Majalah Ilmiah INDIKATOR, Volume XIII, Nomor 2, September 2011
Kamis, 26 April 2012
TUTURAN RITUAL KEO RADO
PADA MATA GOLO ETNIK BAJAWA NGADA FLORES
NUSA TENGGARA TIMUR
Veronika Genua
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
FKIP, Universitas Flores, Ende, Flores
Email verni_ruing@yahoo.com
Abstrak
Agama
berhubungan erat dengan ritual karena ritual itu sesungguhnya merupakan bagian
dari perilaku beragama (Dhavamony,1995: 167). Nilai religius merupakan hal
pokok atau inti dari kehidupan beragama. Masyarakat etnis Bajawa memandang kematian sebagai ’Dewa da Enga atau Nitu da
Niu’. Dewa adalah kekuatan di atas yang baik (Dewa Zeta) yang memberi kehidupan
dan kematian. Nitu adalah kekuatan di bawah yang jahat (Nitu zale) yang bisa
mencabut nyawa manusia secara paksa. Mata Golo merupakan mati yang tidak wajar akibat
kecelakaan, bunuh diri atau dibunuh. Masyarakat percaya bahwa adat merupakan warisan
nenek moyang yang tidak dapat diabaikan. Tuturan ritual keo rado pada mata golo mengandung nilai dan makna. Nilai
tersebut antara lain, religius ( pemujaan, penghormatan), nilai penghormatan,
nilai keselamatan, nilai persaudaraan dan nilai kesakitan, sedangkan makna yaitu, makna
sosial dan makna budaya.
Kata Kunci
Ritual,
mata golo, keo rado
PENDAHULUAN
Keanekaragaman
suku, bangsa, agama, budaya, dan bahasa merupakan kekayaan bangsa yang perlu
dikelolah dan dikaji.
Melalui bahasa, kebudayaan suatu bangsa dapat dapat dibina, dibentuk dan
dikembangkan serta dapat diturunkan kepada generasi mendatang. Ia memungkinkan tiap orang untuk mempelajari kebiasaan,
adat istiadat, kebudayaan, serta latar belakangnya masing-masing ( Keraf, 2004:
1). Dengan bahasa
kita dapat mengembangkan kepribadian dan nilai-nilai sosial kepada tingkat yang
lebih tinggi dan apa yang biasa dipakai oleh masyarakat umum. Selain
itu, Palmer (2003:9-10) menegaskan bahwa tidak ada satupun media yang dapat
melampaui bahasa dalam kelenturan dan kekuatan komunikatif. Bahasa dapat
menerjemahkan nilai dan norma, skema kognitif manusia, persepsi, sikap,
kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya (Liliweri,2004 : 120).
Bahasa
mempunyai fungsi yaitu sebagai alat komunikasi verbal dalam kehidupan
sehari-hari, di samping
sebagai suatu unsur kebudayaan terutama dalam kegiatan ritual. Pemakaian bahasa ritual dalam
masyarakat di tanah ulayat
menggambarkan aspek budaya. Sebagai bagian dari kebudayaan, tuturan ritual
mengandung nilai budaya masyarakat pemiliknya. Nilai budaya yang terkandung
dalam tuturan ritual perlu dipahami melalui penulisan dan kajian yang cermat
dan mendalam.
Etnis
Bajawa atau Bhajawa adalah satu dari satu etnis yang mendiami Kabupaten Ngada di Pulau Flores bagian
tengah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Etnis ini memiliki latar belakang sosial
budaya yang berbeda. Adat istiadat, kebiasaan dan bahasa sangat berlainan. Dalam kalangan
masyarakat etnis Bhajawa hingga kini masih hidup sejumlah upacara /ritual tradisional
yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia sejak lahir sampai meninggal. Ritual-ritual tersebut anatara lain
ritual kelahiran, kematian, membuka lahan baru, perkawinan, panen hasil,
membuat rumah adat dan lain-lain yang tidak dapat disebut secara keseluruhan.
