Majalah Ilmiah INDIKATOR, Volume XIII, Nomor 2, September 2011
Kamis, 26 April 2012
PENDIDIKAN
KARAKTER
Oleh Natsir B. Kotten
Program Studi Pendidikan Ekonomi, FKIP,
Universitas Flores, Jln. Sam Ratulangi, Ende, Flores, Telepon
PENDAHULUAN
Pernahkah kita bertanya mengapa di negara tercinta ini
yang manusianya telah dipersiapkan untuk mempunyai moral tinggi, yaitu dengan
mewajibkan seluruh jenjang pendidikan untuk memberikan mata Pelajaran Agama,
dan Pendidikan Moral Pancasila, namun perilaku manusia Indonesia masih belum
sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang berlaku? Sejak usia dini, bahkan usia
TK, anak-anak Indonesia sudah wajib diajarkan agama di sekolah, dan ketika di
SD sampai SMA dan Universitas, wajib mengikuti pelajaran Moral Pancasila dan
sejenisnya. Namun kalau kita lihat perilaku remaja kita yang gemar mencontek,
kebiasaan bullyng di sekolah,
tawuran, termasuk perilaku orang dewasa yang juga senang dengan konflik dan
kekerasan (tawuran antar kampung, dsb), serta perilaku korupsi yang merajalela,
ternyata seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkannya, tidak
berdampak terhadap perubahan perilaku manusia Indonesia. Bahkan yang terlihat
adalah begitu banyaknya manusia Indonesia yang tidak konsisten, lain yang
dibicarakan, dan lain pula tindakannya.
Fakta ini menunjukkan bahwa ada kegagalan pada institusi
pendidikan kita dalam hal menumbuhkan manusia Indonesia yang berkarakter atau
berakhlak mulia. Karena apa yang diajarkan di sekolah tentang pengetahuan agama
dan pendidikan moral Pancasila, belum berhasil membentuk manusia yang
berkarakter. Padahal apabila kita tilik isi dari pelajaran agama dan Pancasila,
semuanya bagus, dan bahkan kita bisa memahami dan menghafal apa maksudnya.
Dalai Lama mengatakan bahwa untuk menciptakan masyarakat
yang penuh kedamaian harus dimulai dari dalam diri sestiap individu, yaitu
melalui transformasi internal dalam diri setiap insan. Dan yang cukup
menggelitik pernyataan beliau adalah, walaupun usaha transformasi internal ini
sangat sulit dilakukan, namun “IT IS THE ONLY WAY”. Inilah mungkin yang
menyebabkan mengapa segala usaha baik dalam kebijakan, maupun program untuk
memperbaiki perilaku manusia banyak menemukan kegagalan.begitu banyak biaya dan
program untuk menciptakan kedamaian dunia, namun konflik dan peperangan semakin
banyak terjadi. Semakin besar dana untuk menyelamatkan lingkungan hidup,
semakin banyak kerusakan alam terjadi. Khusus dalam bidang pemberantasan
korupsi, masyarakat begitu antusias menyambut dibentuknya “Kantin Kejujuran di Sekolah”,
namun menurut laporan program ini banyak yang gagal, karena sebagian besar
kantinnya bangkrut di korupsi oleh siswanya sendiri yang tidak jujur.
Artinya, untuk menjajdikan manusia yang cinta damai,
jujur, bertanggung-jawab menjaga lingkungan dan kualitas akhlak lainnya, adalah
dengan mencipta-kan manusia-manusia Indonesia yang batinnya hidup, yaitu yang
mampu memilih mana yang baik dan benar, mampu mengontrol dorongan-dorongan
nafsu ketamakan, berpikir kritis, kreatif, beretos kerja tinggi, dan selalu
berinisiatif untuk melakukan kebaikan, dan berusaha untuk semakin lebih baik
setiap harinya. Tentu ini merupakan hal yang sulit, namun membangun manusia
yang batinnya hidup mutlak diperlukan sebagai pondasi penting bagi terbentuknya
manusia-manusia yang berkarakter mulia.
