Agrica, Vol. 1 No. 1 Juni 2010
Rabu, 16 Mei 2012
AGRICA, 3 (1) : 63 – 69 (2010)
ISSN : 1979-0368
PERANAN PESTISIDA BOTANI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN ORGANIK
I Putu Sudiarta
Departement of Agroecotechnology, Faculty of Agriculture, Udayana University
Jl. P. B. Sudirman Denpasar Bali, 80325
Email: putu.ueda@yahoo.com
SUMMARY
The Role Of Botanical Pesticides In The Support Of Organic
Agriculture
Until recently the use of synthetic
pesticides to control pests and plant diseases
proved effective, but on the other hand the excessive use of synthetic
pesticides cause many negative effects, such as development of pest and disease
resistance, second pest explosion, death of natural enemies and pesticide
residues in food and environment. One alternative that can be done to solve this problem is the use
of botanical pesticides. Botanical pesticides are compounds produced as a plant defense
response to disturbances and stimulation. These compounds
generally are of secondary metabolites that have many functions, such as growth
hormones (Auxin, gibberellins and cytokinins), anti-fungal or anti-bacterial,
antibiotics, and toxic to animals and insects. The advantage of
botanical pesticides is that they have toxicity similar to synthetic
pesticides, but the botanical pesticides can be rapidly decomposed naturally by
oxygen or sunlight, so they are appropriate to be used to support sustainable
organic agriculture.
Experiments
in the utilization of botanical pesticides to control plant pests have been
carried out. One
example application is the use of botanical insecticides from ‘brotowali’ leaf
extract(Tinospora crispa) to control the diamond black caterpillars (Plutella
xylostella) on cabbage plants. In addition, the use of ‘basil’
oil (Ocimum tenuiflorum) has a real impact in population
control of the fruit fly (Bactrocera dorsalis). In addition to pest
control, botanical pesticides are also reported to effectively control plant
diseases.Use of ‘galangal’ (Alpinia galanga) and papaya (Carica
papaya) has a high ability to inhibit the growth of Ceratocystis sp. on PDA and fruits. The combination of ‘betel’
leaf extract (Piper betle) and ‘galangal’ (A. galanga) can
suppress the growth of banana wilt disease caused
by Fusarium oxysporum and / or the Ralstonia solanacearum. The use of ‘galangal’(A.
galanga) extract with a concentration of 5%, can also inhibit the
growth of stem rot disease (F. oxisporum ) on
vanilla seedlings. In
addition, the use of ‘betel’ leaf P. betle in
the field can suppress black rot disease on cocoa pods (cocoa black pod disease).
Key words: botanical pesticides, environmental
sustainability, organic farming
PENDAHULUAN
Peningkatan penduduk dunia
(sekitar 400 kali setahun) dan persediaan bahan pangan telah menjadi topik hangat pembahasan masyarakat dunia.
Pada tahun 1850 penduduk dunia berjumlah 1 milyar jiwa, pada tahun 1999
berjumlah 6 milyar jiwa dan pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 8 milyar
jiwa (Sastrodiharjo, 2003). Peningkatan penduduk dan kebutuhan akan pangan
semakin hari semakin meningkat sedangkan lahan pertanian yang produktif semakin
menurun. Dalam rangka pemecahan masalah tersebut maka pada tahun 1992, UNCED
(United Nations Conference on Environmental and Development) merekomendasikan
konsep Sustainable Development (Djuniadi, 2003). Hasil konferensi
tersebut menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan aspek
sossial, ekonomi, dan ekologi pada tingkat lokal,
regional dan global yang mempunyai tujuan utama meningkatkan produksi pangan
dan ketahanan pangan secara berkesinambungan.
