Agrica, Vol. 1 No. 1 Juni 2010
Rabu, 16 Mei 2012
AGRICA, 3 (1) : 39 – 48 (2010)
ISSN : 1979-0368
EFEKTIVITAS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN BEAUVARIA BASSIANA
TERHADAP HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO
CONOPOMORPHA CRAMERELLA SNELLEN
TERHADAP HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO
CONOPOMORPHA CRAMERELLA SNELLEN
Yustina M. S.W. Pu’u
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Flores
ABSTRACT
Efectivity of Fungi of Entomophatogen Beauvaria bassiana on Cocoa Pod Borrer Conopomorpha cramerella Stellen.
Cocoa pod borer Conopomorpha cramerella Snellen
(Lepidoptera: Gracillaridae) is one type of the key pest which is highly
responsible for drilling cocoa,
which then causes the production and quality of cacao to decrease. The use of
entomopathogenic fungus is one of the alternatives to cope with it. By
infecting and developing within insects, such a fungus can cause the insects to
suffer from diseases wich will then be responsible for their death. Beauveria bassiana are types of the
entomopathogenic fungus which are used for controlling cocoa pod borer, as they
are able to infect the pest trough the enzyme or toxin produced, wich then
leads to its death. This study aims at effectiveness test of entomopathogenic
fungus Beauveria bassiana against cocoa pod borer.
This research was
conducted at the Laboratory Udayana University in Bali from May to November 2010.
. The experimental design employed was randomized complete block design (RCBD)
wich was made up of four treatments such as B0 (Control), B1 (B. bassiana in wich the spore density
was 105 spora/ml); B2 (B.
bassiana in wich the spore density was 106 spora/ml); B3 (B. bassiana in wich the spore density
was 107 spora/ml).
The result show that
the Larvae CPB which was infected by B.
bassiana shows different treatments and responses than control. The fastest
death of the larvae CPB took place on the treatment of B. bassiana in which spore density 107. the fastest appearance of spore took place on
the treatment five days after inoculation. The fungus of B. bassiana at the spore speed of 105 and 107
caused all the larvae CPB 100% to die at five days after inoculation.
Key words:
Entomopathogenic, Cocoa Pod Borer, Beauveria bassiana.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara
pengekspor kakao terbesar ketiga setelah Cote d’lvorie dan Ghana dari Afrika.
Propinsi Bali ikut menyumbang ekspor tersebut sejak tahun 2003 sekitar 5,968.11
ton per tahun (Disbun Bali, 2007). Ekspor kakao Bali semakin meningkat seirama
dengan perkembangan pertanaman kakao yang tergolong sangat pesat karena
meningkatnya permintaan komoditas tersebut dari tahun ke tahun.
Total produksi kakao Bali
terus meningkat sampai tahun 2005 yang didukung oleh meningkatnya jumlah
tanaman produktif (Supartha, 2008b). Namun demikian laju produktivitasnya
cenderung menurun di berbagai daerah kabupaten yaitu 6 persen pada tahun 2005
dan sampai 42,71 persen pada tahun 2006. Akibat penurunan produktivitas
tersebut diperkirakan petani mengalami kerugian sekitar 3 – 5 milyar pada tahun
2004 – 2005 dan sekitar 52,27 milyar rupiah per tahun pada tahun 2006 (Disbun
Bali, 2007). Salah satu penyebab utama menurunnya produksi kakao tersebut
adalah serangan hama dan penyakit tanaman.
Hama penting yang menjadi penyebab utama
menurunnya produksi dan mutu kakao tersebut adalah Penggerek Buah Kakao (PBK) Conopomorpha cramerella Snellen
(Lepidoptera: Gracillaridae). Hama
tersebut merupakan hama langsung yang menyerang bagian dalam buah. Stadium yang
merusak adalah larva, dimana larva ini makan plasenta yang merupakan saluran
makanan menuju ke biji sehingga mengakibatkan penurunan hasil dan mutu biji.