Pertanyaannya adalah apakah institusi sekolah mampu untuk
melakukan-nya, terutama setelah melihat hasil pendidikan yang kelihatannya
gagal untuk membentuk karakter. Karena masalah pembentukan karakter adalah erat
kaitannya menyiapkan internal/batin individu yang senantiasa berpikir baik, berhati baik, dan bertindak
baik. Pemerintah melalui Kemenmtrian Pendidikan Nasional memang sudah
mencanangkan bahwa pendidikan karakter sejak tahun 2010 ini harus sudah bisa
diterapkan di seluruh jenjang pendidikan, dan ini adalah sebuah tantangan yang
amat besar.
Berhubungan penulis banyak berkecimpung dalam kegiatan
seminar pendidikan karakter, maka penulis berpendapat bahwa membangun karakter
anak adalah suatu hal yang amat rumit, namun bisa dilakukan apabila lingkungan
dan proses belajar mengajar memang kondusip. Makalah ini bertujuan untuk
menjabarkan secara singkat konsep dasar karakter dan sifat-sifatnya, apa yang
musti diajarkan, dan nilai-nilai karakter yang ditanamkan secara eksplisit.
KARAKTER
Secara harafiah karakter artinya kualitas mental atau
moral, kekuatan moral, nama atau reputasi (Hornby Parnwell, 1977). Menurut
Kamus lengkap Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak.
Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian (Kamisa, 1997).
Dalam Dorland’s
Pocket Medical Dictionary (1968) dinyakan bahwa karakter adalah sifat nyata
dan berbeda yang ditunjukan oleh individu; sejumlah atribut yang dapat diamati
pada individu. Di dalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah
kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran
seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap
(Dali Gulo, 1982).
Karakter adalah keteguhan bathin yang dikembangkan secara
sadar, yang berurat dalam diri seseorang, yang menjadi energinya dalam
bertindak sehari-hari untuk mencapai tujuan nilai-nilai moral yang tinggi
(David, 2003). Definisi ini sengaja dikembangkan bagi orang-orang dewasa yang
telah bekerja atau menjadi eksekutif perusahaaan agar bisa mereka renungkan,
kemudian menerapkannya dalam kehidupan mereka sendiri, dan akhirnya mereka
gunakan saat mengajar anak-anaknya atau karyawannya dengan lebih akurat. Karakter
adalah mengetahui hal yang benar untuk dilakukan, dan selalu melakukan hal-hal
yang benar, bahkan ketika tidak ada orang yang melihat kita berbuat hal yang
benar tersebut. Karakter adalah kepercayaan terhadap suatu sistem benar dan
salah, dikombinasikan dengan kemauan untuk melakukan apa yang benar terlepas
dari resikonya. Karena itu, anak berkarakter akan berkata, “Apa hal yang tepat
untuk dilakukan?” sementara seorang anak tanpa karakter akan berkata, “Apa
untungnya bagi saya?” Kita lebih menghormati anak yang memiliki “karakter”.
Karakter berkaitan dengan masalah hati – bagian dalam Anda, bukan luar Anda.
Karakter adalah ruh, semangat yang terungkap dari apa yang kita lakukan,
bagaimana kita hidup, bagaimana kita menghadapi orsang lain dan lingkungan.
Anak-anak pun melihat dan menyerapnya, menirunya, menambahinya, menguranginya.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa
karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi
pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan
individu lain. Dengan demikian, dapat dikemukakan juga bahwa karakter pendidik adalah kualitas mentak
atau moral, akhlak atau budi pekerti pendidik yang merukakan kepribadi-an
khusus yang harus melekat pada pendidik.
Seseorang dapat dikatakan berkarakter, jika telah
berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta
digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Demikian juga, seorang
pendidik dikatakan berkarakter jika ia memiliki nilai dan keyakinan yang
dilandasi hakikat dan tujuan pendidikan serta digunakan sebagai kekuatan moral
dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Pendidikan karakter itu termaktub
di dalam cara Anda berbicara, perilaku yang Anda teladankan, perilaku yang Anda
tolerir, kebiasaan yang anda dorongkan, dan harapan-harapan yang Anda
lambungkan (Kotten, 2011).
