Majalah Ilmiah INDIKATOR, Volume XIII, Nomor 2, September 2011
Kamis, 26 April 2012
SA’O NGGUA SEBAGAI PUSAT DAN SIMBOL
BUDAYA ETNIK LIO *
Oleh Thomas Geba
Program Studi Pendidikan Sejarah,
FKIP, Universitas Flores, Jln. Sam Ratulangi, Ende, Flores
Abstract
Lio ethnic ancestral indigenous people in the
development of culture, leaving various kinds of legacies. The legacy is still
visible to this day, among others is Sa'o Nggua. Culture as human property in
the community, ethnic community's special Lio should serve as guidelines for
all their lives. Sa'o Nggua, the discussion can be viewed from several aspects
of the construction, function, and symbolic meaning that is implied in it. Sa'o
Nggua with a sturdy and robust appearance symbolizes the pride and greatness of
the ruler, clan, sub-ethnic groups concerned. In addition, symbolizing unity
and close relationships between Mosalaki with God and with the ancestors, with
supernatural beings and the universe, and the entire community of supporters.
More than it can be argued that Sa'o Nggua is the symbol of a human body is an
idealized body of a mother. A mother with her affection are willing and wish
for the children of men who had birth, buried back into her womb the way to the
Creator. The description is to give guidance to us that Sa'o Nggua is the
center and symbol of culture. As the center and symbol appear on the
traditional leadership that embodies the ideal of cultural magic of the concept
of religious values and concepts of value unity. Various activities which are
patterned human behavior manifestations in the form of organizing society and
traditional rituals completions issue violations to the norm, and kind-human
tiger thing works like Wea, Londa, sue, seke, tumba, and sau, watu pa'a du'a,
watu bo'o, and watu turajaji. Everything is a united whole collected in
containers called Sa'o Nggua. From this reality, I hope to inspire scholars and
government officials Lio ethnic origin for supporting cultural motivate
citizens to jointly explore, discover, and again conserve Sa'o Nggua the terms
of that, to be able to adapt and absorb values global culture positive for the
sake of developing its own culture.
Keywords
Sa'o Nggua, traditional houses, custom center for ethnic,
cultural
symbols
Lio
KONSEPSI DAN
WUJUD BUDAYA
Sa’o
Nggua merupakan salah satu wujud dari sekian banyak warisan budaya etnik Lio yang hingga kini masih eksis,
namun belum mendapat perhatian serius masyarakat pen – dukungnya.
Soekmono(1973:4) menyebutkan bahwa
kebuayaan - kebudayaan yang lam- pau itu sampai kepada kita berupa
peninggalan-peninggalan (harta kebendaan dan harta kerohanian). Harta-harta
peninggalan meliputi seluruh
usaha manusianya, akan tetapi yang sampai kepada kita sekarang
ini hanyalah sebagian kecil dari padanya.
Selebihnya telah lenyap tiada bekas.
Oleh karena itu, sudah
merupakan kewajiban kaum intelektual terutama intelektual etnik
Lio yang peduli akan budayanya
untuk menggali, menemukan, dan melestarikan kembali
Sa’o
Nggua sebagai pusat dan simbol budaya yang
syarat nilai itu. Dalam kaitan i ni, Soekmono (1973: 14,17)
menyatakan bahwa tidak ada sesuatu benda yang dibuat manu – sia tanpa maksud
dan tujuan.Benda buatan manusia pada hakikatnya hanyalah penjelma- an dari kerohaniannya.
Maka dari harta kebendaan itu dapat pula ditarik kesimpulan – ke- simpulan
mengenai alam pikirannya yang
menjadi dasar dan yang menggerakkan serta mendorong diciptanya
benda-benda itu. Khusus mengenai kebudayaan megalitikum yang masih hidup di
Flores, beliau menyatakan bahwa hal itu sangat banyak memberi petunjuk kepada
kita untuk menyelami hasil - hasil kebudayaan dan juga alam pikiran yang
tersim- pan di belakangnya dan menjadi pendorongnya. Hasil-hasil terpenting
dari kebudayaan megalitikum, selain menhir dan dolmen adalah Ss’o Nggubeserta
seluruh isinya.