Dari beberapa ritual tersebut yang dibicarakan dalam tulisan ini adalah ritual kematian. Etnik Bajawa memandang kematian sebagai ’Dewa da Enga atau Nitu da Niu’. Dewa adalah kekuatan di atas yang baik (Dewa Zeta) yang memberi kehidupan dan kematian. Nitu adalah kekuatan di bawah yang jahat (Nitu zale) yang bisa mencabut nyawa manusia secara paksa. Karena itu di kalangan masyarakat Bajawa ada dua jenis kematian.
1) Mata Ade: Mati yang wajar karena penyakit medis; dan 2) Mata Golo : Mati yang tidak wajar akibat kecelakaan, bunuh diri atau dibunuh http://www.facebook.com/note.php?note_id). Masyarakat percaya bahwa adat merupakan warisan nenek moyang yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Adat merupakan peraturan yang dipakai untuk mengatur relasi antara manusia dengan wujud tertinggi (Tuhan) juga antara manusia dengan manusia bahkan antara manusia dengan lingkungannya.
Dari beberapa ritual tersebut yang dibicarakan dalam tulisan ini adalah ritual kematian. Etnik Bajawa memandang kematian sebagai ’Dewa da Enga atau Nitu da Niu’. Dewa adalah kekuatan di atas yang baik (Dewa Zeta) yang memberi kehidupan dan kematian. Nitu adalah kekuatan di bawah yang jahat (Nitu zale) yang bisa mencabut nyawa manusia secara paksa. Karena itu di kalangan masyarakat Bajawa ada dua jenis kematian.
1) Mata Ade: Mati yang wajar karena penyakit medis; dan 2) Mata Golo : Mati yang tidak wajar akibat kecelakaan, bunuh diri atau dibunuh http://www.facebook.com/note.php?note_id). Masyarakat percaya bahwa adat merupakan warisan nenek moyang yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Adat merupakan peraturan yang dipakai untuk mengatur relasi antara manusia dengan wujud tertinggi (Tuhan) juga antara manusia dengan manusia bahkan antara manusia dengan lingkungannya.
Sehubungan
dengan hal tersebut bahasa sebagai wahana pengungkap jati diri dan budaya suatu
etnik dalam banyak upacara adat, bahasa daerah biasanya menjadi alat tutur
utama. Bahasa daerah yang digunakan dalam upacara-upacara adat biasanya
bersifat unik dan menarik. Makna diartikan sebagai suatu yang melekat pada
sesuatu yang diartikannya, yang mana dapat berupa pesan-pesan baik verbal
maupun non verbal, dan
pada dasarnya makna itu terdapat dalam diri manusia (De vito).
Tuturan-tuturan
adat itu pada hakikatnya tidak dituturkan sebagai alat komunikasi dalam
kehidupan sehari-hari, tetapi dituturkan secara khusus pada ritual adat. Tuturan ritual keo rado merupakan upacara atau ritus
keselamatan bagi
orang yang mati tidak wajar (mata golo) juga keselamatan bagi anggota
keluarga yang ditinggalkan agar mereka tidak mengalami musibah yang sama. Ritus
ini dibuat untuk membasmi setan yang dalam bahasa setempat disebut polo.
Tradisi
ritual keo rado menjadi bagian dari
proses komunikasi yang memiliki manfaat sehingga dalam pelaksanaannya upacara keo rado dapat berjalan dengan baik.