Dengan demikian pendidik yang berkarakter, berarti ia
memiliki kepribadi-an yang ditinjau dari titik tolak etis atau moral, seperti
sifat kejujuran, amanah, keteladanan, atau pun sifat-sifat lain yang dibangun
dengan berlandaskan pada keluhuran nurani, yaitu doa sebagai sumber kekuatan, ramah
dan akrab, sebagai wujud dari sosok dan perilaku yang sopan santun, rendah
hati, cinta kasih, dan kedamaian, toleran,
sebagai wujud dari sikap menjunjung tinggi prinsip rukun dan hormat, dan humanis, yaitu membangun kepercayaan diri melalui motivasi
dan bimbingan yang sejuk dan lembut. Pendidik yang berkarakter kuat
tidak hanya memiliki kemampuan mengajar dalam arti sempit (hanya mentransferkan
pengetahuan/ilmu kepada peserta didik) melainkan ia juga memiliki kemampuan
mendidik dalam arti luas. Atau dalam bahasa spiritualnya bahwa “mendidik dengan
hati melahirkan potensi”.
Kotten (2011) mengemukakan bahwa karakter itu terdiri
dari empat hal. Pertama, ada karakter
lemah; misalnya penakut, tidak berani mengambil resiko, pemalas, cepat kalah,
belum apa-apa sudah menyerah, dan sebagainya. Kedua, karakter kuat; contohnya tangguh, ulet, mempunyai daya juang
yang tinggi, atau pantang menyerah. Ketiga,
Karakter jelek; misalnya licik, egois, serakah, sombong, pamer, dan sebagainya.
Keempat, karakter baik; seperti
jujur, terper-caya, rendah hati, dan sebagainya. Atau dalam ungkapan spiritual:
“Ilmuwan (pendidik) sejati terlihat dari kerendahan hatinya”.
Nilai-nilai utama yang menjadi pilar pendidik dalam
membangun insan yang berkarakter kuat adalah:
(1)
amanah, dan
(2)
keteladanan
Dalam pelaksanaan uji dokumen portopolio program
sertifikasi bagi guru dalam jabatan, ada gejala secara nasional (karena terjadi
di 31 rayon di seluruh Indonesia), ada beberapa temuan antara lain: ada
indikasi pemalsuan dokumen, seperti peserta sertifikasi meminjam sertifikat
orang lain; ditemukan kejanggalan dalam pembuatan surat keterangan (misalnya
nomor, tanggal, bulan sama hanya berbeda tahunnya); ditemukan calo/penipuan
sertifikasi guru; munculnya biro jasa penyusunan portopolio. Hal ini terungkap
pada rapat koordinasi yang diseleng-garakan oleh Direktorat jenderal
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) di Hotel
Pitagiri Jakarta yang diikuti oleh Ketua dan Sekretaris Rayon, tanggal 24 April
2007.
Kondisi ini menggambarkaan betapa lemahnya integritas
guru terhadap pekerjaannya, betapa lemahnya amanah yang diemban guru. Tentunya
kondisi semacam ini juga belum dapat dijadikan teladan.
Beberapa faktor penyebab rendahnya pendidikan karakter
adalah: pertama, sistem pendidikan yang kurang menekankan pembentukan karakter
tetapi lebih menekankan pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi
pendidikan menekankan aspek kognitif/akademik; Ujian Nasional (UN). Kedua,
kondisi sosial yang kurang mendukung pembangunan karakter yang kuat.
Indikator dampak dari pendidikan yang menekankan aspek
kognitif antara lain banyaknya pelanggaran atau kecurangan yang terjadi pada
saat pelaksanaan UN. Tiap tahun selalu ada berbagai bentuk kecurangan, seperti
membeli kunci jawaban, mencari bocoran soal, guru memberi bantuan siswa dengan
cara yang tidak fair, dan lain-lain. Bahkan ada pejabat yang meminta kepada
kepala dinas atau kepala sekolah untuk menyukseskan UN dengan “berbagai cara”.