E.B.Tylor (dalam Keesing)1992:
68) menyatakan budaya adalah suatu keseluruhan kom-
leks yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat-istiadat, ser-
ta kesanggupan dan kebiasaan
lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota ma-
syarakat.
Budaya sebagai konsep,gagasan,
Goodenouch (dalam Keesing,1992:68) menjelaskan
bahwa para pakar antropogi
dalam menggunakan istilah budaya selalu berbicara tentang
dua tatanan semesta.
Pertama, budaya digunakan untuk
mengacu pada ”pola kehidupan suatu masyarakat, ke-
giatan, dan
pengaturan material dan sosial yang berubah secara teratur” yang
merupakan
kekhususan suatu kelompok manusia tertentu (mengacu pada keda-
laman fenomena benda-benda dan
peristiwa-peristiwa yang bisa diamati)
Kedua, budaya dipakai untuk
mengacu pada ”sistem pengetahuan dan kepercayaan yang
disusun sebagai pedoman manusia”
mengatur pengalaman dan persepsi mereka da lam
menentukan tindakan, dan memilih di antara alterntif yang ada (mengacu pa-
da dunia gagasan)
Pendapat umum menyatakan dua wujud kebudayaan yakni kebudayaan
badaniah (ma-
terial), lebih konkret serta
mudah dipahami, dan kebudayaan rohaniah (spiritual), lebih
abstrak serta sukar dipahami.
Koentjaraningrat (dalam Supartono, 1987:45) menyebutkan
tiga wujud kebudayaan.
1.Kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nailai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya
2.Kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia dalam masya-
rakat
3.Kebudayaan sebagai
benda-benda hasil karya manusia
KONSTRUSI,
FUNGSI, DAN MAKNA SA’O NGGUA
Supartono (1987:51) menyebutkan
ciri-ciri khas bangunan rumah di luar pulau Jawa se -
bagai berikut.
1. Bangunan dibuat berbentuk
panggung (berdiri di atas tiang – tiang) dan sangat kokoh /
kuat karena memperhitungkan bahaya banjir,
binatang buas, pertahanan dari serangan
subsuku-subsuku lain
2. Bangunan dibuat dalam ukuran
besar karena berfungsi sebagai rumah keluarga besar
(klen), orang satu keturunan bertempat
tinggal dalam satu rumah termasuk menantu.
3. Hiasan rumah sangat meriah
Sa’o
Nggua adalah rumah
tradisional etnik Lio yakni sebuah rumah panggung beratap
menjulang tinggi dengan
penampilan yang kokoh-kuat. Sa’o Nggua
ini menjadi lambang
kebanggaan dan kebesaran
pemilik subkelompok etnik yang mendiami
wilayah tanah
persekutuan. Orinbao (1992: 22-23) menyatakan bahwa tanah
persekutuan adalah ikatan
kewilayahan berdasarkan keturunan darah dan tumpah darah yang sama,
dan faktor yang
menentukan tata hidup dan tata laksana penduduknya. Mereka
dilahirkan di tanah perse-
kutuan, mencari nafkah dan kawin, serta mati dan
dikuburkan di sana. Sa’o Nggua
di –
diami oleh Mosalaki, Riabewa, dan Bogehage
sebagai pemimpin di wilayahnya masing –
masing.
- Bagan konstruksi Sa’o Nggua ... lihat halaman brikut.
Keterangan Bagan/Gambar (dari
puncak ke dasar rumah)
- Nio mera, buah kelapa merah muda
- Saka hubu, balok bubungan
- Tenda teo, tempat pers. bagi YM Tinggi
- Kuku laba, balok pengikatn tiang nock
- Mangu, tiang nock
- Ola teo, tempat gantung pangan persemb.
