memarasit 10 ekor B.brontispae,
hal tersebut diperkuat dengan tingkat nisbah kelamin yang bias betina. Individu – individu betina merupakan
parasitoid yang dapat bekerja efektif untuk menurunkan tingkat populasi hama di
lapang sebab individu – individu betina yang mampu menghasilkan dan meletakkan
telur atau memarasit inangnya, keadaan yang demikian tidak terjadi pada
individu – individu jantan.
4.
Tingkat
Kolonisasi Parasitoid Tetratichus
brontispae
Daya
parasitisisasi T. Brontispae berbeda di laboratorium dan lapangan.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor
makanan dan lingkungan. Daya
parasitisasi yang baik ditandai dengan tingkat keperidian yang tinggi dan
kemampanan parasitoid membentuk koloni.
Tingkat kolonisasi di simbolkan dengan skor dimana satu ekor B. Longissima dapat diparasit oleh 3
ekor T.brontispae. Tabel 4 berikut menampilkan data
kolonisasi yang terbentuk setelah dilakukan pelepasan pada waktu pelepasan yang
berbeda kecamatan Nangakeo, Ndona dan Ende.
Tabel 4. Tingkat kolonisasi T.brontispae yang telah dilepaskan di lapangan pada setiap
kecamatan
Lokasi
|
Interval Pengamatan dan Tingkat
Kolonisasi
|
Waktu aplikasi
|
|||
2 msi
|
4 msi
|
6 msi
|
8 msi
|
||
Nangakeo
|
1
|
1
|
2
|
2
|
17.00
|
Ndona
|
1
|
0
|
1
|
1
|
15.00
|
Ende
|
0
|
0
|
0
|
1
|
08.00
|
Keterangan
:
msi : minggu setelah investasi
skor
0 : < 3 ekor T. brontispae : 1 ekor B.
longissima
skor 1 : 3
– 6 ekor T.brontispae : 1 ekor B.longissima
skor 2 : > 6 ekor T.brontispae : 1 ekor B.longissima
Tabel 4 memperlihatkan adanya perbedaan tingkat
dominansi berdasarkan waktu aplikasi disetiap kecamatan. Pada kecamatan Nangakeo, pelepasan parasitoid
dilakukan pada jam 17.00 memiliki tingkat kemampanan parasitoid yang lebih baik
jika dibandingkan dengan kecamatan Ndona (pukul 15.00) dan Ende (pukul 08.00).
Keadaan yang demikian telah diperlihatkan pada pengamatan 2 - 8 msi.
Brontispa longissima merupakan
serangga nocturnal yaitu jenis serangga yang aktif pada malam hari. Sementara itu parasitoid T.brontispae merupakan parasitoid yang tidak memiliki masa
praoviposisi yaitu dapat menghasilkan tulur sesaat setelah menetas. Keadaan yang demikian menyebabkan T.brontispae yang diinvestasikan di
lapang harus segera dapat menemukan makanannya.
Oleh sebab itu tingkat keberhasilan pelepasan T.brontispae di alam paling baik dilakukan pada saat pada saat T.brontisphae dalam fase pupa instar akhir dengan waktu
pelepasan sore hari.
Selain
faktor waktu pelepasan, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah sinkron
tidaknya fase aktif T.brontispae dengan
fase inang yang tersedia di lapang. Hal
tersebut disebabkan karena T. brontispae memiliki
daya predasi yang berbeda terhadap fase larva dan pupa B.longissima. Tingkat
parasitisasi T.brontispae sebesar 10%
pada larva dan 80% pada pupa B.longissima. Keadaan tersebut diperkuat oleh penelitian
Sihombing (2009) yang menyatakan bahwa B.
longissima pada fase larva lebih aktif sehingga tingkat parasitisasi T.brontispae hanya mencapai 10%
sedangkan tingkat parasitisasi T.brontispae
pada fase pupa mencapai 60-90%, (Rethinan dkk 2007). Fenomena tersebut menandakan bahwa
sinkronisasi antara parasitoid dengan fase ketersediaan inang sangat
mempengaruhi tingkat keberhasilan kinerja parasitoid di lapang.
Kondisi iklim juga sangat berpengaruh
terhadap kemapanan parasitoid di alam.