Pendidikan yang seharusnya merupakan tugas mulia
dimasukan kepenting-an yang dapat “merusak” sistem penyelenggaraan pendidikan.
Bahkan telah ber-geser menjadi tempat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
dan nilai-nilai pendidikan itu sendiri. Di sinilah salah satu dari 7 penyakit
global yang melanda bumi ini menjadi sakit, yaitu “Pendidikan tanpa Kakakter”.
SIFAT-SIFAT
KARAKTER
Sifat-sifat karakter seperti apa yang Anda inginkan ada di
dalam diri anak Anda? Ada enam sifat karakter yang musti anak-anak pelajari.
Pertama, iman.
Iman memberikan seseorang kemampuan untuk melihat melampaui apa yang dekat
dengannya. Dia bisa melihat bahwa ada lebih banyak daripada hidup yang ia
hadapi saat ini. Hal ini penting karena keadaan kita tidak akan selalu sesuai
dengan keimanan kita. Iman memberi harapan. Ini adalah sifat karakter paling
dasar.
Kedua, integritas.
Intergritas berasal dari integer, istila matematika, yang adalah angkah utuh.
Seseorang yang memiliki integritas juga mempunyai sifat jujur, blak-blakan, dan
konsisten, tidak peduli bagaimana keadaannya. Anak yang memiliki integritas
mengabdikan dirinya demi keyakinan dan prinsip-prinsip hidupnya.
Ketiga, sikap
tenang. Tenang adalah kemampuan untuk tidak panik ketika hal-hal di
sekitarnya kacau balau. Ketenangan adalah kemampuan untuk bertindak dengan cara
yang tepat dalam situasi tertentu. Ada saatnya untuk bertindak konyol dan ada
waktu untuk berperilaku dalam cara yang lebih serius.
Keempat, disiplin
diri. Ini adalah sifat pokok di mana sifat-sifat lainnya bergantung. Tujuan
kepengasuhan adalah untuk menanamkan sifat karakter ini. Sifat inilah yang akan
menyelamatkan mereka ketika kita tidak ada. Karakter inilah yang akan membuat
mereka keluar dari dunia kepedihan dan pencobaan. Disiplin diri didefisnisikan
sebagai kemampuan untuk menunda pemuasan. Ini mengingatkan kita bahwa kita
dapat mengalami kesenangan, tetapi yang paling baik adalah pada tempat dan
waktu yang tepat. Anak yang tak dapat menunggu akan menderita karenanya.
Kelima, daya tahan.
Daya tahan adalah kemampuan untuk tetap meng-hadapi masalah di depannya dan
tidak menyerah. Setiap anak akan menghadapi banyak tantangan dalam hidupnya.
Sifat karakter ini penting dalam relationship, pekerjaan, sekolah dan hal-hal
lain dalam hidup. Orang yang mudah menyerah tidak akan pernah menang, dan
pemenang tidak pernah menyerah. Kita harus mengajarkan daya tahan ini kepada
anak-anak kita.
Keenam, keberanian.
Kita sering menganggap keberanian sebagai tidak takut, tapi keberanian yang
sesungguhnya adalah tetap takut dan sekaligus melakukn hal yang tepat untuk
menghadapinya. Anak-anak akan menghadapi banyak godaan, tetapi keberanian
memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang tepat. Memiliki keberanian
untuk membela apa yang benar akan memuliakan mereka. Memiliki keberanian untuk
melakukan apa yang benar akan menghasilkan bermacam-macam buah kehidupan.
APA YANG
MUSTI DIAJARKAN?
Orangtua memiliki pilihan saat memutuskan kebajikan apa
yang akan mereka ajarkan kepada anak-anaknya. Ada tiga kebajika kritis yang
harus dimiliki seorang anak untuk menjadi orang yang peduli dan penuh kasih.
Empati
Keutamaan pertama adalah empati. Empati adalah kemampuan
unik untuk menyadari dan merasakan keprihatinan orang lain. Empati menyediakan
bahan pentinh yang diperlukan untuk menahan tindakan yang bersumber dari inplus
negatif atau agresi. Empati dapat meningkatkan kemampuan seorang anak untuk
bereaksi dengan baik dan memiliki cakrawala yang lebih luas saat menghadapi
tantangan sosial.
