Agrica, Vol. 1 No. 1 Juni 2010
Rabu, 16 Mei 2012
AGRICA, 3 (1) : 49 – 62 (2010)
ISSN : 1979-0368
PENGARUH LAMA PERENDAMAN EKSTRAK KULIT BATANG
“KAJU BA’I” (Aglaia tomentosa) TERHADAP EFEKTIVITAS INSEKTISIDA
NABATI PADA HAMA GUDANG KACANG HIJAU Callosobruschus sp (COLEOPTERA : BRUCHIDAE).
“KAJU BA’I” (Aglaia tomentosa) TERHADAP EFEKTIVITAS INSEKTISIDA
NABATI PADA HAMA GUDANG KACANG HIJAU Callosobruschus sp (COLEOPTERA : BRUCHIDAE).
Mardiah
Sarah, Sri Wahyuni, Willybrordus lanamana
Program Studi Agroteknologi,
Fakultas Pertanian, Universitas Flores
Diah_marsyah@yahoo.co.id
ABSTRACT
Effect of soaked bark of "Kaju Ba'i" (Aglaia tomentosa) as an insecticide and its effectiveness on the Green Bean Warehouse Pest Callosobruschus sp (Coleoptera: BRUCHIDAE).
This
study
aims to determine the influence of soaking bark extract "Kaju
Ba'i" (Aglaia tomentosa) and its
effectiveness as a botanical insecticide of the green beans warehouse pest Callosobruschus spp.
The experiment was conducted at the Laboratory in the Faculty of Agriculture
University of Flores, Ende, from September to October 2010. The
research used a completely randomized design with 5 treatments
of K0 (control),
K1 (bark extract
Kaju Ba'i immersed
for one day), K2 (bark extract
Kaju Ba'i immersed
for two days), K3 (Extract Kaju
bark Ba'i immersed
for three days),
K4 (bark extract
Kaju Ba'i immersed
for four days)
each treatment was
repeated 10 times. Observed variables included mortality, contact nerve toxins and
anti-oviposition activity.
The results showed that the treatment
K4 possesses
the highest level of effectiveness, and cause mortality as contact poison (99%), nerve
toxins (2.7%) and
anti-oviposition (75%).
Key words: Duration of immersion, Kaju Ba'i,
Callosobruschus
sp,
PENDAHULUAN
Kacang
hijau merupakan tanaman pangan di daerah tropis yang telah lama ditanam di
Indonesia dan berpotensi untuk terus dikembangkan. Tingkat produksi tanaman kacang hijau dalam
beberapa tahun terakhir umumnya kurang stabil, pada tahun 2004 total produksi sebanyak
314.565 ton (Pusat data dan Informasi Pertanian, 2004) sedangkan produksi pada
tahun 2008 sebesar 208.059 ton (BPS, 2008).
Penurunan tingkat produksi kacang hijau salah satunya disebabkan oleh
serangan hama dan penyakit. Kerusakan yang ditimbulkan tidak terbatas
pada tanaman yang masih ada di lapang, tetapi juga dapat merusak biji yang ada
di penyimpanan. Salah satu hama pasca
panen yang sering menimbulkan kerusakan pada kacang hijau adalah Callosobruchus sp. Pengendalian umumnya dilakukan dengan
penggunaan bahan kimia. Namun cara
tersebut menyebabkan pangan yang tersimpan terkontaminasi dengan residu bahan
kimia berbahaya. Oleh sebab itu perlu
pengadaan insektisida alternatif yang lebih aman. Salah satu cara dengan memanfaatkan ekstrak
tumbuhan yang aman dan ramah lingkungan (Hermawati, 2004).
Insektisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau
majemuk yang berasal dari tumbuhan dan dapat digunakan untuk mengendalikan organisme
pengganggu tumbuhan (OPT). Insektisida nabati berfungsi sebagai
penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), racun kontak, racun perut dan
aktivitas lainnya.
Indonesia
sebagai daerah tropis memiliki flora
yang beragam dan terdapat banyak jenis tumbuhan yang dapat
dimanfaatkan untuk pengendalian hama.
Penelitian tentang famili tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida nabati
dari penjuru dunia telah banyak dilaporkan dan lebih dari 1500 jenis tumbuhan
dapat berpengaruh buruk terhadap serangga.