Kegiatan ini harus dilakukan
sebagai bagian dari
tradisi masyarakat etnik Bajawa yang
ada kaitan dengan keagamaan, namun dapat juga dijadikan sebagai jembatan
komunikasi serta pewaris budaya yang merupakan proses penerus budaya dari
generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan tujuan utama ini, keluarga atau orang yang mengalami bencana mata golo percaya bahwa peristiwa serupa
tidak terulang. Kematian
ini biasanya diakibatkan oleh peristiwa seperti pembunuhan, kecelakaan lalu
lintas ataupun bunuh diri. Sebagaimana halnya setiap kematian adalah suatu
kehilangan yang menyedihkan bagi kaum keluarga yang ditinggalkan, demikian pula
mata golo bukan saja menyedihkan
tetapi juga menjadi suatu malapetaka bagi keluarga yang ditinggalkan.
Berdasarkan
paparan tersebut, maka yang akan dibahas dalam pemaparan ini adalah makna dan
nilai-nilai yang terkandung dalam tuturan ritual keo rado pada mata golo etnik Bajawa Ngada Flores Nusa Tenggara Timur.
PEMBAHASAN
2.1 Ritual Keo Rado
pada Mata Golo
2.1.1 Ritual Keo
Rado
Ritual sebagai bagian dari
peristiwa wicara merupakan suatu tata cara berbahasa lisan formal dalam konteks
seremoni ritual (Fox, 1986). Bahasa yang digunakan dalam konteks sosial budaya
tertentu, misalnya dalam ritual keadatan, mengemban tujuan tertentu dan
merupakan sumber budaya.
Sumber budaya itu digunakan dan dimaknai secara kontekstual oleh guyub tutur
dan guyub kultur itu di dalam kehidupan bersama, antara lain demi penerusan
budaya antargenerasi.
Ritual Keo Rado merupakan ritual keselamatan bagi jiwa orang yang mati
tidak wajar yang dalam bahasa setempat disebut mata golo dan keselamatan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan
agar mereka tidak mengalami musibah yang sama. Selain itu ritual ini diciptakan untuk membasmi setan
yang dalam bahasa setempat disebut polo.
Keo rado berasal dari bahasa Bajawa, keo ‘bunuh’ dan rado ‘tikam’. Dalam upacara adat arti keo rado yang biasa digunakan adalah keo
mona zezo, pasa
bhago sala yang
artinya tikam setan tepat sasarannya berkaitan
dengan mata golo. Kata rado merujuk pada tindakan membuang
semua yang jahat atau
buruk yang menyebabkan seseorang mati tidak wajar (mata golo).
Dengan
demikian ritual Keo rado adalah
upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat etnik Bajawa bertujuan untuk keselamatan
arwah orang yang mati tidak wajar dan keselamatan bagi anggota keluarga yang
ditinggalkan. Keselamatan ini ditandai dengan penikaman atau pembunuhan terhadap
setan yang terungkap dalam simbol
yaitu batang pisang.
Masyarakat etnik Bajawa yakin
dan percaya bahwa dengan melakukan
ritual tersebut, maka bencana atau kematian yang tidak wajar (mata golo)
tidak akan terjadi lagi atau menimpah keluarga tersebut.
2.1.2
Mata
Golo
Mata Golo atau kematian tak wajar yang
disebabkan akibat
jatuh dari pohon, kecelakaan lalu lintas, tenggelam, dibunuh dan bunuh diri. Menurut etnik
Bajawa, orang yang mati tidak wajar tidak
di panggil oleh wujud tertinggi (Tuhan),
melainkan mati disebabkan oleh setan (polo).
Istilah ini dikenakan kepadanya, karena dia yang mengganggu anggota keluarga.
Arwah orang yang mati tidak wajar akan mengganggu anggota keluarga, karena
arwahnya masih merana dan akan terus mengganggu anggota keluarga yang masih
hidup. Untuk mengembalikannya ke tempat yang layak harus diadakan ritual keo rado.