Salah
satu komponen yang berperan dalam menunjang kesuksesan produksi pangan tersebut
adalah pestisida (Untung, 1996). Penggunaan pestisida sintetik
di Indonesia hingga kini dirasakan sangat penting dan menyebabkan
ketergantungan terhadap petani. Petani percaya berdasarkan pengalamannya tanpa
pestisda mereka tidak dapat berproduksi secara maksimal bahkan bisa
mengakibatkan gagal panen. Intensitas pemakaian pestisida sintetik di Indonesia
sangat tinggi mencapai 20.000 ton/tahun dengan nilai Rp. 250 milyar. Pada tahun
2000, pestisida yang terdaftar pada komisi pestisida mencapai 594 merek dagang
(Novizan, 2002). Penggunaan pestisida sintetik yang tinggi tersebut kini
disadari memiliki dampak negatif, diantaranya adalah resistensi hama,
resurgensi, ledakan hama kedua,
matinya musuh alami, residu pada makanan dan pencemaran lingkungan. Menurut WHO
(World Health Organization) paling tidak 20.000 orang meninggal
per tahun akibat keracunan pestisida, sekitar 5.000-10.000 orang pertahun
mengalami dampak fatal seperti kanker, cacat tubuh kemandulan dan penyakit
liver (Novizan, 2002). Selain itu setelah dihapuskannya subsidi pestisida di
Indonesia mengakibatkan harga pestisida yang mahal dan sangat sulit dijangkau
oleh petani. Berdasarkan hal tersebut, perlu sebuah alternatif pengendalian atau komplemennya, yang
bisa dimanfaatkan dari kekayaan lokal dan
dihasilkan secara lokal sehingga
terjangkau oleh petani.
Pestisida
alternatif tersebut dapat diproleh dari senyawa aktif biologis yang terdapat
pada tumbuhan lokal. Secara tradisional hal
tersebut sebenarnya telah dikenal oleh petani sejak lama (Sudiarta and
Suprapta, 2007). Senyawa
biologis tersebut secara umum mudah ditemui, memiliki daya racun rendah
terhadap mamalia, dapat diproduksi dalam skala rumah tangga dan mudah mengalami
biodegradasi sehingga diperkirakan tidak berbahaya bagi lingkungan. Potensi
pestisida botani di Indonesia sangat terbuka lebar, diperkirakan ada sebanyak
20.000 spesies tumbuhan berbunga yang tumbuh di Indonesia, dan diperkirakan
kurang dari 10 % yang diketahui kandungan kimia serta manfaatnya bagi manusia
secara langsung (Suprapta, 2003). Beberapa
pestisida botani telah diteliti dan mampu menekan pertumbuhan hama
maupun penyakit tumbuhan (Suprapta et al.,
2001; Suprapta et al., 2003; Suprapta
et al., 2005a;
Suprapta et al., 2005b). Berdasarkan keunggulan pestisida
botani tersebut, maka sangatlah mungkin untuk terus dikembangkan sehingga
pertanian organik yang berkelanjutan dan kelestarian lingkungan dapat diwujudkan.
ULASAN
1. Sejarah Pestisida Botani
Pestisida botani memiliki sejarah
panjang dan telah menjadi tradisi bangsa-bangsa di dunia untuk melindungi
tanaman dari serangan hama dan penyakit. Bangsa Romawi Kuno telah menggunakan
minyak zaitun sebagai pestisida. Nimba telah banyak dipakai sebagai insektisida
di India dan sekarang India telah menjadi produsen pestisida botani berbahan
aktif mimba. Pestisida botani adalah senyawa organic yang tersusun oleh C, H,
O, N, P, K dan unsur-unsur umum lainnya. Kebanyakan pestisida botani dapat
dicerna oleh organisme, mengalami breakdown oleh panas, oksigen dan
sinar matahari (Suprapta, 2003). Pestisida botani merupakan senyawa yang
dihasilkan sebagai respon pertahanan tumbuhan terhadap gangguan herbivore.
Senyawa tersebut umumnya adalah berupa metabolit sekunder yang memiliki banyak
fungsi, seperti hormon tumbuh (auxin, gibberellins
dan cytokinins), anti jamur, antibiotik dan
bersifat toksik bagi binatang dan serangga. Sifat racun
tersebut diantanya adalah berupa alkaloids dan cyanogenic glycosides, bisa juga
memiliki rasa pahit sehingga bersifat feeding deterrents bagi serangga
(Vickery and Vikery, 1981). Menurut Novizan (2002) fungsi persisida botani
dalam mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), adalah: repellents, yaitu menolak
kehadiran serangga, terutama disebabkan baunya yang menyengat. Feeding deterrent, mencegah
serangga makan tanaman yang telah disemprot, terutama disebabkan rasanya yang
pahit. Mencegah serangga meletakkan telur dan menghentikan proses penetasan
telur. Bersifat racun saraf, mengacaukan
sistem hormone dalam tubuh serangga. Attractant, sebagai penarik
serangga. Sebagai anti jamur (fungisida) dan anti
bakteri (bakterisida).