Laporan dari berbagai propinsi di Indonesia menyebutkan lebih dari 40
jenis tumbuhan berpotensi sebagai pestisida nabati (Direktorat BPTP &
Ditjenbun, 1994). Di Indonesia terdapat
50 famili tumbuhan penghasil racun. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan
sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae,
Piperaceae dan Rutaceae (Arnason et. al., 1993), namun tidak menutup
kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan lain yang berpotensi sebagai
insektisida nabati.
Nimba (Azadirachta
indica A. Juss) merupakan tanaman dari famili Meliaceae dan tersebar di
daratan India. Di Indonesia tanaman tersebut
banyak ditemukan di sekitar Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ekstrak biji tanaman mimba mengandung senyawa
aktif utama Azadiraktin yang memiliki aktivitas insektisida, antifeedant dan
penghambat perkembangan serangga (Kardinan, 2001) serta berpengaruh terhadap
reproduksi berbagai serangga.
Insektisida komersial dengan
formulasi dasar ekstrak nimba (neem) telah dipasarkan di Amerika Serikat dan
India. Selain bersifat sebagai
insektisida, jenis-jenis tumbuhan tertentu juga memiliki sifat sebagai
fungisida, virusida, nematisida, bakterisida, maupun rodentisida.
Tanaman Kaju Ba’i (Aglaia tomentosa) merupakan salah satu tanaman dari famili
Meliaceae yang diduga berpotensi sebagai pestisida nabati. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa
tanaman dari genus aglaia mempunyai senyawa aktif yang bersifat insektisida. Novizan (2002) berhasil mengidentifikasi
senyawa aktif yang bersifat insektisida dari ranting Aglaia odorata atau yang
lebih dikenal pacar cina sebagai rokaglamida. Senyawa aktif utama yang bersifat insektisida
ini termasuk dalam golongan benzofuran. Pada daun A. odorata selain rokaglamida juga ditemukan dan tiga senyawa
turunannya, yaitu desmetilrokaglamida, metil rokaglat dan rokaglaol.
Di
Kabupaten Ende tanaman “Kaju Ba’i” (Aglaia
tomentosa) dapat ditemukan di daerah Detusoko dan Tenda. Dari hasil wawancara tanaman ini pernah digunakan
sebagai insektisida nabati oleh petani di kawasan Kelimutu. Sampai saat ini belum ada informasi
tentang efektivitas tanaman ”Kaju Ba’i”
khususnya mengenai lama perendaman. Oleh
karena itu penelitian tentang “Pengaruh lama perendaman ekstrak kulit batang “Kaju Ba’i” (Aglaia tomentosa) terhadap efektivitas insektisida nabati pada hama
gudang kacang hijau Callosobrunchus sp
(Coleoptera : Bruchidae)” dianggap penting dan perlu dilakukan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan selama
6 bulan, di Laboratorium Pertanian Universitas Flores. Bahan yang dibutuhkan
adalah kacang hijau, Callosobruchus
sp, aquades, metanol, ekstrak kasar Kaju
Ba’i. Alat yang dibutuhkan adalah gelas ukur, cawan Petri, pipet, toples
pembiakan, mikroskop, pipet, pisau, blender, kain kasa, timbangan, aspirator,
rotary evaporator, kertas HVS, penggaris, pensil, bolpoint, spidol, labu
erlemeyer, saringan ukuran 100 mesh, kertas saring wathman, kertas label dan
kamera.
Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Lengkap dengan empat perlakuan ditambah satu kontrol sehingga
menjadi 5 perlakuan, setiap perlakuan masing-masing diulang 10
kali sehingga terdapat 50 unit percobaan.
Adapun
perlakuan yang diuji adalah:
K0 =
Kontrol (aquades), K1 = Ekstrak kulit batang Kaju Ba’i yang direndam selama satu hari. K2 = Ekstrak kulit batang Kaju
Ba’i yang direndam selama dua hari. K3
= Ekstrak kulit batang Kaju Ba’i yang
direndam selama tiga hari. K4 =
Ekstrak kulit batang Kaju Ba’i yang
direndam selama empat hari
Pelaksanaan penelitian meliputi langkah – langkah
sebagai berikut :
1.
Ekstraksi kulit batang Kaju Bai’i
(Aglaia tomentosa)
Kulit batang Kaju Ba’i yang diambil dibersihkan lalu dicacah dan dikering
anginkan selama 2-3 hari, lalu diblender. Hasil blenderan diayak menggunakan
saringan ukuran 100 mesh, kemudian direndam dalam menggunakan metanol dengan
rasio 1:7 (100 gram dalam 700 ml methanol) untuk
mendapatkan
1000 ml rendaman dan direndam selama 1,2,3 dan
4 hari. Hasil
rendaman disaring dengan menggunakan kertas saring wathman, bahan aktif dari
metanol dilakukan dengan menggunakan rotary evaporator. Ekstrak Kaju
Ba’i kemudian diencerkan meggunakan aquades dengan rasio 1:1, dan siap untuk
diaplikasikan.