- Watu pa’a Du’a, batu persembahan
- Lapi benga, tempat duduk Mosalaki Pu’u
- Hoja ndawa, ruang tempat Mosalaki melaksanakan seremonial adat
- Waja pu’u, tungku utama
- Loro, tempat di antara dua tungku
- Waja ndu, tungku pendukung
- Semo pene, landas pintu
- Holo kamba, kepala kerbau
- Lapi bita, papan pembersih lumpur
- Tenda ria, bala serbaguna
- Lẽke pẽra, tiang induk/raja
- Tangi, tangga
- Saga wulaleja, tempat pers. kepada dewa matahari dan bulan.
1
2
3
4
5
6
7 8
9
10 11 12
13
14
17
15 16
18
19
B.
Konstruksi khas dan fungsi parsial
1. Leke pera = tiang
induk berfungsi sebagai penyelamat bagi penghuninya
2. Lapi bita = papan berfungsi sebagai pembersih tapak kaki
sebelum ke i
hoja ndawa
3. Tenda ria = pendopo
umum berfungsi sebagai tempat perjamuan bagi
tamu Mosalaki
4. Kata mbewa = balok memuat
bermacam-macam ukiran berfungsi sebagai
tempat pamer aset keluarga/subkelompok etnik
5. Waja pu’u = tungku
utama tempat masak hidangan untuk persembahan
bagi Du’a Nggae Embukajo-Babomamo
6. Waja
ndu = tungku pendukung
tempat msak hidangan bagi tua adat dan
peserta yang hadir
7. Hoja ndawa = ruang tengah
tempat Mosalaki melaksanakan seremoni
adat
8. Watu pa’a Du’a = tempat sesajian bagi Du’a Ngga’e, Embukajo-Babomamo
9. Benga toko = tempat duduk/singgasana bagi Mosalaki Pu’u
10. Mangu =
tiang-tiang utama untuk membangun bubungan rumah
11. Ola teo =
tempat gantung bahan makanan yang akan ditanak bagi
Du’a Ngga’e. Embukajo-Babomamo
12. Tenda teo = Balai kecil yang digantung pada
saka hubu, menjadi tem-
khusus sesajian persembahan hanya bagi Du’a Ngga’e
13.Mboko nio mera = buah kelapa
merah, muda, bermakna air berkat, pember –
sih, dan penyejuk bagi penghuninya
C. Makna dan simbol global Sa’o Nggua
Bagi orang Lio yang sangat peduli
akan budayanya mengerti makna Sa’o Nggua.
Jika kita
perhatikan kerangka Sa’o Nggua, di
sana tampak bahwa kerangka itu
sangat mirip
dengan tubuh manusia yang memiliki kepala, badan, dan aggota –
anggotanya.
1. Tenda teo dan mboko nio mera
menempati bagian rumah yang paling atas, ber-
simbolkan ilham dan berkat,
terletak dalam kepala
2. Ola teo setingkat lebih rendah di bawahnya bersimbolkan jantung,
yang terle-
tak di dalam dada
- Hoja ndawa adalah ruang
tengah tempat berhimpunnya orang - orang dalam
berbagai aktivitas,
bersimbolkan rahim ibu bakal melahirkan anak-anaknya
Ola teo dan Hoja ndawa,
keduanya bersimbolkan jantung dan rahim seorang
ibu, yang berada di dalam badan
3. Leke pera adalah tiang penyelamat didampingi tiang-tiang lainnya
sebagai pen
dukung tegak berdirinya rumah
yang kokoh-kuat, anggota-anggoa tubuhnya
Jadi Sa’o Nggua adalah sebuah simbol dan bermakna sebagai manusia yakni
se-
orang ibu yang diidealkan. Seorang
manusia dikatakan lahir dan mati wajar bila
mereka itu dilahirkan dan mati di
dalam rumah. Manusia’eo ka’o, ra leka
hoja
ndawa, no’o mata kole leka ola
teo/nai tuka ine kai.Artinya manusia
dilahirkan
dari rahim
rumah/ibu dan mati berbaring di bawah jantung rumah/kembali ke ra-
him ibu.
SA’O NGGUA SEBAGAI PUSAT
DAN
SIMBOL BUDAYA
Berbicara tentang Sa’o Nggua sebagai pusat dan simbol
budaya, pikiran kita terfokus pa-
da beberapa hal yakni
kepemimpinan tradisdional sebagai sumber budaya ideal, berbagai
aktivitas sebagai manifestasi
kelakuan berpola mnusia dalam masyarakat,dan Sa’o Nggua beserta isinya sebagai benda-benda hasil karya
masyarakat.
