Site Network: Lembaga Publikasi Uniflor |

 



Majalah Ilmiah INDIKATOR, Volume XIII, Nomor 2, September 2011


SA’O NGGUA SEBAGAI PUSAT DAN SIMBOL
BUDAYA  ETNIK LIO *

Oleh Thomas Geba
Program Studi Pendidikan Sejarah,
FKIP, Universitas Flores, Jln. Sam Ratulangi, Ende, Flores

Abstract 
Lio ethnic ancestral indigenous people in the development of culture, leaving various kinds of legacies. The legacy is still visible to this day, among others is Sa'o Nggua. Culture as human property in the community, ethnic community's special Lio should serve as guidelines for all their lives. Sa'o Nggua, the discussion can be viewed from several aspects of the construction, function, and symbolic meaning that is implied in it. Sa'o Nggua with a sturdy and robust appearance symbolizes the pride and greatness of the ruler, clan, sub-ethnic groups concerned. In addition, symbolizing unity and close relationships between Mosalaki with God and with the ancestors, with supernatural beings and the universe, and the entire community of supporters. More than it can be argued that Sa'o Nggua is the symbol of a human body is an idealized body of a mother. A mother with her affection are willing and wish for the children of men who had birth, buried back into her womb the way to the Creator. The description is to give guidance to us that Sa'o Nggua is the center and symbol of culture. As the center and symbol appear on the traditional leadership that embodies the ideal of cultural magic of the concept of religious values and concepts of value unity. Various activities which are patterned human behavior manifestations in the form of organizing society and traditional rituals completions issue violations to the norm, and kind-human tiger thing works like Wea, Londa, sue, seke, tumba, and sau, watu pa'a du'a, watu bo'o, and watu turajaji. Everything is a united whole collected in containers called Sa'o Nggua. From this reality, I hope to inspire scholars and government officials Lio ethnic origin for supporting cultural motivate citizens to jointly explore, discover, and again conserve Sa'o Nggua the terms of that, to be able to adapt and absorb values global culture positive for the sake of developing its own culture.

Keywords
 Sa'o Nggua, traditional houses, custom  center for ethnic, cultural symbols Lio


KONSEPSI  DAN  WUJUD  BUDAYA

Sa’o Nggua   merupakan salah  satu wujud dari sekian  banyak warisan  budaya etnik Lio yang hingga kini masih eksis, namun belum mendapat perhatian serius masyarakat pen – dukungnya. Soekmono(1973:4)  menyebutkan bahwa kebuayaan - kebudayaan yang lam- pau itu sampai kepada kita berupa peninggalan-peninggalan (harta kebendaan dan harta kerohanian).  Harta-harta  peninggalan  meliputi seluruh usaha  manusianya,  akan tetapi yang sampai kepada kita sekarang ini hanyalah sebagian kecil dari padanya.  Selebihnya telah lenyap tiada bekas.

Oleh karena itu, sudah merupakan kewajiban kaum intelektual terutama intelektual etnik
Lio yang peduli akan budayanya untuk menggali, menemukan, dan melestarikan kembali
Sa’o Nggua  sebagai  pusat dan simbol  budaya yang  syarat  nilai itu. Dalam  kaitan i ni, Soekmono (1973: 14,17) menyatakan bahwa tidak ada sesuatu benda yang dibuat manu – sia tanpa maksud dan tujuan.Benda buatan manusia pada hakikatnya hanyalah penjelma- an dari kerohaniannya. Maka dari harta kebendaan itu dapat pula ditarik kesimpulan – ke- simpulan mengenai alam  pikirannya  yang  menjadi dasar dan yang menggerakkan serta mendorong diciptanya benda-benda itu. Khusus mengenai kebudayaan megalitikum yang masih hidup di Flores, beliau menyatakan bahwa hal itu sangat banyak memberi petunjuk kepada kita untuk menyelami hasil - hasil kebudayaan dan juga alam pikiran yang tersim- pan di belakangnya dan menjadi pendorongnya. Hasil-hasil terpenting dari kebudayaan megalitikum, selain menhir dan dolmen adalah Ss’o Nggubeserta seluruh isinya.