Biji menjadi kempes (kurang berenas) dan lengket sehingga berpengaruh terhadap
kriteria standar mutu biji terutama bean
count dan kadar sampah biji yang secara keseluruhan mempengaruhi daya saing
dan perlakuan harga. Akibat serangan tersebut, pengiriman biji kakao ke pasar
global seperti Amerika Serikat, Eropa dan China sering dikenai biaya tambahan
atau potongan harga yang nilainya mencapai 350 dolar Amerika per ton.
Upaya penanganan terhadap hama
tersebut sampai saat ini telah dilakukan dengan aplikasi teknologi pengendalian
tepadu dengan memadukan cara kultur teknis melalui pemangkasan bentuk, panen
sering dan sanitasi (Sulistyowati et al.,
1995 dalam Supartha, 2008) serta
pengendalian hayati dengan pemanfaatan semut hitam dan Beauveria bassiana (Wardojo, 1984 dalam Supartha, 2008).
Pemanfaatan musuh alami
dari golongan patogen merupakan salah satu alternatif pengendalian hama PBK.
Salah satu entomopatogen yang berpotensi dikembangkan sebagai alternatif
pengendalian hama PBK adalah Beauveria
bassiana. Cendawan entomopatogenik ini mempunyai kapasitas reproduksinya
tinggi, siklus hidupnya pendek, relatif aman, bersifat selektif, kompatibel
dengan beberapa jenis insektisida dan mudah diproduksi. Beauveria bassiana memproduksi toksin yang disebut beuvericin.
Antibiotik ini menyebabkan gangguan pada fungsi nukleus serangga, sehingga
menyebabkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang
terinfeksi. B. bassiana juga dapat
menginfeksi serangga melalui kontak langsung dan inokulasi atau kontaminasi
pakan.
Hasil penelitian melaporkan bahwa, Beauveria bassiana yang diisolasi dari
pupa C. cramerella di Malaysia
dan Maluku dilaporkan mampu menekan serangan PBK sebesar 83,33%. Penyemprotan B. bassiana isolate Bby 725 yang
dilakukan pada buah muda dan cabang horizontal berhasil menekan serangan PBK
terhadap buah antara 54 - 60,5% (Supartha et
al., 2008). Beauveria bassiana juga dapat menyebabkan kematian
pada larva dan pupa PBK sebesar 40 – 100%. Sulistyowati et al., 2002 menunjukkan bahwa penggunaan B. bassiana secara terus menerus pada pertanaman kakao tidak
berpengaruh buruk terhadap musuh alami maupun serangga berguna lainnya. Untuk
dapat memanfaatkan cendawan entomopatogen sebagai bahan dasar agens hayati
secara optimal, perlu dilakukan pengujian secara mendalam tentang
efektivitasnya terhadap hama sasaran. Sampai saat ini informasi tentang
efektivitas jamur entomopatogen Beauveria
bassiana terhadap hama penggerek buah kakao pada tanaman kakao belum banyak
dilaporkan sehingga penelitian ini perlu dilakukan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAK)
dengan 4 perlakuan konsentrasi (105 spora/ml air, 106
spora/ml air, 107 spora/ml air dan kontrol), diulang sebanyak 5 kali sehingga terdapat 20
satuan percobaan.
Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Ekologi dan Sistematika Serangga dan Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Petanian Universitas Udayana di
Denpasar. Waktu penelitian dimulai dari bulan Agustus sampai November 2009
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah isolate B. bassiana,
serangga PBK, buah kakao, alkohol 70%, alkohol 95%, kloramfenikol, kain kasa,
media PDA, Tween 80% dan aquabides.
Alat yang digunakan adalah hand sprayer,
cawan Petri, tabung erlenmenyer, tabung reaksi, stoples,tabung reaksi, sendok
pengaduk, nampan, talenan, pisau, cool box, lup, kertas label, pinset,
thermohigrometer, kertas saring, plastic, alumunium foil, kapas, timbangan
elektrik, panci, jarum oose, haemacytometer
dan laminar flow.
Pelaksanaan penelitian meliputi langkah – langkah berikut :
1.