Kepemimpinan
Tradisional sebagai Sumber Budaya Ideal
Ide,
gagasan, nilai, norma, dan sebagainya selalu dicetuskan oleh orang-orang
cerdas.De-
ngan kata lain, semuanya itu
hanya dicetus oleh orang-orang cerdas beridealisme tinggi.
Untuk masyarakat adat di tanah
persekutuan etnik Lio, orang-orang cerdas itu terhimpun dalam lembaga adat yang
lazim disebut dewan laki-ria(Mosalaki disebut Laki, sedangkan
Riabewa
disebut Ria) dengan jumlah
personalnya berariasi pada setiap tanah persekutuan
Berkenaan dengan
kepemimpinan, Koentjaraningrat
(1998: 176 - 180) mengemukakan
bentuk dasar kepemimpinan yang
sesuai dengan dasar kepemimpinan dalam masyarakat tanah persekutuan etnik Lio
yakni temasuk kepemimpinan tercakup. Kepemimpinan ter-
cakup adalah kepemimpinan yang
wewenangnya tercakup hampir seluruh lapangan kehi-
dupan masyarakat. Lapangan
kewibawaan seringkali terbagi - bagi di antara beberapa orang yang masing - masing mempunyai
wewenang, biasanya seorang pemimpin berasal
dari klen tertentu yang
diturunkan berdasarkan asas patrilineal.
Idealisme kepemimpinan
masyarakat adat di tanah persekutuan etnik Lio mengandung ni-
lai. Koentjaraningrat (1998:76)
menyatakan nilai budaya terdiri atas konsep-konsep me –
ngenai segala sesuatu yng
dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat yang
bersangkutan.Horton dan
Hunt(1999:71) menyatakan nilai adalah gagasan mengenai apa-
kah pengalaman berarti atau
tidak berarti. Nilai mengarahkan perilaku dan pertimbangan
seseorang.
Konsep nilai yang utama pada
masyarakat adat di tanah persekutuan etnik Lio antara lain
konsep nilai ola tonda (religi-magi) dan konsep nilai
uju kunu (persatuan)
1. Konsep nilai ola tonda (religi-magi)
Masyarakat adat di tanah
persekutuan etnik Lio, memiliki kepercayaan asli (religi-ma-
gi). Dikatakan asli karena masyarakat adat tersebut pun
penganut agama-agama besar
seperti Kstolik dan Islam. Terkait
dengan religi-magi ini,
Koentjaraningrat (1998:58)
menyatakan religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai
suatu
maksud dengan cara menyandarkan
diri kepada kemauan dan kekuasaan makluk-mak-
luk halus, roh-roh, dewa-dewi,
dan sebagainya. Sedangkan magi adalah
teknik-teknik
atau kompleks cara-cara yang
digunakan manusia untuk mempengaruhi alam sekitar –
nya, agar alam sekitar menurut
pada kehendak manusia (Koentjaraningrat,1998:216).
Mengenai konsep religi-magi pada
masyarakat adat etnik Lio dapat dibaca pada mat-
riks berikut.
No.