E.B.Tylor (dalam Keesing)1992: 68) menyatakan budaya adalah suatu keseluruhan kom-
leks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat-istiadat, ser-
ta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota ma-
syarakat.

Budaya sebagai konsep,gagasan, Goodenouch (dalam Keesing,1992:68) menjelaskan
bahwa para pakar antropogi dalam menggunakan istilah budaya selalu berbicara tentang
dua tatanan semesta.
Pertama, budaya digunakan untuk mengacu pada ”pola kehidupan suatu masyarakat, ke-
                 giatan, dan pengaturan material dan sosial yang berubah secara teratur”  yang
                 merupakan kekhususan suatu kelompok manusia tertentu (mengacu pada keda-
                 laman fenomena benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang bisa diamati)
Kedua, budaya  dipakai untuk  mengacu pada ”sistem pengetahuan dan kepercayaan yang
            disusun sebagai pedoman manusia” mengatur pengalaman dan persepsi mereka da             lam menentukan tindakan, dan memilih di antara alterntif yang ada (mengacu pa-
            da dunia gagasan)

Pendapat umum menyatakan  dua wujud kebudayaan yakni kebudayaan badaniah (ma-
terial), lebih konkret serta mudah dipahami, dan kebudayaan rohaniah (spiritual), lebih
abstrak serta sukar dipahami. Koentjaraningrat (dalam Supartono, 1987:45) menyebutkan
tiga wujud kebudayaan.
1.Kebudayaan  sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nailai, norma-norma,  
    peraturan dan sebagainya
2.Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia dalam masya-
    rakat
3.Kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia

KONSTRUSI, FUNGSI, DAN MAKNA SA’O NGGUA

Supartono (1987:51) menyebutkan ciri-ciri khas bangunan rumah di luar pulau Jawa se -
bagai berikut.
1. Bangunan dibuat berbentuk panggung (berdiri di atas tiang – tiang) dan sangat kokoh /
    kuat karena memperhitungkan bahaya banjir, binatang buas, pertahanan dari serangan
    subsuku-subsuku lain
2. Bangunan dibuat dalam ukuran besar karena berfungsi sebagai rumah keluarga besar
    (klen), orang satu keturunan bertempat tinggal dalam satu rumah termasuk menantu.
3. Hiasan rumah sangat meriah

Sa’o Nggua adalah  rumah tradisional etnik Lio  yakni sebuah  rumah panggung  beratap
menjulang tinggi dengan penampilan yang kokoh-kuat. Sa’o Nggua ini menjadi lambang
kebanggaan dan kebesaran pemilik  subkelompok etnik  yang mendiami  wilayah  tanah
persekutuan.  Orinbao (1992: 22-23) menyatakan bahwa tanah persekutuan adalah ikatan
kewilayahan berdasarkan  keturunan darah dan tumpah darah yang sama, dan faktor yang
menentukan  tata hidup dan tata laksana penduduknya. Mereka dilahirkan di tanah perse-
kutuan, mencari  nafkah dan kawin, serta  mati dan  dikuburkan di sana. Sa’o Nggua di –
diami oleh Mosalaki, Riabewa, dan Bogehage sebagai pemimpin di wilayahnya masing –
masing.

  1. Bagan konstruksi Sa’o Nggua ... lihat halaman brikut.  
Keterangan Bagan/Gambar (dari puncak ke dasar rumah)
  1. Nio mera, buah kelapa merah muda
  2. Saka hubu, balok bubungan
  3. Tenda teo, tempat pers. bagi YM Tinggi
  4. Kuku laba, balok pengikatn tiang nock
  5. Mangu, tiang nock
  6. Ola teo, tempat gantung pangan persemb.
  7. Watu pa’a Du’a, batu persembahan
  8. Lapi benga, tempat duduk Mosalaki Pu’u
  9. Hoja ndawa, ruang tempat Mosalaki melaksanakan seremonial adat
  10. Waja pu’u, tungku utama
  11. Loro, tempat di antara dua tungku
  12. Waja ndu, tungku pendukung
  13. Semo pene, landas pintu
  14. Holo kamba, kepala kerbau
  15. Lapi bita, papan pembersih lumpur
  16. Tenda ria, bala serbaguna
  17. Lẽke pẽra, tiang induk/raja
  18. Tangi, tangga
  19. Saga wulaleja, tempat pers. kepada dewa matahari dan bulan.