2. Beberapa
Contoh Pestisida Botani
a.
Rotenon
Rotenon merupakan insektisida yang ditemukan
pada akar tuba (Derris elliptica) yang tersebar
di seluruh Indonesia. Rotenone juga diekstrak dari akar tanaman Lonchocarpus spp. Rotenone murni sangat beracun melebihi
pestisida sintetik dari golongan karbaril dan malathion. Walaupun kandungan racunnya
tinggi namun rotenone sangat mudah terurai dalam hitungan hari. Rotenon lebih
efektif digunakan sebagai racun perut dibandingkan racun kontak. Insektisida tersebut bekerja dengan cara
menghambat respirasi sel, berdampak pada saraf dan otot yang menyebabkan
serangga berhenti makan, sehingga kematian serangga terjadi cukup lama bahkan
beberapa hari (Ling, 2003; Hinson, 2000; Sudiarta and Suprapta,
2006).
b.
Nikotin
Nikotin adalah insiktisida alkaloid
yang diekstrak dari daun dan batang tembakau (Nicotiana tabacum).
Kandungan nikotin terbesar pada ranting dan tulang daun.
Daun kering tembakau mengandung
2-8% nikotin (Nivizan, 2002). Dibandingkan rotenone, pada dosis yang sama
nicotin 30 kali lebih toksik. Daya toksik nikotin tidak dapat melindungi tanaman
dalam jangka waktu lama, karean terurai cepat secara alamiah oleh sinar
matahari. Nikotin merupakan racun saraf
yang bekerja sangat cepat. Aplikasi nikotin sebagai racun kontak dapat
digunakan pada serangga bertubuh lunak seperti ulat, apis, trips, kutu daun dan pengujiannya di laboratorium biasanya menggunakan kecoa Periplaneta
americana
(Grolleau et al. 1996).
c.
Piretrum dan piretrin
Tanaman krisan (Chrysanthemum cinerariaefolium)
merupakan tanaman penghasil bahan aktif piretrum dan peritrin. Tanaman ini bukan
tanaman asli Indonesia, namun kini sudah banyak
dibudidayakan sebagai tanaman hias. Piretrum umumnya mengandung 0.9-1.3%
piretrin. Piretrin merupakan racun saraf yang bekerja
sangat cepat dan mengakibatkan serangga knockdown secara langsung. Namun
demikian serangga akan sadar kembali, karena piretrin dapat diuraikan melalui
metabolisme dalam tubuhnya. Untuk mengatasi hal tersebut, bisaanya produk
komersial ditambahkan PBO (Piperonyl Butoxide) yang berfungsi menghambat metabolisme
sel, sehingga piretrin bekerja maksimal (Godin, et
al. 1965; Qureshi , et al. 2002; Sudiarta and Suprapta, 2006;
Wanyika et al. 2009).
d. Mimba
(Neem)
Mimba
diekstrak dari daun dan biji tanaman
mimba (Azadirachta indica) yang
pertama kali ditemukan di India. Pada tanaman mimba mengandung senyawa yang
bersifat toksik yaitu azadirachtin, meliatriol, nimbin dan salannin. Mimba merupakan insektisida yang sangat
umum digunakan untuk mengendalikan banyak serangga, menurut Sastrodiharjo
(1990) mimba dapat mengendalikan 75 jenis serangga. India dan Afrika telah
menggunakan mimba sebagai insektisida lebih dari 400 tahun. Mimba dapat
mengganggu hormone produksi dan pertumbuhan serangga, sehingga mencegah
serangga mengalami kematangan seksual. Selain itu bau mimba dapat bersifat repellent terhadap serangga.
Rasa mimba yang pahit bersifat sebagai anti feedan bagi serangga, sehingg
serangga kurang menyukai tanaman yang disemprot dengan ekstrak mimba (Mondal, et al. 2007; Qureshi , et al.
2002; Sudiarta and Suprapta, 2006).
3. Peranan dan penerapan
pestisida botani
a. Insektisida
Penggunaan pestisida sintetik yang berlebihan telah banyak diteliti meninbulkan
dampak negatif,
salah satu alternatif
yang potensial digunakan adalah perstisida botani.
