Site Network: Lembaga Publikasi Uniflor |

 



Majalah Ilmiah INDIKATOR, Volume XIII, Nomor 2, September 2011


STANDARDISASI KELULUSAN
 UJIAN AKHIR NASIONAL YANG DIPAKSAKAN

Oleh Sofia Sa’o
Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP,
Universitas Flores, Jln. Sam Ratulangi, Ende, Flores


Abstrak
UAN adalah satu jalan  yang tidak luput akan dilalui oleh seseorang yang nenempuh jalur pendidikan, khususnya sekolah dari pendidikan dasar, hingga sampai pada pendidikan atas (SMA dan sederajat) untuk mengakiri studinya dijenjang sekolah yang dipelajarinya itu. Standarisasi nasional adalah alat ukur  (patokan nilai) penentuan dan pengakuan kelulusan siswa secara nasional agar dapat diterima pada jenjang pendidikan lanjutannya.
Kata Kunci
UAN, standarisasi kelulusan

PENDAHULUAN
Sebelum membahas tentang Ujian Akhir Nasional (UAN) terlebih dahulu diperkenalkan  pengertian penilaian hasil belajar sebagai berikut:
1.   Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan (menganalisis dan menafsirkan) data tentang proses dan hasil belajar peserta didik, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam  menentukan tingkat pencapaian hasil belajar peserta didik
2.   Penilaian hasil belajar peserta didik yang dilaksanakan mengacu pada standar kompetensi lulusan untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran, yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan.
3.   Penilaian hasil belajar  pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah.
4.   Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan, bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran.
5.   Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran.
6.   Penilaian hasil belajar peserta didik dilaksanakan secara terencana dan berkesinambungan melalui berbagai kegiatan ulangan dan ujian.
7.   Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan, melakukan perbaikan pembelajaran, dan menentukan keberhasilan belajar peserta didik.
8.   Penilaian selama proses pembelajaran berlangsung dilakukan secara periodik melalui: ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester dan ulangan kenaikan kelas.
9.  Penilaian: adalah proses sistematis yang meliputi pengumpulan informasi     (angka, deskripsi verbal), analisis, dan interpretasi informasi untuk membuat keputusan
10.Penilaian Kelas: Proses pengumpulan dan penggunaan informasi oleh guru melalui sejumlah bukti untuk membuat keputusan tentang pencapaian hasil belajar/kompetensi siswa

PRINSIP, TEKNIK, MEKANISME, DAN PROSEDUR PENILAIAN
1.      Penilaian hasil belajar didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.       Sahid, didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang akan diukur.
b.      Obyektif, menggunakan prosedur dan kriteria penilaian yang jelas.
c.       Adil, tidak dipengaruhi oleh kondisi atau alasan tertentu yang dapat merugikan peserta didik, misalnya: kondisi fisik, agama, suku, budaya, adat, status sosial atau gender.
d.      Terpadu, tidak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
e.       Terbuka, prosedur, kriteria dan dasar pengambilan keputusan yang digunakan dalam penilaian harus diketahui oleh pihak yang berkepentingan.
f.       Menyeluruh dan berkesinambungan, dalam arti semua indikator ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi  dasar yang telah dimiliki dan belum, serta mengetahui kesulitan peserta didik.
g.      Sistematis, terencana, bertahap dan mengikuti langkah-langkah baku.
h.      Beracuan kriteria, menilai apa yang bisa dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi/ranking seseorang terhadap kelompoknya).
i.        Akuntabel, dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur maupun hasilnya.
2.      Penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik penilaian berupa: tes, observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik , seperti:
a.   Teknik tes berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja
b.   Teknik observasi atau pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung dan/atau di luar kegiatan pembelajaran.
c.   Teknik penugasan baik perseorangan maupun kelompok dapat berbentuk tugas rumah dan/atau proyek.
3.      Penilaian hasil belajar yang diselenggarakan melalui ulangan tengah semester,  dan ulangan akhir semester, serta ulangan kenaikan kelas dilakukan oleh pendidik dibawah koordinasi satuan pendidikan.
4.      Hasil ulangan harian diinformasikan kepada peserta didik sebelum diadakan ulangan harian berikutnya. Peserta didik yang belum mencapai Kriteri Ketuntasan Minimal (KKM) harus mengikuti pembelajaran remidi. Nasution. (2008)
Hasil penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan disampaikan dalam bentuk SATU NILAI pencapaian kompetensi mata pelajaran untuk masing-masing nilai pengetahuan dan nilai praktik sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang bersangkutan, serta kualifikasi/predikat nilai sikap, disertai dengan deskripsi kemajuan belajar/ketercapaian kompetensi peserta didik sebagai pencerminan kompetensi utuh.

KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL (KKM)
1.      Kriteria ketuntasan minimal (KKM)  adalah Penentuan Ketuntasan Belajar (KKB) yang ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan batas ambang kompetensi (Permendiknas Nomor: 20/2007 tentang Standar Peniaian Pendidikan, butir 10).
2.      Nilai ketuntasan belajar untuk aspek kompetensi pengetahuan dan praktik  dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat, dengan rentang  0 -100.
3.      Penetapan KKM dilakukan oleh dewan pendidik pada awal tahun pelajaran melalui proses penetapan KKM setiap Indikator, KD, SK  menjadi KKM mata pelajaran, dengan mempertimbangkan, hal-hal sebagai berikut:
a.   Tingkat kompleksitas (kesulitan dan kerumitan) setiap KD yang harus dicapai oleh peserta didik.
b.   Tingkat kemampuan (intake) rata-rata siswa pada sekolah yang bersangkutan.
c.    Kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran pada masing-masing sekolah.
4.      Ketuntasan belajar setiap indikator, KD, SK dan mata pelajaran yang telah ditetapkan dalam suatu kompetensi  dasar berkisar antara 0 – 100 %. Kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator 75 %.
5.      Satuan pendidikan dapat menentukan kriteria ketuntasan minimal  (KKM) dibawah nilai ketuntasan belajar ideal, namun secara bertahap harus meningkatkan kriteria ketuntasan belajar secara terus menerus untuk mencapai kriteria ketuntasan ideal.
6.      KKM tersebut dicantumkan dalam LHB (berlaku untuk pengetahuan maupun praktik) dan harus diinformasikan kepada seluruh warga sekolah dan orang tua peserta didik.
Ujian Akhir Nasional (UAN) adalah suatu pengukuran secara nasional terhadap hasil belajar para siswa dari SD, SMP hingga SMA dan sederajat, setelah menjalani pendidikan selama kurun waktu sesuai tingkatan pendidikan yang diikuti. Walaupun UAN hanya menyelenggarakan pengujian untuk beberapa mata pelajaran (umumnya Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris) namun hasilnya menentukan kelulusan seorang siswa. Jika nilai rata-rata minimal yang ditentukan/distandarkan tidak mampu dicapai oleh seorang siswa maka dia dinyatakan tidak lulus. Makna tidak lulus itu adalah siswa gagal dalam tingkatan pendidikan yang diikutinya, setidaknya dalam tahun itu. Tahun 2003 nilai rata-rata minimal adalah 3,01; tahun 2004 adalah 4,01 dan tahun 2005 adalah 4,26, tahun 2009 adalah 5,01 dan tahun 2010 adalah 5,25. Angka-angka yang ditunjuk itu adalah nilai dalam selang penilaian 0 – 10. Meskipun batas minimal sangat rendah, namun dari tahun ke tahun banyak siswa yang gagal. Menurut laporan Harian Kompas tanggal 2 Juli 2010, khusus dalam tahun 2010, untuk tingkat SMA ada propinsi dengan siswa yang gagal mencapai 20,91%. Untuk tingkat SMK ada propinsi dengan siswa yang gagal mencapai 47,48% dan untuk tingkat SMP ada propinsi dengan siswa yang gagal mencapai 35,97%. Dilaporkan bahwa di Propinsi DIY, suatu propinsi yang dikenal sebagai salah satu daerah pendidikan termaju di Indonesia, dalam hal ini dijuluki kota pelajar di Indonesia, terdapat 6 SMA dengan hasil siswa yang gagal mencapai 100% atau dengan kata lain  tidak seorangpun siswa yang lulus.