2.
Pembiakan
Callosobruchus sp
Pembiakan
dilakukan dengan cara memasukkan imago Callosobruschus
sp (tetua) yang diambil dari kacang hijau terinfeksi ke dalam toples berisi
kacang hijau yang belum terinfeksi Callosobruschus
sp selama 3 hari untuk mendapatkan turunan pertama (F1). Setelah F1 didapat, imago Callosobruschus sp (F1) dimasukkan
kembali ke dalam toples berisi kacang hijau yang belum terinfeksi selama 3 hari
untuk mendapatkan turunan kedua (F2). Kegiatan ini dilakukan berulang – ulang
hingga persediaan serangga terpenuhi.
3.
Aplikasi
racun kontak
Aplikasi racun kontak dilakukan
dengan cara menyemprotkan larutan ekstrak kasar secara merata keseluruh
permukaan cawan Petri, kemudian diinfestasi dengan 20 ekor imago Callosobruchus sp. Jumlah mortalitas diamati setiap 3 jam selama 2 hari.
4.
Aplikasi
racun syaraf, dan antioviposisi
Kacang
hijau direndam dalam larutan ekstrak kasar selama 15 menit lalu diletakkan
dalam toples kemudian dimasukkan 20 ekor imago Callosobruchus sp kedalam toples, pengamatan dilakukan setiap 3 jam
selama 3 hari.
Adapun yang menjadi variabel pengamatan adalah :
1.
Mortalitas racun kontak (%)
Racun kontak adalah racun yang
mengakibatkan kematian pada serangga apabila bersinggungan langsung dengan
insektisida tersebut.
Variabel pengamatan mortalitas
serangga pada aktivitas racun kontak yang ditentukan dalam presentase menggunakan
rumus:
Keterangan
:
MS : Mortalitas
Msp : Mortalitas setelah perlakuan
Pla : Populasi awal
2.
Mortalitas racun syaraf (%)
Racun syaraf adalah
insektisida masuk melalui trachea serangga dalam bentuk partikel mikro. Serangga
akan mati bila menghirup partikel mikro insektisida dalam jumlah yang cukup.
Mortalitas serangga pada aktivitas racun syaraf
ditentukan dengan rumus
Keterangan
:
PM
: Peningkatan mortalitas
Msp : Mortalitas setelah perlakuan
Pla : Populasi
awal
3.
Penurunan aktivitas peletakkan telur
atau antioviposisi (%).
Aktivitas anti ovoposisi merupakan aktivitas tidak
meletakkan telur yang diketahui dari ada dan banyaknya jumlah telur pada kacang
hijau perlakuan. Menurut Prijono (1988),
dapat lihat dari penurunan jumlah telur serangga karena pengaruh perlakuan,
yang dinyatakan dalam persentase dan ditentukan dengan rumus :
Keterangan :
PT : Penurunan
aktivitas bertelur
Jtp : Jumlah telur pada kacang hijau perlakuan
Jtk : Jumlah telur pada kacang hijau kontrol
4.
Analisis
Data
Data diolah dengan menggunakan prosedur
rancangan acak lengkap (RAL) dan dianalisis menggunakan uji F taraf 5%, jika
antar perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata maka analisis akan
dilanjutkan dengan uji Duncan’s. untuk melihat keeratan
hubungan antara lama perendaman dan tingkat efektivitas dilakukan uji regresi
(Gomez,1987).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Mortalitas
Racun Kontak
Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa waktu perendaman ekstrak kulit batang “Kaju Ba’i” terhadap
mortalitas serangga Callosobruschus
sp pada racun kontak berpengaruh sangat nyata. Hal ini dapat dilihat pada
pengamatan 3 jam pertama sampai 3 jam ke – 16 (Tabel 1)
Tabel 1 Mortalitas Callosobruschus sp pada tiap perlakuan perendaman akibat
aktivitas racun kontak
Perlakuan
|
n
|
Mortalitas (%)
|
K0
|
10
|
4de
|
K1
|
10
|
25d
|
K2
|
10
|
42c
|
K3
|
10
|
68b
|
K4
|
10
|
99a
|
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang
sama pada kolom yang sama, berarti tidak
berbeda nyata pada uji duncan’s taraf 5%. Data ditransformasi
dengan X+0,5
Hasil analisis statistik dari
tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan K4 dengan perendaman 4 hari menyebabkan
mortalitas Callosobruschus tertinggi sebanyak 99%. Hal tersebut diakibatkan adanya pengaruh
lama perendaman yang dapat meningkatkan jumlah bahan aktif “Kaju Ba’i” sehingga
menyebabkan kecepatan senyawa yang berkerja pada Callosobruschus sp berbeda.