Banyak orangtua percaya bahwa kita belum bisa mengajarkan
kebajikan untuk anak-anak sampai mereka duduk di sekolah dasar. Sebaliknya,
kebajikan harus diajarkan sejak lahir. Mengapa? Mumpung anak-anak luar biasa
itu secara intuitif sangat responsif untuk menjadi baik.” Orangtua dapat
menawarkan arah positif kepada anak-anak kecil selama mereka berada di kelompok
bermain maupun di dalam keluarga sendiri. Ketika bersaing dengan saudaranya
atau kesulitan mendera kepala mereka, mengubah fokus anak dapat mengubah
seluruh dinamika kehidupannya. Alih-alih sekadar mengajari anak-anak nilai
berbagi/atau memberi, gunakan kesempatan itu untuk membimbing anak-anak untuk
me-nyadari apa yang anak lain rasakan. Ajukan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Menurutmu,
bagaimana perasaan....kalau kamu berbuat ini?” bisa menjadi cara yang ampuh
untuk memelihara empati dan menurunkan agresi. Bila sikap semacam ini disajikan
untuk anak-anak sejak usia yang sangat muda, mereka akan terbiasa berperilaku
penuh kasih. Membahas bagaimana perasaan orang-orang yang ada di televisi juga
dapat menjadi kesempatan baik untuk menyemaikan empati.
Hati Nurani
Mengembangkan hati nurani yang kuat merupakan bagian
penting dalam memelihara kemampuan seorang anak untuk mengembangkan karakter
yang kuat. Kebanyakan anak dilahirkan dengan hati nurani. Jika anak benar-benar
ingin mampu menahan tekanan di dunia saat ini, sebuah hati nurani yang kuat
sangatlah penting. Ambillah waktu untuk mengembangkan kebajikan ini. Hal ini
dapat dilakukan dengan menyimak penalaran moral anak Anda dan memahami mengapa
mereka berperilaku seperti yang mereka perbuat. Komunikasi yang baik sangat
penting untuk dapat menimbang perilakunya. Menurut Thomas Lickona, bahwa satu
langkah penting adalah mengarahkan anak Anda meluruskan kembali kesalahan yang
kungkin telah mereka lakukan. Kemampuan untuk menebus kesalahan merupakan
langkah penting untuk membangun hati nurani yang kuat.
Kontrol Diri
Kontrol diri adalah kebajikan ketiga yang perlu
ditingkatkan pada anak-anak untuk membangun karakter yang kuat.. Kebajikan itu
membantu anak-anak mengerem diri ketika tergoda untuk menyerang sesuatu atau
seseorang. Dengan menyisihkan waktu untuk mengajari anak-anak bahwa setiap
tindakan memiliki konsekuensi dapat membuat perbedaan dalam kemampuannya
menghentikan perilaku agresif. Mari kita coba untuk sejenak mengembalikan
depresi, dengan menyisihkan beberapa menit sehari untuk memraktekan 1 + 3 + 10.
Segera setelah Anda (anak anda) merasa tubuh Anda mengirimkan tanda peringatan
bahwa Anda kehilangan kontrol, lakukan tiga hal. Pertama, berhenti dan katakan
kepada diri sendiri: “Tenang, tenang,” itu yang 1. Kedua, mengambil tiga kali
nafas (tarak nafas dari hidung dan menghembuskannya lewat mulut; seperti
berenang). Itu 3. Sekarang hitung perlahan-lahan sampai sepuluh kali di dalam
kepala Anda. Itu 10. Lakukan semua berurutan, itulah 1 + 3 + 10. Melakukannya
akan membantu Anda tenang dan mendapatkan kembali kontrol.
NILAI-NILAI KARAKTER YANG DITANAMKAN SECARA EKSPLISIT
Ada banyak kualitas karakter yang harus dikembangkan,
namun untuk memudahkan pelaksanaan, IHF mengembangkan konsep pendidikan 9 pilar
Karakter yang merupakan nilai-nilai luhur universal (lintas agama, budaya dan
suku). Diharapkan melalui internalisasi 9 pilar Karakter ini, para siswa akan
menjadi manusia yang cinta damai, tanggung jawab, jujur, dan serangkaian akhlak
mulia lainnya. Adapun nilai-nilai 9 pilar karakter terdiri dari:
1.
Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya
2.
Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian
3.
Kejujuran
4.
Hormat dan santun
5.
Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama
6.
Percaya diri, kreatif, kerja kras, dan pantang menyerah
7.
Keadilan dan kepemimpinan
8.
Baik dan rendah hati
9.
Toleransi, cinta damai, dan persatuan
Metode penanaman 9 pilar karakter tersebut dilakukan
secara eksplisit dan sistematis, yaitu dengan knowing the good, reasoning the good, feeling the good, dan acting the good ternyata telah berhasil
membangun karakter anak. Dengan knowing
the good anak terbiasa berpikir hanya yang baik-baik saja. Reasoning the good juga perlu dilakukan
supaya anak tahu mengapa dia harus berbuat baik. Misalnya kenapa anak harus
jujur, apa akaibatnya kalau anak jujur, dan sebagai-nya. Jadi anak tidak hanya
menghafal kebaikan tetapi juga tahu alasannya. Dan juga dengan feeling the good, kita membangun
perasaan anak akan kebaikan. Anaik-anak diharapkan mencintai kebaikan. Lalu,
dalam acting the good, anak
mempraktekan kebaikan. Jika anak terbiasa melakukan knowing, reasoning, feeling dan acting the good lama kelamaan anak
akan terbentuk karakter.
Model ini membangun lingkungan secara total agar tercipta
lingkungan yang kondusif untuk tumbuhnya siswa-siswi berkarakter. Lingkungan
yang nyaman dan menyenangkan adalah mutlak diciptakan agar karakter anak dapat
dibentuk. Hal ini erat kaitannya dengan pembentukan emosi positif anak, dan
selanjutnya dapat mendukung proses pembentukan empati, cinta, dan akhirnya
nurani/bantin anak.
PENUTUP
Penghayatan akan nilai-nilai kehidupan menjadi dasar dari
pembentukan kepribadian dan karakter manusia. Padahal karakter mempunyai
peranan penting dalam menentukan martabat manusia. Oleh karena itu sudah
selayaknya bahwa pendidikan karakter merupakan isyu sentral bagi proses
pendidikan yang dilaksanakan, baik secara informal di keluarga maupun di
masyarakat, maupun secara formal di sekolah di seluruh jenjang. Pendidikan
karakter harus diyakini sebagai suatu proses yang berkesinambungan melalui
penyadaran dan pembiasan. Kearifan lokal harus jadi acuan utama dalama
menerapkan pendidikan karakter. Keberpihakan dan kepentingan anak harus menjadi
fokus utama dari pendidikan karakter. Kerjasama yang baik antara keluarga,
sekolah dan masyarakat menjadi kunci utama dari keberhasilan pendidikan
karakter.
DAFTAR
PUSTAKA
Adi Rianto. 2009. “Kekerasan
dalam Pendidikan:
Sebuah
Survey atas Praktek Pendidikan di Flores NTT.” Respons
Jurnal Etika Sosial, Vo. 14. No.; 02 Desember. Hal.
247-262.
Rima Febiana. 2009. “Kekerasan terhadap perempuan dan rekonstruksi budaya.” Respons Jurnal Etika Sosial Vo.
14. No.02, Desember hal, 223-245.
Sudarminta
J. 2006. Pendidikan Nilai-nilai kehidupan: Menuju Manusia Indonesia yang
bermartabat dan berbudaya” diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Unika
Atmajaya, jakarta, 18 Nopember 2006.
Kotten N. 2009. Pendidikan
berwawasan Spiritual. Majalah Ilmiah
Universitas Flores INDIKATOR, Volume X. N0. 2 September 2009
Sudradjat,
A. (2010). Tentang pendidikan Karakter.
*
posted by Jurnal Online Uniflor @ 11.55,
0 Comments:
Posting Komentar