Pengumpulan larva PBK
Larva instar 2
dikumpulkan dari kebun kakao yang ada di sekitar Kecamatan Selemadeg Tabanan. Pengumpulan
larva dilakukan dengan cara membelah buah kakao yang menunjukkan gejala
terserang PBK. Larva-larva yang ada pada buah dikumpulkan dengan menyertakan bagian buah sebagai
media dan bahan pakan larva untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium dan dipelihara
2. Perbanyakan B. bassiana
Perbanyakan dilakukan pada media PDA
dengan komposisi 200 g kentang, 20 g dekstrosa, 15 g agar dan 1 liter aquades.
Setelah medium didinginkan kemudian diinokulasikan dengan jamur B. bassiana. Medium yang telah
diinokulasi kemudian diinkubasi
selama 3-5 hari pada suhu kamar 20°- 30° C dan RH 90 % selama 3-5
hari.
3. Uji efektivitas B. bassiana terhadap Penggerek
Buah Kakao (PBK) Conopomuorpha cramerella
Snellen
Untuk pengujian efektivitas B. bassiana terhadap penggerek buah
kakao C. cramerella
Snellen yaitu pada setiap perlakuan terdiri dari 10 ekor imago PBK sebagai
serangga uji yang dimasukkan dalam stoples, kemudian disemprot dengan suspensi B. bassiana sesuai perlakuan pada
serangga dan buah kakao. Penyemprotan dilakukan secara merata, mengenai
serangga dan buah kakao. Pengamatan dilakukan mulai hari hari ke-2 setelah aplikasi
selama 10 hari terhadap kematian imago PBK tersebut.
Adapun Variabel yang
diamati adalah :
1. Perilaku dan respon larva terhadap jamur entomopatogen
B. bassiana
Perilaku dan respon larva akibat infeksi jamur
entomopatogen dilihat dari gerakan larva, perilaku makan dan perubahan
morfologi (bentuk) serta perubahan warna larva
PBK.
2. Waktu kemunculan spora pada larva PBK
(masa inkubasi) dalam
interfal pengamatan setiap hari.
Waktu
kemunculan spora pada masing-masing perlakuan diamati satu hari setelah
aplikasi jamur entomopatogen pada larva PBK sampai 10 hari pengamatan (Barson,
1977 dalam Ahmad, 2008)
3. Waktu kematian larva PBK (hari)
Waktu kematian larva diamati setelah aplikasi
entomopatogen. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui cara kerja (mode of action) dari masing-masing jamur
entomopatogen dari awal infeksi sampai menyebabkan kematian pada larva.
4.
Persentase kematian larva PBK (%)
Pengamatan kematian
larva dilakukan dengan mengamati jumlah larva uji yang mati setelah aplikasi jamur
entomopatogen pada satu hari setelah aplikasi sampai 7 hari pengamatan. Persentase
kematian dihitung dengan
rumus:
dimana :
P = Persentase
kematian
a = Jumlah larva uji
yang mati
b = Jumlah larva uji
yang diamati
Data dianalisis dengan analisis varian. Jika uji F
menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap variabel yang diamati, maka
untuk membandingkan nilai antar perlakuan digunakan uji beda nyata terkeci
(BNT) taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Perilaku dan respon larva terhadap jamur entomopatogen B. bassiana
Larva yang terinfeksi B. bassiana pada awal infeksi menjadi kurang aktif dan lemah,
adanya bercak hitam pada kutikula, pada hari ketiga tubuh larva berwarna
kehitaman dan mengeras seperti mumi serta permukaan tubuhnya dipenuhi miselia yang
berwarna putih
Perubahan perilaku dan respon larva PBK tersebut disebabkan karena
kerusakan pada semua jaringan tubuh larva yang didukung oleh enzim dan toksin
yang dihasilkan oleh jamur entomopatogen tersebut. Ahmad (2008) menyatakan
bahwa toksin yang dihasilkan oleh jamur B.
bassiana dapat merusak saluran pencernaan, otot, sistem syaraf, pernafasan
gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga menyebabkan pembengkakan
dan pengerasan pada serangga yang terinfeksi sehingga serangga mengalami
kematian.
2. Waktu Kemunculan Spora pada Larva PBK
(masa inkubasi)
Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan
entomopatogen B. bassiana berpengaruh
nyata terhadap waktu kemunculan spora pada larva PBK. Rata-rata waktu kemunculan
spora pada hari ke-5 untuk semua perlakuan kecuali kontrol (Tabel 1).