Perlakuan K4 memiliki jumlah senyawa yang lebih banyak dibandingkan
perlakuan lain sehingga lebih efektif meningkatkan mortalitas serangga. Semakin tinggi jumlah bahan aktif suatu
senyawa, maka racun yang mengenai kulit serangga akan bekerja lebih efektif,
sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan menyebabkan kematian serangga lebih
banyak (Sutoyo, 1997). Ditinjau dari toksisitas, suatu senyawa dikatakan
efektif bila mampu mematikan 80% hewan uji (Murfon dan Norton 1984 dalam Budiarto, 2000), oleh sebab itu perlakuan K4 dianggap efektif
karena mampu meningkatkan mortalitas di atas
80%.
Mortalitas Callosobruschus sp perlakuan
K3 (68%) K2 (42%) dan K1 (25%) masing-masing berbeda
sangat nyata tetapi tidak mengakibatkan mortalitas diatas 80% sehingga ketiga
perlakuan tersebut dianggap belum efektif sebagai pestisida nabati. Penurunan tingkat mortalitas serangga
disebabkan oleh jumlah bahan aktif yang mengenai tubuh serangga lebih sedikit
sehingga daya kerja bahan aktif lebih lambat.
Jumlah bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak pada
setiap perlakuan dipengaruhi oleh lama perendaman. Semakin lama tingkat perendaman,
maka semakin meningkatkan keefektifitasan bahan aktif
sehingga mortalitas
Callosobruschus sp akan
meningkat.
Mortalitas serangga paling rendah
pada perlakuan K0 sebanyak 4% dan mortalitas Callosobruschus sp terjadi pada hari
kedua.
Uji pra penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa serangga Callosobruschus sp yang diberi perlakuan tanpa makan dan dimasukkan ke
dalam cawan Petri mengalami
mortalitas pada hari kedua, keadaan yang demikian
menandakan bahwa mortalitas yang terjadi tidak disebabkan
oleh perlakuan tetapi akibat menurunnya daya kesintasan.
Hubungan antara lama perendaman
dan peningkatan mortalitas serangga Callosobruschus
sp akibat aktivitas racun kontak juga diperlihatkan dengan persamaan
regresi Y= 1,0948 + 0,5434 X berikut:
Gambar 1 Persamaan regresi antara lama perendaman Kaju Ba’i dan mortalitas serangga Callosobrushus sp pada aktivitas racun
kontak
Dari grafik di
atas dapat dilihat hubungan antara lama perendaman dan mortalitas serangga,
dimana semakin lama perendaman maka semakin tinggi mortalitas serangga Callosobruschus sp. Lama perendaman
meningkatkan mortalitas serangga sebanyak 0,5434% pada setiap taraf perendaman,
sedangkan mortalitas serangga tanpa perlakuan perendaman sebanyak 1,0948%.
Peningkatan mortalitas serangga Callosobruschus
sp pada racun kontak 99% dipengaruhi
oleh lama perendaman.
Mortalitas Callosobruschus sp disebabkan oleh jenis kandungan bahan aktif “Kaju Ba’i” yang mengandung
senyawa alkaloid, dan saponin (Praptiwi, 2005).
Senyawa alkaloid adalah bahan organik yang mengandung nitrogen sebagai bahan dari
sistem heterosiklik. Alkaloid bersifat basa yang mengandung satu atau lebih
atom nitrogen, biasanya sebagai gabungan dari sistem siklik dan pada umumnya
mengandung oksigen. Senyawa alkaloid
banyak terkandung dalam akar, biji, kayu maupun daun dari tumbuhan. Peran
alkaloid bagi tumbuhan sebagai zat racun yang melindungi tumbuhan dari gangguan
serangga. Alkaloid bersifat basa, larut
dalam air dan diketahui dapat menghambat sintesis protein dan merusak fungsi
sel (Tobing, 1989). Dari sifatnya
tersebut, dapat diketahui bahwa alkaloid lebih cepat larut, sehingga bahan
aktif yang masuk kedalam tubuh serangga melalui kutikula, dan trakhea dapat
langsung merusak fungsi sel serangga sehingga menyebabkan mortalitas.