Menurut
kepercayaan etnik Bajawa,
orang yang meninggal tidak wajar mayatnya tidak boleh berada atau ditempatkan
di dalam rumah. Jenazah
tidak dimasukkan pada peti seperti mayat
lainnya tetapi, dibuat dari pelupu dan mayatnya
dimakamkan pada tempat tersendiri di luar pemakaman umum. Contoh ini hanya menegaskan bahwa
kematian seseorang yang tidak wajar diyakini akan membawa bencana bagi orang
lain. Maka untuk mengatasi hal itu, harus dilakukan ritual keo rado (tolak bala/ pembersihan).
Upacara
penguburan melalui beberapa proses:
1) Pai api (menjaga mayat), tau tibo
(upacara mencari penyebab kematian), keo
rado (upacara pembersihan), tane (menguburkan mayat) dan e lau kora (membuang seluruh peralatan
yang dipakai ke arah matahari terbenam). Berdasarkan tiga proses ritual tersebut, yang akan dibahas secara khusus
adalah ritual keo rado (upacara
pembersihan).
2.2 Tuturan Ritual Keo Rado
Ritual
Keo
Rado terdiri dari
tiga tahap yakni: 1)
tahap Pa’i tibo (membuat
ramalan); 2)
tahap Ema Tana Ine (‘bapak
menanyai ibu)’,
dan Ike pebha dan Wela polo (potong
setan). Setiap tahap mempunyai tuturan yang dituturkan
oleh tua adat (mosalaki).
2.2.1 Tahap Pa’i
Tibo ‘Membuat Ramalan’
Tahap
pa’i tibo merupakan tahap awal ritual keo rado. Pada tahap ini,
tua adat akan
mencari tahu penyebab dari kematian tersebut dengan mengucapkan tuturan
sebagai berikut :
Kami Dia we tana
‘Sekarang kami bertanya’
Miu ma’e da dela
pada para leluhur’
Punu mumu
‘Ungkaplah
dengan mulut’
Poza lema
‘Nyatakan
dengan lidah’
Wi punu da kedhi banga
“‘Ungkapkan kepada anak-anak’
Ano zuwu
‘Yang tetap mencari’
Ano kede ano denge
‘Yang tetap setia mendengar’
Selain tuturan yang dituturkan yang ditujukan pada leluhur, kepada setan (polo) juga ditanyakan
sebagai berikut :
Polo punu kau go lobo apa
‘Setan,
katakanlah apa penyebabnya’
Maksud atau arti
dari tuturan tersebut yakni, kami
datang untuk bertanya kepada para leluhur yang akan diungkapkan dengan mulut dan lidah, katakan kepada kami
apa yang kami cari agar kami dapat mengetahui dan mendengar dan
kepada setan tentang penyebab kematian.
Berdasarkan tuturan adat pada tahap pa’i
tibo (membuat ramalan)
terdapat nilai-nilai yang terkandung dalam tuturan tersebut. Nilai-nilai yang
terkandung dalam tuturan pa’i tibo
antara lain :
1.
Nilai Kudus /Nilai Religius
Nilai kudus / nilai religius : yang berhubungan dengan
Tuhan yang kudus dan memiliki sifat absolut, sehingga dilakukan pemujaan atau
penghormatan kepada-Nya. Dalam perspektif kebudayaan nilai ini secara lebih
spesifik dikaitkan dengan agama sebagai tindakan simbolik. Agama berhubungan
erat dengan ritual karena ritual itu sesungguhnya merupakan bagian dari perilaku
beragama (Dhavamony,1995: 167). Nilai religius merupakan hal pokok atau inti
dari kehidupan beragama. Nilai religius secara terperinci dapat dipaparkan
sebagai berikut.