Tabel 1 Waktu kemunculan spora jamur entomopatogen B. bassiana pada larva PBK
Perlakuan
|
Waktu Kemunculan Spora (hari)
|
B.
bassiana 105 spora/ml (B1)
|
5,0 a
|
B.
bassiana 106 spora/ml (B2)
|
5,0 a
|
B.
bassiana 107 spora/ml (B3)
|
5,0 a
|
Kontrol (aquades)
|
0,0 b
|
Keterangan : angka-angka
yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada setiap variabel
adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan 5%; Data dianalisis
setelah ditransformasi ke √x + 0.5
|
Waktu kemunculan spora B. bassiana pada Larva PBK
pada semua perlakuan konsentrasi tidak berbeda nyata kecuali dengan kontrol.
Peristiwa ini disebabkan karena proses replikasi dan reproduksi jamur dalam
tubuh larva sehingga sporanya akan keluar menembus kutikula larva yang didukung
oleh suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian berlangsung rata-rata 26-30 °C dan 71-80 %. Menurut Tanada dan Kaya
(1993) mekanisme infeksi jamur entomopatogen pada serangga melalui beberapa
tahap yaitu adanya kontak antara propagul jamur dengan tubuh serangga,
penempelan dan perkecambahan propagul jamur pada integumen serangga, penetrasi
ke dalam hemocul dan perkembangan jamur pada tubuh serangga. Jamur yang
berkembang pada tubuh serangga akan mengembangkan protoplas pada hemokul dan
membentuk hifa, dan menyebar dengan
cepat dengan menghasilkan toksin sebagai bagian dari mekanisme pertahanan
dirinya.
3.
Waktu Kematian Larva PBK (hari)
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa
perlakuan jamur entomopatogen B. bassiana berpengaruh nyata terhadap
waktu kematian larva PBK. Rata-rata waktu kematian larva PBK paling cepat pada
perlakuan B. bassiana dengan
kerapatan spora 107 spora/ml dibandingkan perlakuan yang lain (Tabel
2).
Tabel 2 Waktu kematian larva PBK
Perlakuan
|
Waktu kematian
larva
(hari)
|
B.
bassiana 105 spora/ml (B1)
|
4,0 a
|
B.
bassiana 106 spora/ml (B2)
|
3,5 a
|
B.
bassiana 107 spora/ml (B3)
|
2,0 a
|
Kontrol (aquades)
|
0,0 b
|
Keterangan:
angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada
setiap variabel adalah tidak berbeda nyta pada uji jarak berganda Duncan 5%;
Data dianalisis setelah ditransformasi ke √x +
0.5
|
Waktu kematian yang tidak berbeda pada semua
perlakuan menunjukkan bahwa isolat jamur B.
bassiana yang diuji mempunyai virulensi yang tinggi dalam menyebabkan
kematian larva PBK. Virulensi yang tinggi dengan kerapatan spora yang tinggi
menyebabkan waktu kematian larva lebih cepat, karena jumlah spora yang
dihasilkan dalam jumlah yang banyak sehingga waktu kematian menjadi lebih
cepat. Neves dan Alves (2004)
mengemukakan bahwa waktu kematian serangga dipengaruhi oleh konsentrasi dan
tingkat virulensi dari masing-masing isolat.
4.
Persentase Kematian Larva
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa
perlakuan jamur entomopatogen B. bassiana
dan M. anisopliae berpengaruh nyata
terhadap persentase kematian larva PBK dibandingkan dengan kontrol.