|
Substansi
Religi-Magi
|
Ungkapan
Adat
|
Sifat
hakikat
|
1
|
Du’a Nggae (Yang Ma-
ha Tinggi= Tuhan)
|
-Du’a weti Ngga’e
nena,
-Du’a rupi
muri Ngga’e tepa to’o
-Du’a do’i
|
Pencipta
Pengasih, Pemurah
|
2
|
Embukajo-Babomamo
(Leluhur-Nenekmoyang)
|
-Mulu ndu jejo dheko
- Rina pati ngoso ngo
dho
-De’e peme nosi
mbe’o
|
Penuntun, Pendamping
Pemberi
Mendengarkan
Sekaligus pemohon kepa- da
Tuhan
|
3
|
Wulaleja-Tanawatu
(Makluk Sepernatural)
|
-Wula tipo Leja pama
-Wula pera Leja pati
-Wula mo tau tondo
-Leja paga tau saga
-Tana tebo Watuwela
-Tana ka Watu pesa
|
Pelindung
Petunjuk
Menumbuhkan
Mengembangkan
Pembunuh, Pembantai
Pembasmi, Pemusnah
kalau dikehendaki Tuhan
|
Terkait dengan konsep religi-magi,
Orinbao (1967:210) menegaskan bahwa dari
konsep religi-magi inilah kemudian
muncul norma moral yang sebagian dapat dite-
ma oleh pihak gereja karena substansi
atau adanya hakikat mutlak yang tunggal ya-
itu Du’a
Ngga’e setara dengan Tuhan Yang Mahakuasa yang dianut oleh mereka
yang percaya kepada monoteistis,
sehingga bisa terjadi semacam inkulturasi.
2. Konsep nilai uju kunu (persatuan)
Masayrakat adat di tanah persekutuan etnik
Lio, dalam banyak hal mempunyai kehen-
dak yang sama. Persekutuan-persatuan
sebegitu eratnya ibarat seikat kayu dan seong –
gok tebu. Kebersamaan itu seperti tanpak
dalam perang(guta-dulu), musyawarah,
dan
menambil ambil keputusan. Tiap orang wajib
menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia serta bertanggung jawab pada
prinsip kebenaran dan keadilan. Hal-hal terse –
but dapat disimak pada ungkapan-ungkapan
berikut.
Ungkapan
adat Artinya
Uju
kunu ’eo:
Persatuan ibarat:
Moda
iwa bowa, tema ma’e kela Bulat tak teurai utuh tak terbagi
Umu
ngere kaju uju Terkumpul
bagaikan seikat kayu
Pongo
ngere tewu owo
Terhimpun seperti seonggok tebu
To’o
lei po, mbana lei mbeja
Semuanya bangkit berangkat seluruhnya
Boka ngere hi, bere ngere ‘ae Seperti ilalang
merebah, air mengalir
Leka
guta:
Keteika konflik:
Tau
bewa laru bo buku
Pemecah ruas peledak buku
Dau to’o puku puru mulu
Menjadi orang utama dan pertama
Mata
tau ra tana Mati
untuk mendarai tanah
Woa
tau mina watu Meninggal
untuk meminyaki batu
Leka
mbabho gajo: Ketika bermusyawarah:
Dau
’ote ’eo bina ngai sia Harus dengan otak cerah
berpikir nalar
Ola nara ’eo ji’e
Berkehendak yang baik
’Ate
’eo pawe soli masa Hati yang bersih
dan jernih
Leka
si’o sepu seru: Ketika
menerpkan keputusan:
Sepu
seru si’o sawe’ae nunu pate mbeja Keputusan yang telah disepakati
Su’u
wangga ndu wai,no’o’ate’eo pawe
Diterima dan dilaksanakan sejujurnya
Du
ghea embukajo-babao mamo, soli
Sebagaimana dihadapan leluhur dan juga
Du’a Ngga’e
dihadapan Tuhan
Deo
negi’eo molo,teke taka’eo ndena
Berpegang teguh pd kebenaran & keadilan
Berbagai Aktivitas sebagai
Manifestasi Kelakuan Berpola Manusia dalam Masyarakat
Jenis ritual dan do’a atau mantra.
Ritual,
ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan. Do’a
adalah permohonan kepada Tuhan. Mantra adalag perkataan yang mendatangkan daya gaib (Depdikbud,
1989 :5 71,
559). Ritual ini berdampak pada aktivitas yang meliputi: pu’u po’o (menjelang po’o) ,
mi
are (syukur dan menghalalkan konsumsi beras), pase pedo mula gelu (prnggsnti ge-
nerasi), molo ro (penyembuhan dan syukur), jodho ola nara (peneguhan cita-cita), dan
tura
jaji/supa jaji/jaji pore (sumpah/perjanjian adat).