Pemanfatan perstisida botani untuk mengendaliakan serangga hama telah banyak
dilakukan. Suprapta et al. (2003) melaporka insektisida botani yang diperoleh dari
ekstrak daun brotowali Tinospora
crispa
mampu menekan aktivitas makan ulat diamond black (Plutella xylostella) di laboratorium dan lapangan pada tanaman kubis. Penerapan
ekstrak daun T. crispa di lapangan pada konsentrasi 0.1 – 1.0% menunjukkan
beda nyata terhadap kepadatan larva P. xylostella. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa, kepadatan larva pada plot yang disemprot dengan ekstrak daun
T. crispa 0.1% adalah 6.8
larval/plant berbeda nyata dengan plot pada konsntrasi 1% (1.6 larval/plant).
Pemanfaatan pestisida botani sebagai pengendali hama juga dilaporkan
oleh Sumiartha et al., (2005). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa, perlakuan minyak selasih (Ocimum tenuiflorum) atau metil eugenol
komersial pada berbagai konsentrasi (20%-100%) memiliki dampak yang nyata
terhadap tangkapan lalat buah (Bactrocera dorsalis
complex). Perlakuan minyak selasih dengan konsentrasi 80% menunjukkan tangkapan
B. dorsalis yang
paling tinggi dibandingkan pada konsentrasi lainnya. Jumlah B. dorsalis pada trap/perangkap
dengan perlakuan minyak selasih dan metal eugenol komersial tidak berbeda
nyata. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa, jumlah tangkapan B. dorsalis paling
rendah pada hari ke-30 setelah perlakuan.
b.
Fungisida
Hasil penelitian menunjukan bahwa
fungisida botani terbukti efektif mengendalikan jamur pathogen pada bebagai
tanaman inang. Suprapta et al., (2001)
melaporkan bahwa, dari 15 ekstrak tanaman yang diuji, 2 diantanya yaitu: umbi lengkuas (Alpinia galanga) dan daun pepaya (Carica papaya) memilili aktivitas paling
tinggi menghambat pertumbuhan Ceratocystis
sp. Daya hambat A. galanga pada
konsentrasi 5% di PDA mencapai 92.5% dan C.
papaya mampu menghambat 73.3%. Daya
hambat A. galanga dan C. papaya juga ditunjukan pada potongan
buah salak yang sebelumnya telah dicelupkan pada ekstrak tanaman tersebut. Selian itu Suprapta et al. (2008) melaporkan penggunaan kombinasi beberapa ekstrak
tanaman dapat menekan penyakit busuk hitam pada buah kakao (cocoa black pod
disease) yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora di lapangan.
SIMPULAN
Penggunaan pestisida botani adalah salah satu
alternatif untuk mengurangi penggunaan pestisda sintetik dalam ranggka
mewujudkan pertanian organik yang berkelanjutan. Hal tersebut secara utama
bertujaun untuk menunjang kebutuhan pangan nasional, dan mengurangi dampak
negatif peenggunaan pestisida sintetik yang berlebihan. Selain itu sasaran
utama penggunaan pestisida botani adalah bisa dimanfaatkan oleh petani secara
mudah dan murah, dengan memanfaatkan sumberdaya alam lokal yang tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
Djuniadi D. 2003. Peranan Industri pada Pengelolaan
Hama Terpadu dalam Pertanian Berkelanjutan. Kongres Perhimpunan Entomologi
Indonesia dan Simposium Entomologi VI 2003. Cipayung. pp. 17-26.
Godin, P. J., J. H. Stevenson,
R. M. Sawicki, 1965. The Insecticidal Activity of Jasmolin II and Its
Isolation from Pyrethrum (Chrysanthemum cinerariaefolium Vis.). Journal
of economic entomology 58 (3): 548-551(4)
Grolleau, F. B. Lapied, S. D. Buckingham, W. T. Mason, and D. B.
Sattelle . 1996. Nicotine increases [Ca2
+ ]i and regulates electrical activity in insect neurosecretory cells (DUM neurons) via an acetylcholine
receptor with ‘mixed’
nicotinic-muscarinic pharmacology. Neuroscience Letters 220: 142–146.