                                                                       1
                                                                       2                      


                                                                        3
                                                                                   
4



                                                                       
                                                               5      



                                                                      
 
             6
                                                           7                               8             
                                                                       
                                                                        9

                                               

10                             11            12
                                                                      13
                                                                     14

                                 
        17                  15              16




                               18
                   19

            B. Konstruksi khas dan fungsi parsial
                1. Leke pera        = tiang induk berfungsi sebagai penyelamat bagi penghuninya
                2. Lapi bita          =  papan berfungsi sebagai pembersih tapak kaki sebelum ke i
                                                hoja ndawa
                3. Tenda ria         = pendopo umum berfungsi sebagai tempat perjamuan bagi
                                                tamu  Mosalaki
                4. Kata mbewa     = balok memuat bermacam-macam ukiran  berfungsi sebagai
                                                tempat pamer aset keluarga/subkelompok etnik
                5. Waja pu’u         = tungku utama tempat masak hidangan untuk persembahan
                                                bagi Du’a Nggae Embukajo-Babomamo
                6. Waja ndu          = tungku pendukung tempat msak hidangan bagi tua adat dan
                                                peserta yang hadir
                7. Hoja ndawa     = ruang tengah tempat Mosalaki melaksanakan seremoni adat
                8. Watu pa’a Du’a = tempat sesajian bagi Du’a Ngga’e, Embukajo-Babomamo
                9. Benga toko         = tempat duduk/singgasana bagi Mosalaki Pu’u
              10. Mangu                = tiang-tiang utama untuk membangun bubungan rumah
              11. Ola teo                = tempat gantung bahan makanan yang akan ditanak bagi
                                                   Du’a Ngga’e. Embukajo-Babomamo
              12. Tenda teo            = Balai kecil yang digantung pada saka hubu, menjadi tem-
                                                   khusus sesajian persembahan hanya bagi Du’a Ngga’e
              13.Mboko nio mera  = buah kelapa merah, muda, bermakna air berkat, pember –
                                                   sih, dan penyejuk bagi penghuninya

        C. Makna dan simbol global Sa’o Nggua
             Bagi orang Lio yang sangat peduli akan budayanya mengerti makna Sa’o Nggua.
             Jika kita perhatikan kerangka Sa’o Nggua, di sana tampak bahwa kerangka itu
             sangat mirip dengan tubuh manusia yang memiliki kepala, badan, dan aggota –
             anggotanya.
             1. Tenda teo dan mboko nio mera menempati bagian rumah yang paling atas, ber-       
                simbolkan ilham dan berkat, terletak dalam kepala
             2. Ola teo setingkat lebih rendah di bawahnya bersimbolkan jantung, yang terle-
                   tak di dalam dada
                - Hoja ndawa adalah  ruang tengah tempat berhimpunnya orang - orang dalam
                   berbagai aktivitas, bersimbolkan rahim ibu bakal melahirkan anak-anaknya
                  Ola teo dan Hoja ndawa, keduanya bersimbolkan jantung dan rahim seorang
                   ibu,  yang berada di dalam badan
             3. Leke pera adalah tiang penyelamat didampingi tiang-tiang lainnya sebagai pen
                 dukung tegak berdirinya rumah yang kokoh-kuat, anggota-anggoa tubuhnya
              Jadi Sa’o Nggua adalah sebuah simbol dan bermakna sebagai manusia yakni se-
              orang ibu yang diidealkan. Seorang manusia dikatakan lahir dan mati wajar bila
              mereka itu dilahirkan dan mati di dalam rumah. Manusia’eo ka’o, ra leka hoja
              ndawa, no’o mata kole leka ola teo/nai tuka ine kai.Artinya  manusia dilahirkan
              dari rahim rumah/ibu dan mati berbaring di bawah jantung rumah/kembali ke ra-
              him ibu.
SA’O NGGUA SEBAGAI PUSAT
DAN SIMBOL BUDAYA

Berbicara tentang Sa’o Nggua sebagai pusat dan simbol budaya, pikiran kita terfokus pa-
da beberapa hal yakni kepemimpinan tradisdional sebagai sumber budaya ideal, berbagai
aktivitas sebagai manifestasi kelakuan berpola mnusia dalam masyarakat,dan Sa’o Nggua beserta isinya sebagai benda-benda hasil karya masyarakat.