Pada pengamatan 4 msi di kecamatan Ndona dan Ende terjadi hujan deras,
kondisi tersebut menyebabkan terjadinya penurunan populasi T.brontispae yang ditemukan di alam sementara populasi B.longissima masih banyak di
pertanaman. Hal tersebut disebabkan
karena B.longissima pada fase telur
hingga imago berada di dalam janur yang mengakibatkan B.longissima dapat terlindungi dari air hujan. Sementara imago T.bronthispae hidup bebas.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat disusun dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Terdapat tiga jenis parasitoid hama
janur kelapa B.longissima yang ada di
Kabupaten Ende (kecamatan Ndona, Nangakeo dan Ende) yaitu parasit telur Trichogrammatoideanana Zehnter
(Hymenoptera : Trichogrammatoidae), parasit larva dan pupa Tetrastichusbrontispae Ferriere (Hymenoptera : Eulophydae) dan Asecodeshispinarum Boucek.
2.
Parasit T. brontispae merupakan parasitoid dominan pada setiap kecamatan
dengan tingkat parasitisasi larva 10% dan pupa 60-90%, Nisbah kelamin yang bias
betina.
3.
Kemampuan Parasitisisasi T.brontispae terbaik di laboratorium
adalah 6 : 10 dengan tingkat keberhasilan sebesar 90%.
4.
Penurunan kinerja parasitoid di
pengaruhi oleh ketidaksinkronan antara
fase parasitoid dengan fase serangga inang di lapang, ketersediaan
serangga inang dan waktu pelepasan serta kondisi iklim yang tidak kondusif.
UCAPAN
TERIMAKASIH
Pada kesempatan
yang baik ini penulis ingin mengucapakan terimakasih yang sebesar – besarnya
kepada DIKTI Cq. DP2M atas dana yang diberikan demi terlaksananya penelitian
ini, kepada Yapertif, Universitas Flores Cq. Lembaga Penelitian Universitas
Flores dan Fakultas Pertanian atas dukungan dan perijinannya, Dinas Perkebunan
dan Kehutanan Kabupaten Ende Cq. UB. Laboratorium Agen Hayati Ndona atas
fasilitas yang diberikan, Bapak Camat Nangapenda dan Ende Selatan atas
kerjasamanya, Sdri. Maria Goreti Nere yang telah membantu dalam proses
penelitan serta semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Berryman
A.A. 1981. Population System. New York : A General Press.
Clark,
L.R., Geler P.W., Hughes R.D., Norris R.F. 1976. The Ecology of Insects
Population in Theory and Practice. London : Chapman and Hall.
Dishutbun. 2008. Rencana Stratejik Dishutbun Tahun
2006 S/d 2008.
FAO.
2004. Report of the Expert Consultations on Coconut Beetle Outbreak in APPPC
Member Countries.
Hosang,M.L.A.,
Jelfina C.A., Novarianto, H. 1996. Biological control of Brontispa longissima
(Gestro) in Indonesia. Malayan Agricultural Journal, Vol. 124:37-52
Lever,
R. A. W. 1951. Malayan Agricultural Journal, Vol. 34:79-82
Nakamura,S.,
Konishi,K.,Takatsu, K. 2006. Invasion of Coconut Hispine Beetle, Brontispa
longissima :Current Situation and Control Measures in Southeast Asaia. Malayan
Agricultural Journal, Vol. 234:69-73
O’Connor,
B.A. 1940. Notes of the Coconut Leaf Hispid, Brontispa froggatti Sharp and its
Parasites. The New Guinea Agryculture Gazette. 6:36-40
Okmar
and Bind, 2004. Prey Quality Dependent Growth, Develpment and Reproduction of a
Biocontrol Agent, Cheilomenes sexmaculata
(Fabricus) (Coleoptera : Coccinellidae). iBiocont. Sci. Tech.
Sihombing,
M.B. 2009. Uji Parasitisasi Tetrastichus brontispae (Hymenoptera :
Eulophidae) Terhadap Kumbang Janur Kelapa Brontispa
longissima (Coleoptera : Chrysomilidae). Skripsi. Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Ueno,T.
1998. Selective Host-feeding on Parasitized Host by the Parasitoid Itoplectis narayae (Hymenoptera :
Ichneumonidae) and its Implications for Biological Control. Bull. Entomol. Res.
CAB International.
Trimurti,
H dan Yeherwandi. 2006. Pengendalian Hayati Hama dan Penyakit Tumbuhan. Andalas
University Press. Padang
Vinson, S.B., Iwantsch, G.F.
1980. Host Suitability for Insect Parasitoid. Annu. Rev. Entomol 25 : 397 –
419.
Water
House, D.F., Norris,K.R.1987. Biological Control : Pacific Prospects. ACIAR Inkata Press Melbourne. 134-141
posted by Jurnal Online Uniflor @ 18.39,
1 Comments:
- At 26 November 2019 pukul 23.28, Unknown said...
-
terima kasih banyak atas riset yang dilkukan oleh penulis mengingat pengendalian hama kumbang janur kelapa di NTT masih belum sepenuhnya diperhatikan.
Posting Komentar