1.1 Nilai
pemujaan
Nilai pemujaan pada konteks membuat ramalan yaitu memuja
para leluhur yang telah meninggal. Hal ini diketahui bahwa para leluhur
walaupun telah meninggal namun, masih tetap berada di sekitar/ sekeliling kita
menurut kepercayaan etnik ini. Para leluhur yang telah mengetahui segala sesuatu yang sedang terjadi
dalam hidup ini. Hal ini dapat terlihat pada tuturan berikut ini :
Kami
Dia we tana
Miu ma’e da dela
Punu
mumu
Poza lema
Wi punu
da kedhi banga
Ano zuwu Ano kede ano denge
Sekarang
kami bertanya’
Kamu para
leluhur’‘
Ungkapan
dengan mulut’
Ungkapkan
kepada anak-anak’
Nyatakan
dengan lidah’‘
Yang tetap
mencari’
Yang tetap
setia mendengar’
1.2
Nilai Penghormatan
Nilai penghormatan adalah mengormati para leluhur yang telah meninggal.
Budaya masyarakat setempat tetap percaya pada para leluhur walaupun sudah
menganut agama, karena hal tersebut merupakan suatu budaya atau warisan dari
para leluhur. Nilai penghormatan dapat dilihat dalam tuturan berikut :
Kami Dia we tana
Miu ma’e da dela
Punu mumu
Poza lema
Sekarang
kami bertanya
Kamu para
leluhur
Ungkapan
dengan mulut
Nyatakan dengan lidah
2.2.2
Tahap Ema
Tana Ine “Bapak Menanyai Ibu”
Ritual ema
tana ine
dilaksanakan berikutnya,
sebelum matahari. Apabila
para leluhur menyetujui, maka setiap hari akan diawali dengan suatu
dramatisasi yang merupakan suatu demonstrasi dari beberapa gabungan struktur
perkawinan. Ritual ini disebut ema tana
ine (bapak menanyai ibu) yang juga
berarti mengucapkan selamat datang kepada setiap pasangan perkawinan yang sudah
meninggal dari berbagai kelompok suku, yang sebetulnya sudah berdiam dalam
rumah adat, tetapi telah meninggal karena mata
golo. Mereka diundang untuk hadir kembali secara ritual. Dalam
ritual ine tana ema tuturannya dapat
dipaparkan sebagai berikut.
Ine…Ine
‘Ibu…Ibu’
Miu
ulu nga tutu toro
‘Kepalamu terikat kain merah’
Ine
miu da gesso apa?
‘Ibu apa penyebabnya
Ine…ine
‘Ibu…Ibu’
Go bhara da ike beke
‘Yang putih membelenggu dada’
Da moe de da moe de
‘Apa sebab
Ine…ine miu punu si
ibu katakanlah’
Miu po si
‘Berbicaralah’
Kami wenga to’o
‘Kami akan mulai’
Miu posa si
‘Bicaralah’
Miu punu si
‘Katakanlah’
Kami
nenga dhuju puru pu’u
‘Kami hendak mengakhiri semuanya’
Arti tuturan tersebut adalah : Ibu.... kepalamu terikat kain merah, apa
alasanya? Apa sebabnya kain putih membelenggu dada, katakanlah, sehingga kami dapat
memulainya dan dengan cepat untuk mengakhiri semuanya.
Dalam ritual tersebut tua adat tidak hanya bertanya pada para leluhur wanita
tetapi juga ditujukan pada leluhur laki-laki untuk menanyakan penyebab kejadian tersebut. Tuturannya
dapat dipaparkan sebagai berikut.
Ema…Ema
‘Bapak…bapak’
Kami
ta da toro
‘Kami berselempang merah’
Kami wenga keo wenga rado
‘Kami
hendak membuat pembersihan
Ema…ema
‘Bapak…bapak’
Le bhara da ike beke
‘Yang
putih membelenggu dada’
Da wa’i da lau
‘Seorang yangberbaring di sana dengan kaki
terulur’
Dia da tuka lenga zeta
Dengan perut yang menghadap ke atas’
Mai si
‘Datanglah’
Kita wenga penga peo
‘Kita
hendak membuat pembersihan
‘Ikutlah membuang’
Kita nga penga podhu
‘duduklah
bersama-sama
We ulu mogo
“Jadi
kepala sama”
Kita
wenga dhoro
‘Kita akan keluar’
Kita
wenga keo wenga rado
‘Kita hendak membuat keo rado’
Mai si
‘Datanglah’
Maksud dari tuturan tersebut adalah: bapak
yang berselempang merah dan memakai kain putih yang membelenggu dada, sekarang kami akan membuat pembersihan untuk
orang yang
terbaring dengan kaki terulur dan perut yang menghadap ke atas. Datanglah, duduk bersama-sama dalam satu
keluarga dan kita akan keluar untuk membuat keo
rado’pembersihan’.