Kepemimpinan Tradisional sebagai Sumber Budaya Ideal

Ide, gagasan, nilai, norma, dan sebagainya selalu dicetuskan oleh orang-orang cerdas.De-
ngan kata lain, semuanya itu hanya dicetus oleh orang-orang cerdas beridealisme tinggi.
Untuk masyarakat adat di tanah persekutuan etnik Lio, orang-orang cerdas itu terhimpun dalam lembaga adat yang lazim disebut dewan laki-ria(Mosalaki disebut Laki, sedangkan
Riabewa disebut Ria) dengan jumlah personalnya berariasi pada setiap tanah persekutuan

Berkenaan  dengan  kepemimpinan,  Koentjaraningrat (1998: 176 - 180) mengemukakan
bentuk dasar kepemimpinan yang sesuai dengan dasar kepemimpinan dalam masyarakat tanah persekutuan etnik Lio yakni temasuk kepemimpinan tercakup. Kepemimpinan ter-
cakup adalah kepemimpinan yang wewenangnya tercakup hampir seluruh lapangan kehi-
dupan masyarakat.  Lapangan  kewibawaan seringkali terbagi - bagi di antara  beberapa orang yang masing - masing mempunyai wewenang, biasanya seorang pemimpin berasal
dari klen tertentu yang diturunkan berdasarkan asas patrilineal.

Idealisme kepemimpinan masyarakat adat di tanah persekutuan etnik Lio mengandung ni-
lai. Koentjaraningrat (1998:76) menyatakan nilai budaya terdiri atas konsep-konsep me –
ngenai segala sesuatu yng dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat yang
bersangkutan.Horton dan Hunt(1999:71) menyatakan nilai adalah gagasan mengenai apa-
kah pengalaman berarti atau tidak berarti. Nilai mengarahkan perilaku dan pertimbangan
seseorang.
Konsep nilai yang utama pada masyarakat adat di tanah persekutuan etnik Lio antara lain
konsep nilai ola tonda (religi-magi) dan konsep nilai uju kunu (persatuan)              

1. Konsep nilai ola tonda (religi-magi)

    Masyarakat adat di tanah persekutuan etnik Lio, memiliki kepercayaan asli (religi-ma-
    gi). Dikatakan asli karena masyarakat adat tersebut pun penganut agama-agama besar
    seperti Kstolik dan Islam. Terkait dengan religi-magi ini, Koentjaraningrat (1998:58)
    menyatakan religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu
    maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makluk-mak-
    luk halus, roh-roh, dewa-dewi, dan sebagainya. Sedangkan magi adalah teknik-teknik
    atau kompleks cara-cara yang digunakan manusia untuk mempengaruhi alam sekitar –
    nya, agar alam sekitar menurut pada kehendak manusia (Koentjaraningrat,1998:216).

    Mengenai konsep religi-magi pada masyarakat adat etnik Lio dapat dibaca pada mat-
    riks berikut.

No.
Substansi Religi-Magi
Ungkapan Adat
Sifat hakikat
1
Du’a Nggae (Yang Ma-
ha Tinggi= Tuhan)
-Du’a weti Ngga’e
  nena,
-Du’a rupi  muri   Ngga’e tepa  to’o
-Du’a do’i
                                                 