MAKNA RENDAHNYA HASIL UAN
Apa makna angka-angka ketidaklulusan itu? Bagi seorang politisi atau kritisi pendidikan mungkin angka-angka tersebut bermakna indikator kegagalan penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air. Namun bagi saya makna angka-angka tersebut adalah banyak siswa yang frustasi. Siswa-siswa tersebut menjadi korban ketidaksamarataan proses penyelenggaraan pendidikan (persekolahan) namun hasil proses tersebut diukur secara sama rata. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa di Tanah Air kita ini penyelenggaraan pendidikan tidak sama rata. Ada pemerintah propinsi yang mampu memfasilitasi sekolah-sekolah, tapi sebaliknya ada pemerintah propinsi yang minim dana sehingga tidak mampu menunjang biaya penyelenggaraan persekolahan, (dengan kata lain dana pendidikan dialokasikan untuk pembangunan di sektor lain). Ada sekolah-sekolah dengan orangtua siswa yang mampu turut menanggung biaya persekolahan yang mahal, tapi ada sekolah dengan orangtua siswa yang kebanyakan tidak mampu turut memikul biaya mahal persekolahan (dikategorikan masyarakat miskin). Ada sekolah di propinsi yang selalu aman, namun ada sekolah-sekolah dengan lingkungan masyarakat yang rawan konflik, rawan bencana alam (seperti gempa dan tsunami, kebakaran, banjir dan sebagainya) serta rawan bencana kelaparan. Ada sekolah dengan fasilitas lengkap, lingkungan pendidikan yang sangat mendukung, tenaga pengajar berkualitas hebat dan orangtua yang mampu menanggung biaya pendidikan yang mahal. Para siswa dari sekolah jenis itu selain mengikuti proses pendidikan di sekolah, juga mengikuti les privat atau kursus-kursus tertentu untuk lebih memantapkan pengetahuannya walaupun dengan biaya mahal. Sebaliknya, ada sekolah dengan fasilitas tidak lengkap, tenaga pengajar yang minim kualitas, lingkungan yang tidak mendukung dan orangtua yang tidak mampu menanggung biaya pendidikan. Siswa-siswa dari sekolah terakhir ini biasanya tidak hanya pusing memikirkan pelajaran tapi juga turut pusing memikirkan biaya sekolahnya. Tahun 2009 lalu ada siswa SD di Arubara Kabupaten Ende yang nyaris tewas minum cairan anti serangga karena malu dan stress ketika tidak diperkenankan mengikuti ujian dengan alasan belum membayar biaya ujian sebesar Rp. 100.000,-. Disisi lain tidak bisa dipungkiri masayarakat akan menilai Guru adalah salah satu unsur  yang paling dominan dalam berlangsungnya proses pembelajaran, selain siswa sebagai objek pendidikan dan orang tua, pemerintah serta sarana-prasarana sebagai unsur pendukung. Keberhasilan UAN, (Yusril,2007:29).
Berangkat dari itu, maka tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan siswa, dalam menghadapi Ujian Akhir Nasional  (UAN) merupakan  tolak ukur tehadap kinerja yang dilakukan guru selama proses pembelajaran dapat dinilai apakah guru sudah professional atau tidak sama sekali.

MASIHKAH UAN DITERUSKAN?
Keadaan ini mengharukan dan mengenaskan. Kesenjangan yang begitu lebar dalam penyelenggaraan pendidikan tentu  saja secara kasat mata, bahkan seorang awam proses evaluasi pun langsung bisa menyimpulkan bahwa hasil belajar para siswa antara sekolah-sekolah demikian, pasti berbeda jauh. Sekolah-sekolah dengan fasilitas lengkap, jelas mampu menjamin kelulusan siswanya dalam UAN bahkan dengan hasil yang tinggi. Tidak demikian dengan sekolah-sekolah yang minim fasilitas. Oleh karena itu perlu dipertanyakan kembali – mengapa UAN tetap dipaksakan untuk diselenggarakan? Haruskah siswa hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan menerkah-nerkah?