Seluruh
anggota keluarga yang masih mempunyai
hubungan perkawinan berkumpul bersama, maka sebuah solusi harus segera ditemukan agar jiwa orang yang
telah meninggal itu pun dapat dipanggil untuk
berpartisipasi dalam ritual tersebut. Hal ini dilakukan dengan
membuat tobo muku yang digantungkan
pada sebatang bambu yang berdiri (taga
tobo muku) di luar rumah. Selanjutnya tua adat memanggil arwah para leluhur
dengan seruan sebagai berikut:
Ine…ine
‘Ibu…...
Sa susu mite
“Yang ayam
hitam”
Kau ngodho…kau ngodho
‘Datanglah…datanglah’
Ema…ema
‘Bapak…....
Sa lalu toro
ayam
jantan merah’
Kau ngodho…kau ngodho
‘datanglah…datanglah’
Arti atau maksud tuturan tersebut adalah : ibu...kamu seperti ayam betina hitam, datanglah...datanglah. Bapak .......
kamu seperti ayam
jantan merah, datanglah...
Berdasarkan tuturan data tahap ema tana ine, terkandung nilai-nilai sebagai berikut:
2.2.2.1 Nilai persaudaraan
Esensi
dasar nilai persaudaraan ini merupakan
refleksi dari kesadaran bahwa manusia diciptakan sebagai satu saudara yang
secara alamiah memerlukan manusia lain dalam kebersamaan dan kekeluargaan
sebagai perwujudan citra rasa
kemanusiaan. Nilai tersebut terdapat dalam kutipan tuturan berikut ini.
Ine…Ine
Miu
ulu nga tutu toro
Ine miu
da gesso apa?
Ine…ine
Go bhara da ike beke
Da moe de da moe de
Ine…ine miu punu si
Miu po si
Kami wenga to’o
Miu posa si
Miu punu
si
Kami nenga dhuju puru pu’u
‘Ibu….....
‘Kepalamu
terikat kain merah’
‘Ibu
alasan apa?’
Ibu........
Yang putih membelenggu dada’
‘Apa
penyebabnya
‘Ibu…
katakanlah’
‘Berbicaralah
‘Kami
akan mulai
Bicaralah’
‘Katakanlah
‘Kami
hendak mengakhiri semuanya’
Tuturan yang telah dipaparkan disampaikan kepada arwah
atau semua leluhur yang telah meninggal. Menurut kepercayaan etnik ini adalah
bahwa walaupun seseorang telah meninggal
namun rasa persaudaraan tetap ada.
2.2.2.2
Nilai
Keselamatan
Nilai keselamatan adalah suatu nilai yang dilakukan untuk menyelamatkan
arwah serta keselamatan/pembersihan pada keluarga yang ditinggalkan agar dapat
terhindar dari malapetaka atau kematian
yang tidak wajar. Hal tersebut dapat terlihat pada tuturan sebagai
berikut.
Kita wenga penga peo
‘Kita
hendak membuat pembersihan
‘Ikutlah membuang’
Kita
nga penga podhu
‘duduklah
bersama-sama
We ulu mogo
“Jadi
kepala sama”
Kita
wenga dhoro
‘Kita akan keluar’
Kita
wenga keo wenga rado
‘Kita hendak membuat pembersihan
Mai si
‘Datanglah’
Data tersebut
menunjukkan tua adat dan keluarga akan
mengadakan ritual keselamatan bbaik bagi arwah yang meninggal maupun bagi
keluarga yang ditinggalkan.