Hinson, D. 2000. Rotenone
characterization and toxicity in aquatic system. University of Idaho Principles
of environmental toxicology. 13 p.
Ling, N. 2003. Rotenone a review of its
toxicity and use for fisheries management. Science for conservation 211, Department
of Conservation P.O. Box 10-420, Wellington, New Zealand. 40 p.
Mondal D., S. Barat, and M. K. Mukhopadhyay. 2007.
Toxicity of neem pesticides on a fresh water loach, Lepidocephalichthys guntea
(Hamilton Buchanan) of Darjeeling district in West Bengal. Journal of Environmental
Biology. 28(1): 119-122.
Novizan. 2002. Membuat & Memanfaatkan Pestisida
Ramah Lingkungan. AgroMedia Pustaka. Jakarta. 94 p.
Qureshi M. S., T. A. Jackson, R. J. Townsend and D. J.
Saville. 2002. Toxicity of Neem and Pyrethrum Extracts to Adult Grass Grub. New
Zealand Plant Protection Society (Inc.) www.nzpps.org Refer to
http://www.nzpps.org/terms_of_use.html. pp. 298-302.
Sudiarta, P. and
D. N.
Suprapta. 2006. Development of Botanical Pesticide to Support Sustainable
Agriculture. Proceeding International
Workshop Ibaraki University Japan, pp. 108-111.
Sudiarta, P.
and D. N.
Suprapta. 2007. Present Status of Traditional Farming
System of Local Rice in Bali, International Student Workshop 2007. Ibaraki University Japan.
Sastrodihardjo S. 1990. Mengembangkan Produk Alami,
Kususnya dari Mimba (Azadiracta indica) untuk Pestisida. Seminar
Pengelolaan Serangga Hama dan Tungau dengan Sumber Hayati. Bandung. pp.1-6.
Sumiartha
K., W. Susila and P. Sudiarta. 2005. Effect of
“Selasih” (Ocimum tenuiflorum)
Plant Oil on Fruit Flies (Bactrocera
dorsalis Complex) in Long Chili. Journal of ISSAAS 11(3)(Sppl.): 150-155.
Suprapta,
D. N., M. Sudana and N. Arya. 2001. Application of Plant Extracts to Control Ceratocystis
Fruit Rot in Snake Fruit (Salacca
edulis). Journal of ISSAAS 7: 10-16.
Suprapta,
D. N., I W. Suanda, N. Arya and K. Ohsawa. 2003.
Insecticidal Activity of Tinospora crispa
Leaf Extract Against Diamond Back Moth in Cabbage. Journal of ISSAAS 9(2): 18-24.
Suprapta, D. N. 2003. The Use of Local Plant as
Botanical Pesticide to Increase Selfness of Farmer. The Speech Inauguration as
Professor in Department of Plant Insects and Diseases, Faculty of Agriculture,
Udayana University. 33 p.
Suprapta,
D. N., M. Sudarma, N. Arya and K. Ohsawa. 2005a. Plant Extracts to Control Wild
Disease in Banana Seedlings. Journal of ISSAAS 11(2): 84-90.
Suprapta,
D. N., M. Sudarma and K. Ohsawa. 2005b. Fungicidal Activity of Alpinia galanga Extract Against Fusarium oxysporum f.sp. vanillae, The Casual Agent of Stem Rot
Disease on Vanilla. Journal of ISSAAS 11(3)(Sppl.): 150-155.
Suprapta, D. N. M. Sudana, G. N.
Alit Susanta Wirya and P. Sudiarta. 2008. Plant Extracts to Control Cocoa Black Pod Disease Caused by
Phytophthora palmivora. J. ISSAAS. 13 (3) Suppl: 21-31.
Untung, K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama
Terpadu. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 273 p.
Vickery
M. L. and B. Vickery. 1981. Secondary Plant Metabolism. University Park Press.
Baltimore. 328 p.
Wanyika H. N., P.G. Kareru,
J.M. Keriko, A.N. Gachanja, G.M. Kenji and N.J Mukiira. 2009. Contact toxicity
of some fixed plant oils and stabilized natural pyrethrum extracts against
adult maize weevils (Sitophilus zeamais Motschulsky). African Journal of
Pharmacy and Pharmacology 3(2):
066-069.
posted by Jurnal Online Uniflor @ 18.57,
0 Comments:
Posting Komentar