Ketertiban sosial dan
penyelesaian pelanggaran
Kketertiban sosial dan
penyelesaian pelanggaran mencakup: moral eika, kerukunan, pe –
warisan, hewan ternak piaraan,
dan pencurian.
Benda-Benda Hasil Karya
Masyarakat
Benda-benda hasil karya
masyarakat itu antara lain mencakup: Sa’o
Nggua (rumah adat),
wea,londa, sue,seke, watu pa’a du’a,watu bo’o, watu tura
jaji, tumba,sau dan sebagainya
Baik jenis ritual, ketertiban sosial, maupun benda – benda hasil karya
masyarakat, se - muanya
terkonsentrasi atau sangat terpusat dan secara bersama – sama akan
berdampak pada upaya pelestarian
Sa’o Nggua itu sendiri.
SIMPULAN
DAN REKOMENDASI
Leluhur masyarakat adat etnik
Lio mewariskan benda-benda budaya yang tinggi nilainya.
Benda budaya bernilai tinggi itu antara lain tampak
pada penampilan Sa’o
Nggua yang
hingga kini masih tetap eksis.
Namun tak perlu disangkal bahwa kenyataannya mulai me-
rosot (tidak terpelihara). Keadaan ini mungkin disebabkan oleh kemajuan
teknologi dan derasnya arus informasi
dan globalisasi yang tidak dapat terhindarkan, sehinga mempe –
ngaruhi alam pikiran dan
perilaku mereka.
Oleh karena itu, kaum
cendekiawan dan para pejabat pemerintah
asal etnik Lio dimana pun
tempat pengabdiannya,
dihimbau dan sudah
selayaknya dapat bekerja sama untuk
memotivasi masyarakat dalam
menggali, menemukan,dan melestarikan kembali budaya-
nya sebagai jati diri warisan
leluhur yang mampu beradaptasi terhadap budaya global.
Hal ini sangat penting, karena menurut Triguna (2000:45-46) bahwa sering ditemukan semakin berhasil
seorang individidu dan kelompok dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik,
semakin diperlukan simbol tradisional
sebagai penguat serta pengukuh tingkat
prestasi yang telah dicapai.
Karena simbol memiliki makna mendalam dan acapkali bersi-
sifat religius yang relatif
terbatas ruang linhgkupnya dan
terjadi proses restrukturisasi
yaitu proses penafsiran kembali
simbolisme sesuai dengan kondisi dan
tuntutan masyara-
kat pendukungnya pada saat itu.
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, A. 1992. Ontologi/Metafisika
Ilmu. Yogyakarta: Kanisius.
Bakker, JWM. 1994. Filsafat
Kebudayaan. Yogyakarta: Kasisius.
Depdikbud. 1989. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Epu Yoseph. 1988. Makna
Konstruksi Sa’o Nggua pada Suku Lio (Skripsi).
Ende: Universitas Flores.
Horton, B. B.
dan Hund L.L. 1999. Sosiologi. (Penerjemah
Aminuddin Ram). Jakarta: Erlangga.
Kaplan D. dan Manners. 1999. Teori Budaya. (Penerjemah Landung Simatupang) Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Kassirer, E. 1981. Manusia dan
Kebudayaan. (Penerjemah Alois M.Thoyibi). Yogyakarta:
Kanisisus.
Keesing RM.
1992. Antropologi Budaya (Penejemah
Samuel Gunawan). Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Oribao. 1967. Nusa
Nipa. Semenari Tinggi Ledalero, Maumere-Flores.
--------. 1992. Tata
Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio. Seminari Tinggi Ledalero, Maumere-Flores.
Soekmono. 1981. Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Supartono W. 1987. Ilmu
Budaya Dasar. Bandung: Ghalia.
Susanto. 1987. Mitos
Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta:
Kanisius.
Triguna Yuda, IBG. 2000. Teori tentang Simbol. Denpasar:
Widya Dharma. *
* Pernah disampaikan dalam “Seminar Nasional Bahasa dan Budaya Lokal Sedaratan Flores dan Lembata,” pada 30
November s.d. 3 Desember 2003, di
Ende, Flores.
posted by Jurnal Online Uniflor @ 11.49,
0 Comments:
Posting Komentar