2.2.3 Tahap Ike Pebha ‘Mengikat Erat’ dan
Wela Polo ‘Membunuh Setan’
Ritual ini merupakan ramalam tentang mata golo ( kematian tidak wajar) dengan
tuturan sebagai
berikut :
Dia go ike mu dhenga
‘Mari,ikat seerat-eratnya’
Pewa
mu dhenga
‘Pukul sekuat-kuatnya’
Kami wenga tana
‘Kami hendak bertanya’
Dia kami wenga le kezu pu’u
‘Kami hendak mencungkil sampai akar’
We luli mema
‘Agar langsung terpulih’
Kami we gugu gazi
‘Kami hendak mengejarnya’
Bodha we mara pugu
‘Sampai dia terantuk’
Bodha we dhuju
‘Sampai ditemukan’
Ngi’i go tobo golo
‘Karena tubuh yang meninggal ini’
Kami bodha we luli
‘Kami harus memulihkannya’
We wela mata
‘Untuk dibunuh’
Kau gubhu sewidha
‘Kau tutup satu’
Lenga sewidha
‘Kami akan
bicara sepatah kata di sini’
Wi la’a wela polo
‘untuk
pergi membunuh setan’
Gazi bodha we mata golo
Dia harus mati tidak
wajar
Sama ne’e
“Sama
dengan dia”
‘Sama seperti
dia’
Ma’e re Ma’e weje
“Jangan sembunyi
jangan menipu’
Kami wenga wela
‘Kami akan
membunuh’
Maksud atau arti dari tuturan tersebut
yaitu : mari
kita ikat seerat-eratnya
dan memukul sekuat-kuatnya dan kami akan bertanya dan mencari sampai akar
permasalahan. Sebelum kami pergi membunuh setan, kami akan berbicara sepatah
kata di sini dan dia harus mati seperti dia yang mati tidak wajar ini. Katakan
sejujurnya kepada kami agar kami bisa membalaskan dendam kami agar semua
terpulihkan. Kami akan mengejarnya sampai dia terantuk dan dia juga harus
mati.oleh karena itu. Kami minta kau buka satu tutup juga satu.
Berdasarkan data
tuturan tersebut terdapat nilai-nilai
sebagai berikut.
2.2.3.1 Nilai Kesakitan
Nilai kesakitan merupakan suatu sifat emosional atau rasa dendam yang dialami
oleh manusia karena mengalami suatu sebab akibat perbuatan orang lain. Nilai kesakitan dalam ritual ini yaitu ingin
membalas dendam akibat suatu kematian tidak wajar. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan tuturan sebagai berikut.
We wela mata
Untuk
dibunuh’
Kau gubhu sewidha
Kau tutup satu’
Lenga sewidha
Buka satu’
Wi la’a wela polo
untuk pergi membunuh setan’
Gazi bodha we mata
golo
Dia harus mati tidak
wajar
Sama ne’e
Sama seperti dia’
MAKNA
TUTURAN RITUAL KEO RADO PADA MATA GOLO
Setiap
tuturan memiliki makna tergantung pada setiap etnik. Dalam tuturan ritual kero rado pada mata golo terkandung makna sebagai berikut.
3.1 Makna
Sosial
Makna sosial
menggambarkan keterjalinan hubungan sosial dan kekerabatan antara masyarakat. Keterjalinan hubungan
ini tercermin dalam upacara pembersihan. Makna ini terungkap pada kutipan kalimat berikut.