Tabel 3. Persentase kematian larva PBK pada perlakuan jamur entomopatogen B. bassiana
Perlakuan
|
Kematian
Larva PBK (%) hari ke.......... setelah aplikasi
|
||||||
|
1 hsa
|
2 hsa
|
3 hsa
|
4 hsa
|
5 hsa
|
6 hsa
|
7 hsa
|
B.
bassiana 103 spora/ml (B1)
|
0,0
|
0,0 c
|
0,0 c
|
35,0 c
|
55,0 c
|
75,0 b
|
90,0 b
|
B.
bassiana 105 spora/ml (B2)
|
0,0
|
15,0
b
|
45,0
b
|
90,0
b
|
92,5
b
|
100,0a
|
100,0
a
|
B.
bassiana 107 spora/ml (B3)
|
0,0
|
27,5
a
|
60,5
a
|
95,0
a
|
100,0
a
|
100,0a
|
100,0
a
|
Kontrol (aquades)
|
0,0
|
0,0 c
|
0,0 c
|
0,0 d
|
0,0 d
|
0,0 c
|
0,0 c
|
Keterangan
: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada
setaip variabel adalah tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan 5%; Data
dianalisis setelah ditransformasi ke Arc sin √x
|
Mekanisme
kematian diawali oleh perubahan perilaku, perubahan bentuk dan warna larva yang
disebabkan oleh proses pertumbuhan jamur pada bagian tubuh larva. B. bassiana menginfeksi dan berkembang
di dalam tubuh serangga dengan mengeluarkan enzim dan toksin yang menyebabkan
kerusakan pada fungsi sel jaringan larva sehingga menyebabkan kematian. Menurut
Tanada dan Kaya (1993) toksin yang dihasilkan oleh B. bassiana yaitu beauvericin, beauveroulit, bassianaliti, isorolit
dan asam oksalat dapat merusak saluran pencernaan, otot, sistem syaraf dan
pernafasan. Enzim yang dihasilkan seperti protease, lipolitik, amilase, dan
kitinase yang akan menghidrolisis kompleks protein dalam integumen.
Jamur
entomopatogen B. bassiana pada
konsetrasi 105 dan 107 spora/ml pada 2 hari setelah aplikasi (hsa) dan menyebabkan persentase kematian larva PBK
hingga 100% pada 5 hari setelah aplikasi dan 6 hari setelah aplikasi dibandingkan
perlakuan lainnya (Tabel 5.2). Hal ini disebabkan karena kerapatan spora yang
tinggi memungkinkan kontak antara konidia dan tubuh larva lebih banyak
dibandingkan pada kerapatan spora yang rendah. Keadaan itu memberi peluang yang
lebih banyak bagi konidia untuk menempel, berkecambah, berpenetrasi dan
berkembang dalam tubuh larva PBK. Selain itu juga disebabkan karena B. bassiana mempunyai kemampuan
penetrasi yang lebih tinggi yang didukung oleh enzim dan toksin yang dihasilkan
selama proses infeksi berlangsung seperti pada saat kontak dengan kutikula dan
hemokul. Tanada dan Kaya (1993) mengatakan bahwa patogenesitas jamur
entomopatogen dalam menyebabkan kematian serangga diduga terkait dengan
kemampuan menghasilkan enzim dan toksin selama berjalannya proses infeksi
seperti kontak dengan kutikula dan di dalam hemokul, yang ditunjukkan oleh
perilaku serangga yang terinfeksi. Soetopo dan Indrayani (2007) menyatakan
bahwa B. bassiana memiliki fase
resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya menginfeksi inang pada kondisi
kering dan kemampuan penetrasinya yang tinggi pada tubuh serangga.
SIMPULAN
Kesimpulan
1.
B. bassiana efektif mengendalikan
hama PBK.
2.
B. bassiana dengan konsentrasi 105
dan 107 spora/ml paling efektif menyebabkan kematian pada larva PBK
di Laboratorium.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih penulis
sampaikan kepada DIKTI Cq. DP2M atas pendanaannya, Pihak Universitas Udayana
atas Fasilitasnya dan Pihak Fakultas Pertanian Universitas Flores atas
perijinannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alvim, 1979. Cacao, Ecophysiology of Tropical Crops,
Alvim., T.T. Kozlowski (Eds.), New York: Aca. Press
Bong, C. L., Ruslan, A., Norlela, H., Fuddin, S. S., Alias, A., Markos, A.
1999. Beauveria bassiana As A
Potential Biocontrol Agent Of The Cocoa Pod Borer, Conopomorpa cramerella. Symposium on Biological Control in The
Tropics MARDI Training Centre. Serdang. Selangor,
Malaysia 18-19
March 1999.