Pencipta

Pengasih, Pemurah

2
Embukajo-Babomamo
(Leluhur-Nenekmoyang)
-Mulu ndu jejo dheko
- Rina pati ngoso ngo
  dho
-De’e peme nosi
  mbe’o

Penuntun, Pendamping

Pemberi

Mendengarkan
Sekaligus pemohon kepa- da Tuhan

3
Wulaleja-Tanawatu
(Makluk Sepernatural)
-Wula tipo Leja pama
-Wula pera Leja pati
-Wula mo tau tondo
-Leja paga tau saga
-Tana tebo Watuwela
-Tana ka Watu pesa
Pelindung
Petunjuk
Menumbuhkan
Mengembangkan
Pembunuh, Pembantai
Pembasmi, Pemusnah
kalau dikehendaki Tuhan


        Terkait dengan konsep religi-magi, Orinbao (1967:210)  menegaskan bahwa dari
        konsep religi-magi inilah kemudian muncul norma moral yang sebagian dapat dite-
        ma oleh pihak gereja karena substansi atau adanya hakikat mutlak yang tunggal ya-
        itu Du’a Ngga’e setara dengan Tuhan Yang Mahakuasa yang dianut oleh mereka
        yang percaya kepada monoteistis, sehingga bisa terjadi semacam inkulturasi.
2. Konsep nilai uju kunu (persatuan)

    Masayrakat adat di tanah persekutuan etnik Lio, dalam banyak hal mempunyai kehen-
    dak yang sama. Persekutuan-persatuan sebegitu eratnya ibarat seikat kayu dan seong –
    gok tebu. Kebersamaan itu seperti tanpak dalam perang(guta-dulu), musyawarah, dan
    menambil ambil keputusan. Tiap orang wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat
    manusia serta bertanggung jawab pada prinsip kebenaran dan keadilan. Hal-hal terse –
    but dapat disimak pada ungkapan-ungkapan berikut.

       Ungkapan  adat                                        Artinya

       Uju kunueo:                                            Persatuan ibarat:
       Moda iwa bowa, tema ma’e kela              Bulat tak teurai utuh tak terbagi
       Umu ngere kaju uju                                  Terkumpul bagaikan seikat kayu
        Pongo ngere tewu owo                             Terhimpun seperti seonggok tebu
        To’o lei po, mbana lei mbeja                   Semuanya bangkit berangkat seluruhnya
        Boka ngere hi, bere ngere ‘ae                  Seperti ilalang merebah, air mengalir

         Leka guta:                                                Keteika  konflik:
         Tau bewa laru bo buku                            Pemecah ruas peledak buku
         Dau to’o puku puru mulu                         Menjadi orang utama dan pertama
         Mata tau ra tana                                      Mati untuk mendarai tanah
         Woa tau mina watu                                  Meninggal untuk meminyaki batu

         Leka mbabho gajo:                                   Ketika  bermusyawarah:
         Dau ’ote ’eo bina ngai  sia                       Harus dengan otak cerah berpikir nalar
         Ola nara ’eo ji’e                                       Berkehendak yang baik
         ’Ate ’eo pawe soli masa                            Hati yang bersih dan jernih

         Leka si’o sepu seru:                                  Ketika menerpkan keputusan:
         Sepu seru si’o sawe’ae nunu pate mbeja Keputusan yang telah disepakati
         Su’u wangga ndu wai,no’o’ate’eo pawe  Diterima dan dilaksanakan sejujurnya
         Du ghea embukajo-babao mamo, soli      Sebagaimana dihadapan leluhur dan juga
               Du’a Ngga’e                                             dihadapan Tuhan
         Deo negi’eo molo,teke taka’eo ndena      Berpegang teguh pd kebenaran & keadilan
Berbagai Aktivitas sebagai Manifestasi Kelakuan Berpola Manusia dalam Masyarakat
Jenis ritual dan do’a atau mantra.
Ritual, ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan. Do’a adalah permohonan kepada Tuhan. Mantra adalag perkataan yang mendatangkan daya gaib (Depdikbud, 1989 :5 71,
559). Ritual ini berdampak pada aktivitas yang meliputi: pu’u po’o (menjelang po’o) ,
mi are (syukur dan menghalalkan konsumsi beras), pase pedo mula gelu (prnggsnti ge-
nerasi), molo ro (penyembuhan dan syukur), jodho ola nara (peneguhan cita-cita),   dan
tura jaji/supa jaji/jaji pore (sumpah/perjanjian adat).