HARAPAN DAN KESUNGGUHAN
Bangsa kita telah 66 tahun merdeka. Tentu saja wajar jika muncul banyak harapan termasuk harapan adanya kemajuan di bidang pendidikan. Ada kebanggaan masa lalu bahwa dulu pendidikan di negara kita ini menjadi contoh setidaknya di lingkungan regional Asia Tenggara. Negara kita pernah men-suplai tenaga keguruan ke negara lain seperti Malaisya dan Singapura, di wilayah tersebut. Namun kebanggan masa lalu itu, kini  tinggal sejarah. Kualitas pendidikan di negara kita sudah tertinggal jauh dibanding pendidikan di beberapa negara lain wilayah Asia Tenggara, temasuk Negara pengguna jasa kependidikan kita. Mungkin karena dimotivai dengan kesadaran akan ketertinggalan ini, maka pemerintah kita berupaya mengejar posisi kualitas yang pernah diraih pada masa silam (???). Untuk itu ujian kelulusan di-standart-kan secara nasional, dengan standarisasi kelulusan yang setiap tahunnya semakin meningkat. Barangkali upaya ini merupakan cambuk bagi penyelenggara pendidikan agar bekerja lebih keras lagi. Pemerintah pusat (MENDIKNAS) mendorong  pimpinan Dinas DIKNAS di propinsi-propinsi untuk bekerja keras dan pejabat yang disebut terakhir berlindung di belakang para Kepala Sekolah untuk memutar otak – selenggarakan persekolahanmu dengan lebih berkualitas kalau tidak mampu dimutasi atau masuk kotak. Mungkin model ini baik, namun pernahkah pemberi kebijakan memikirkan dampaknya. Terus kalau tidak ada dana harus bagaimanakan? Kalau orangtua siswa, pemerintah kota atau kabupaten dan propinsi minim dana, bagaimana? Justeru karena kesadaran akan hal ini, maka pemerintah legislatif dan eksekutif sepakat bahwa negara menyediakan dana penyelenggaraan pendidikan minimal 20% dari seluruh APBN tahunan, mulai tahun 2005. Kesepakatan ini tertuang dalam Undang-Undang. Karena itu pemerintah eksekutif wajib menjalankannya dengan pengawasan legislatif. Tapi faktanya, anggaran selalu kurang bahkan tidak mampu mencukupi biaya hidup yang layak bagi tenaga guru dan keluarganya. Namun ada hal yang aneh pihak legislatif tidak begitu mempermasalahkannya. Lebih aneh lagi, dana untuk sektor-sektor lain (seperti dana “operasional” DPR/DPRD, dana partai politik, anggaran kepresidenan)  begitu diputuskan untuk dinaikan, walaupun masih dibicarakan pada tingkat Panitia Anggaran DPR, langsung kelihatan dapat direalisasikan. Keadaan ini menunjukan bahwa negara kita sesungguhnya tidak serius meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karena itu tidak ada gunanya dorongan pemerintah pusat (mendiknas) kepada pimpinan dinas, diknas di setiap propinsi. Tidak ada gunanya tekanan pejabat dinas diknas propinsi kepada setiap kepala sekolah. Begitu juga, penyelenggaraan UAN sama sekali tidak berguna meningkatkan kualitas pendidikan, selama negara kita tidak serius menyelenggarakan proses pendidikan secara merata di seluruh Tanah Air, dan menemukan solusi yang tepat untuk dijalani bersama.

PERENUNGAN DAN SARAN
Sebaiknya seragamkan dulu proses penyelenggaraan pendidikan atau persekolahan, baru kemudian UAN dilaksanakan. Patuhi dulu perintah UU mengenai anggaran 20% untuk dana pendidikan secara tepat sasaran, baru kita memikirkan pengukuran standart hasil belajar. Seriuskan dulu komitmen kita untuk memberi kesempatan belajar yang sama kepada semua anak-anak bangsa. Biarlah mereka belajar sebagai anak-anak dari suatu bangsa yang merdeka dengan menuntut ilmu karena kebutuhan mereka dan karena tanggung jawab mereka masing-masing kepada kemajuan bangsa ini di masa depan. Jangan biarkan anak-anak bangsa ini terjajah karena motivasi negatif pendidikan yaitu dihantui frustasi kegagalan dalam UAN.

DAFTAR PUSTAKA  

   HM. Surya. 2005.  Kapita Pendidikan SD” Jakarta,  Universitas  Terbuka, Jakarta
   J. Subagio Sc.2010.  Paradigma Pedagogi Reflektif,  Kanisius   Jakarta.
   Kompas tanggal 2 Juli 2010: Kegagalan UAN. Jakarta
   Nasution. 2008.  Teknologi Pendidikan.” Jakarta  Bumi  Aksara
   Permendiknas Nomor: 20/2007 tentang Standar Peniaian Pendidikan, butir 10).
   Slamento. 2003. Belajar   dan  Faktor-Faktor yang  Mempengaruhinya.  Rineka   cipta, Jakarta
   Suryo  Subroto B. 2002. Proses Belajar  Mengajar  di  Sekolah. Rineka  Cipta,  Jakarta.
   Soecipto,  dan  Raflis Kosasi. 2004.  Profesi Guru. Rineka cipta  Bandung
   Syaiful Sagala. 2009. Kemampuan Profesional  Guru dan  Teori Kependidikan.  Rineka  Cipta Bandung 
   Undang-Undang   Republik  Indonesia   Nomor  20  Tahun  2003  tentang  Sistem  Pendidikan  Nasional 
   Yusril. 2007. Karakteristik Guru. Kanisius   Jakarta. *

posted by Jurnal Online Uniflor @ 11.52,

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home