Broome, J.R., Sikorowski, P.P., Norment, B.R. 1976. A mechanism of
pathogenicity of Beauveria bassiana
on larvae of the imported fire ant Solenopsis
richteri. J. Invertebrate Pathology.
28: 87-91.
Commonwealth Micology Institute.
1981. Description of Pathogenic Fungi and
Bacteria. England:
Commonwealth Mycology Institute.
Dinas Perkebunan Propinsi Bali. 2007. Statistik Perkebunan Propinsi
Bali tahun 2004. Denpasar: Dinas Perkebunan Propinsi Bali.
http://www.dinasperkebunanbali.info/
Depparaba, F. 2002. Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snellen) dan Penanggulangannya. Jurnal Litbang Pertanian. 21 (2): 69-74
Deciyanto, S., Reyes, S.G., Santiago, D.R. 2007. Laboratory
assay of Beauveria bassiana against Helicoverpa armigera. Proceedings on The
1st International Conference of Crop Security 2005 at Brawijaya University,
Malang, September
20th – 22nd, 2005. p.46-55.
Desyanti., Hadi, Y.S., Yusuf, S., Santoso, T., 2007. Keefektifan
Beberapa Spesies Jamur Entomopatogen untuk Mengendalikan Rayap Tanah Coptotermes gestroi WASMANN (Isoptera:
Rhinotermitidae) dengan Metode Kontak dan Umpan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. 5 (2) : 68-77
Gomez, K.A., Gomez, A.A. 2007. Prosedur Statistik Untuk Penelitian
Pertanian. (Sjamsuddin E., Baharsjah J. S. Pentj). Edisi ke 2. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Irianti, A. T. P., Wagiman,
FX., Martoredjo, T. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Patogenisitas Beauveria Bassiana Terhadap Bubuk Buah
Kopi (Hypothenemus hampeii). Agrosains. 14(3) : 285-296
Laba, I. W., Trisawa,
I. M. 2006. Keefektifan Beauveria bassiana dan Spicaria sp. Terhadap Kepik Renda Lada Diconocoris hewetti (DIST.) (Hemiptera:
Tingidae). Bul. Litro. 17 (2)
: 99-106
Lim, G. T. 1984. The behavioural studies on cocoa pod borer Acrocercops cramerella Snellen. Togo: Ninth
International Cocoa Research Conference. 539-542
Neves, P.M.O.J., Alves, S.B. 2004. External Events Related to the
Infection Process of Comitermes
cumulans (Kollar) (Isoptera : Termitidae) by the Entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae. Journal of the Neotropical Entomol. 33
(1) : 051-056
Oka, I. N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia.
Yogyakata: Gadjah
Mada University
Press.
Prasasya,
A.A. 2008. Uji Efikasi Jamur Entomoptaogen Beauveria
bassiana Balsamo dan Metarhizium
anisopliae (Metch.) Sorokin Terhadap Kematian Larva Phragmatoecia castanae Hubner Di Laboratorium.http://library.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=com_journal_review&id=11081&task=view
Prayogo, Y. 2006. Upaya Mempertahankan
Keefektifan Jamur Entomopatogen Untuk Mengendalikan Hama Tanaman Pangan. Jurnal Litbang Pertanian. 25 (2) : 47-54
Posada., F.J., Fernando E. V. 2005. A New Method to Evaluate The
Biocontrol Potential of Single Spore Isolates of Fungal Entomopathogens. Insect
Biocontrol Laboratory, Bldg. 011ª, BARC-W, USDA, Agricultural Research Service,
Beltsville. www. Insectscience.org/5.37/ref/figure 1.html. Disidir
tanggal 1 Juni 2009. Hal 1.
Puslitkoka, 2004. Panduan
Lengkap Budidaya Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jakarta: Agromedia
Pustaka.
Santosa, 1980. Dasar-Dasar
Perlindungan Tanaman (Bagian Ilmu Hama Tanaman). Bogor:
Departemen Ilmu Hama
dan Penyakit Tanaman Faperta IPB.