Ketertiban sosial dan penyelesaian pelanggaran
Kketertiban sosial dan penyelesaian pelanggaran mencakup: moral eika, kerukunan, pe –
warisan, hewan ternak piaraan, dan pencurian.

Benda-Benda Hasil Karya Masyarakat

Benda-benda hasil karya masyarakat itu antara lain mencakup: Sa’o Nggua (rumah adat),
wea,londa, sue,seke, watu pa’a du’a,watu bo’o, watu tura jaji, tumba,sau dan sebagainya
Baik jenis ritual,  ketertiban sosial,  maupun benda – benda hasil  karya  masyarakat, se -  muanya terkonsentrasi atau sangat terpusat dan secara bersama – sama  akan  berdampak pada   upaya pelestarian Sa’o Nggua itu sendiri.

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Leluhur masyarakat adat etnik Lio mewariskan benda-benda budaya yang tinggi nilainya.
Benda  budaya bernilai tinggi itu antara lain tampak pada  penampilan  Sa’o Nggua  yang
hingga kini masih tetap eksis. Namun tak perlu disangkal bahwa kenyataannya mulai me-
rosot (tidak terpelihara).  Keadaan ini mungkin disebabkan oleh kemajuan teknologi  dan derasnya arus informasi dan globalisasi yang tidak dapat terhindarkan, sehinga mempe –
ngaruhi alam pikiran dan perilaku mereka.

Oleh karena itu, kaum cendekiawan dan  para pejabat pemerintah asal etnik  Lio  dimana pun  tempat pengabdiannya,  dihimbau  dan sudah selayaknya  dapat bekerja sama untuk
memotivasi masyarakat dalam menggali, menemukan,dan melestarikan kembali budaya-
nya sebagai jati diri warisan leluhur yang mampu beradaptasi terhadap budaya global.
Hal ini sangat penting,  karena menurut  Triguna (2000:45-46)  bahwa sering ditemukan semakin berhasil seorang individidu dan kelompok dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, semakin diperlukan  simbol tradisional sebagai   penguat serta  pengukuh tingkat
prestasi yang telah dicapai. Karena simbol memiliki makna mendalam dan acapkali bersi-
sifat religius   yang relatif terbatas   ruang linhgkupnya dan terjadi  proses restrukturisasi
yaitu proses penafsiran kembali simbolisme sesuai dengan kondisi dan tuntutan masyara-
kat pendukungnya pada saat itu.

DAFTAR  PUSTAKA
Bakker, A. 1992. Ontologi/Metafisika Ilmu. Yogyakarta: Kanisius.
Bakker, JWM. 1994. Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: Kasisius.
Depdikbud. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Epu Yoseph. 1988. Makna Konstruksi Sa’o Nggua pada Suku Lio (Skripsi). Ende:             Universitas Flores.
Horton, B. B. dan Hund L.L. 1999. Sosiologi.  (Penerjemah Aminuddin Ram). Jakarta: Erlangga.
Kaplan D. dan Manners. 1999. Teori Budaya. (Penerjemah Landung Simatupang) Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.
Kassirer, E. 1981. Manusia dan Kebudayaan. (Penerjemah Alois M.Thoyibi).         Yogyakarta: Kanisisus.
Keesing RM. 1992. Antropologi Budaya (Penejemah Samuel Gunawan). Jakarta:   Rineka    Cipta.
Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Oribao. 1967. Nusa Nipa. Semenari Tinggi Ledalero, Maumere-Flores.
--------. 1992. Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio.          Seminari Tinggi Ledalero, Maumere-Flores.
Soekmono. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Supartono W. 1987. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Ghalia.
Susanto. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius.
Triguna Yuda, IBG. 2000. Teori tentang Simbol. Denpasar: Widya Dharma. *

* Pernah disampaikan dalam  Seminar Nasional  Bahasa dan Budaya Lokal  Sedaratan Flores dan Lembata, pada  30 November s.d.  3  Desember 2003, di Ende, Flores.

posted by Jurnal Online Uniflor @ 11.49,

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home