3.1.1 Makna
kebersamaan
Makna Makna
kebersamaan merupakan suatu konsepsi cara pandang yang tidak dapat dipisahkan
dengan kehidupan individu atau kehidupan berkelompok dalam menjalani aktivitas
kehidupannya sehari-hari karena manusia adalah makhluk sosial. Makna
kebersamaan dapat diperhatikan dalam data teks SRJJ berikut ini
Mai si
‘Datanglah’
Kita
wenga penga peo
‘Kita hendak membuat pembersihan
‘Ikutlah membuang’
Kita
nga penga podhu
‘duduklah bersama-sama
Di
sini gambaran duduk bersama
tanpa memandang stratifikasi atau tingkatan dalam adat, dalam arti bahwa tua
adat dan warga adalah satu untuk membuat upacara pembersihan.
3.1.2 Makna Budaya
Makna
budaya menggambarkan bahwa etnik Bajawa Ngada masih mengingat sastra lama yang secara tidak
langsung menggambarkan eksistensi mereka pada zaman itu. Makna budaya ini diwariskan
secara turun temurun oleh para leluhur
untuk membersihkan bencana atau malapetaka yang telah menimpa masyarakat
pemilik budaya tersebut. Makna budaya terdapat dalam tuturan sebagai berikut.
Ine…ine
“Ibu......
Sa susu mite
‘Kamu ayam hitam’
Kau ngodho…kau ngodho
‘Datanglah…datanglah’
Ema…ema
“Bapa......
Sa lalu toro
ayam
jantan merah’
Kau ngodho…kau ngodho
datanglah…datanglah’
Tuturan
tersebut
menggambarkan bahwa sebelum melaksanakan ritual keo rado, leluhur
diundang untuk hadir bersama. Ibu disimbolkan dengan ayam hitam karena kelembutan seorang ibu melindungi dan menjaga anak-anaknya. Bapak disimbolkan dengan ayam
jantan merah melambangkan
keberanian, simbol kain merah yang digunakan laki-laki sebagai pelengkap
pakaian adat dalam melakukan ritual.
Di samping itu juga terdapat tuturan sebagai makna budaya
pada etnik tersebut adalah:
Go bhara da ike beke ‘ Yang putih membelenggu dada’
juga sebagai
makna budaya
simbol kain pengikat dada ‘go bhara ‘yang putih’ yang
melambangkan kelembutan dan kesucian. Sehingga dengan hati yang suci dan bersih
penyebab kematian dapat terungkap.
PENUTUP
Kematian mengakibatkan orang merasa kehilangan
dan dapat membawa kesedihan pada setiap keluarga. Mata golo kematian tidak wajar membuat keluarga dapat terlarut dalam kesedihan namun dapat
mengakibatkan malapetaka. Menurut kepercayaan etnik Bajawa kematian tersebut
adalah akibat dari perbuatan nitu
(roh halus) yang mencabut secara paksa jiwa manusia. Untuk itu diadakan sutu
ritual pembersihan atau keselamatan baik bagi yang arwah yang telah meninggal
maupun keluarga yang ditinggalkan agar
tidak mendapat malapetaka yang sama yang disebut dengan keo rado.
DAFTAR PUSTAKA
Dhamavony, Mariasusai. 1995.
Fenomena Agama.Jogjakarta: Kanisius
Fox. J.J. 1986. Bahasa, Sastra, dan
Sejarah : Kumpulan Karangan Mengenai
Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Jambatan (Seri ELDEP)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=119870524724867 budaya adat bajawa (FLORES) akses Sabtu, 15 - 01-
2011
Keraf, Goris. 2004.
Komposisi . Ende : Nusa Indah
Lili
Weri, A. 2004. Dasar-Dasar Komunikasi
Antarbudaya. Yogya: Pustaka Pelajar
Palmer, R.E.2003. Hermionetika, Teori baru tentang
Interpretasi, (Terjemahan musnur Hery dan Damanuri Muhammad dari judul asli: Interpretation Theory in Scheimacher, Dithey, Heidegger, and gadamer).
Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. *
posted by Jurnal Online Uniflor @ 11.50,
0 Comments:
Posting Komentar