Semangun,
H. 1988. Penyakit-Penyakit Tanaman
Perkebunan di Indonesia, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Setiawati.,
W., Tinny S. U., Bagus K. U. 2004. Pemanfaatan Musuh Alami dalam Pengendalian
Hayati Hama pada Tanaman Sayuran. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Monografi. 24: 24-25
Soetopo, D., Indrayani, I.G.A. 2007. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana Untuk Pengendalian
Serangga Hama Tanaman Perkebunan Yang Ramah Lingkungan. Perspektif. 6(1): 29-46
Sudiyanto, 1976. Pedoman
Bercocok Tanam Cokelat. Jakarta:
Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian.
Sulistyowati, E., Junianti, Y. D., Mufrihati, E., Wahab, A. 2002.
Keefektifan Jamur Paecilomyces
fumosoroseus untuk Mengendalikan Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella). Pelita
Perkebunan. 18(3): 120-128.
Supartha, I. W., Susila, I W., Bagus,
I G N., Wirya, I G. N.A.S., Sudiartha, P. 2006. Pengembangan Strategi dan
Teknologi Pengendalian Penggerek Buah Kakao. Dalam Laporan Akhir Demplot
Pengendalian Penggerek Buah Kakao dan Pola Integrasi Kerjasama Dinas Perkebunan
Propinsi Bali dengan Jurusan HPT Fakultas Pertanian. Denpasar: Universitas Udayana.
Supartha, I. W., Susila, I W., Bagus, I G N., Wirya, I G. N.A.S.,
Sudiartha. 2007. Teknologi
Pengendalian Penggerek Buah Kakao untuk Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas
Produksi Kakao. Materi disampaikan dalam Seminar Hasil Kaji Terap Pengendalian
PBK dan pola Integrasi. Tahun Anggaran 2006 yang diselenggarakan oleh Dinas
Perkebunan Propinsi Bali, tanggal 16 januari 2007. Denpasar.
Supartha, I. W. 2008. Pengendalian Hama Penggerek dan Penyakit
Busuk Buah Kakao Secara Integrasi. I M. Mastika & I W. Susila (Editor).
Denpasar: Dinas Perkebunan Propinsi Bali. ISBN 978-979-18979-0-7.
Tan, S. G, Muhamad, R., Gan, Y.Y., Rita,
M. 1988. Hexokinase, Malate, Dehydrogenase, Fluorescent esterase and Malic
Enzyme Polymorphisms in Cacao Pod Borer, Conopomorpha
cramerella (Snellen). Pertanika.
11:7-13.
Tanada, Y., Kaya, H. K.
1993. Insect Pathology. New York: Academic
Press. 318-366.
Todorava, S.I., Coderre, D., Vincent, C.,
Cote, J.C. 2003. Effects of the entomopathogenic fungus Beauveria
bassiana on the oblique banded leafroller. Agriculture and Agri-Food Canada. 1p.
Wahyono, T.E. 2006. Pemanfaatan Jamur Patogen Serangga Dalam
Penanggulangan Helopeltis antonii dan
Akibat Serangannya Pada Tanaman Jambu Mete. Buletin
Teknik Pertanian. 11(1): 17-22
Wahyono, T.E., Tarigan, N. 2007. Uji Patogenesitas Agen Hayati Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae Terhadap Ulat
Serendang Xystrocera festiva. Buletin Teknik Pertanian. 12 (1) : 27-29
Wardojo, S. 1994. Strategi pengendalian
hama Penggerek Buah Kakao (PBK) di Indonesia. Materi disampaikan pada Gelar
Teknologi dan Pertemuan Regional Pengendalian PBK di Kabupaten Polmas Sulawesi
Selatan, 3-4 Oktober 1994. 5 hlm.
Wessel, M. 1983. “Shade and
Nutrios”. Cocoa,
Eds. G.A.R. Wood., R. A. Lass. Essex:
Logman Group Latd.
Zipcode. 2009. Beauveria bassiana. http://zipcodezoo.com/Fungi/B/Beauveria bassiana. Disidir
tanggal 7 Juni 2009
posted by Jurnal Online Uniflor @ 18.47,
0 Comments:
Posting Komentar