Senyawa saponin bersifat sebagai racun dan
antimikroba (jamur, bakteri, virus), bersifat antioksidan dan
antikarsinogenik. Bahan yang bersifat
sebagai anti bakteri dapat menganggu proses fisiologis dan menghambat
terbentuknya komponen sel seperti sintesis dinding sel, membrane sitoplasma,
sintesis protein dan sintesis asam nukleat (Soebandrio, 1995 dalam Ariati,
2008). Adanya kandungan saponin ditandai dengan pembentukan larutan koloid
dalam air aglikonnya. Saponin ini memiliki berat molekul yang besar, larut
dalam air, alkohol dan etanol. Saponin merupakan
senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi
berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Robinson,
1995).
Saponin yang memiliki
aktivias racun kontak langsung bekerja ketika terjadi kontak antara serangga.
Senyawa tersebut masuk melalui kutikula, atau trakhea atau langsung mengenai
mulut serangga dan menembus integumen. Kneblock (1989) menyatakan bahan aktif
yang memiliki sifat daya larut lebih tinggi dalam air akan mudah menembus
lapisan fosfolipid membran sel sehingga lebih cepat menganggu fungsi fisiologis
yang pada akhirnya sel akan mengalami kematian.
Saponin memiliki sifat yang larut dalam air, sehingga bahan aktif lebih
cepat larut. Kemampuannya membentuk busa sangat membantu penyerapan bahan aktif
ketika terjadi kontak dengan serangga, sehingga bahan aktif lebih cepat masuk
ke dalam tubuh serangga, menghemolisis sel darah, merusak fungsi sel dan dapat
menyebabkan mortalitas pada serangga.
Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa
tanaman mahoni yang mengandung senyawa saponin dan flavonoid berfungsi sebagai
larvasida. Senyawa – senyawa tersebut juga mampu menghambat pertumbuhan larva,
yaitu hormon otak, hormon edikson dan hormon pertumbuhan. Tidak berkembangnya
hormon tersebut dapat menghambat pertumbuhan larva (Karimah, 2006).
Penelitian lain yang dilakukan oleh
Aminah, dkk (2001) menyebutkan bahwa saponin dapat menurunkan tegangan
permukaan selaput mukosa traktus digestivus
larva menjadi korosif. Ukuran larva yang mati lebih panjang sekitar 1-2 mm
karena terjadi relaksasi urat daging pada larva yang mendapat makan tambahan
hormon steroid. Pupa tidak terpengaruh oleh saponin karena mempunyai struktur
dinding tubuh yang terdiri dari kutikula yang keras sehingga senyawa saponin
tidak dapat menembus dinding pupa. Callosobruschus
sp merupakan serangga coleoptera yang memiliki struktur dinding tubuh yang
keras dan tebal, namun bagian abdomen serangga ini memiliki struktur yang lebih
lunak. Abdomen merupakan salah satu bagian terpenting dari tubuh serangga,
dimana sistem-sistem metabolisme dalam tubuh serangga terjadi pada daerah
abdomen. Jika bagian abdomen serangga terganggu maka sistem metabolisme
serangga juga terganggu (Natawigena, 1990). Struktur abdomen yang lunak
tersebut dapat memudahkan bahan aktif saponin masuk kedalam tubuh serangga dan
menyebabkan korosif sehingga menyebabkan terganggunya sistem-sistem metabolisme
dan mengakibatkan mortalitas pada serangga Callosobruschus
sp.
4.1 Mortalitas Racun Syaraf
Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa waktu perendaman ekstrak kulit batang “Kaju Ba’i” terhadap
mortalitas serangga Callosobruschus
sp pada racun syaraf memperlihatkan pengaruh yang nyata. Hal ini dapat dilihat
pada pengamatan hari pertama sampai hari ke 4 (Tabel 2)
Tabel 2 Mortalitas Callosobruschus sp pada berbagai perlakuan untuk racun syaraf
Perlakuan
|
n
|
Mortalitas (%)
|
K0
|
10
|
0,3d
|
K1
|
10
|
2,1bc
|
K2
|
10
|
2,2bc
|
K3
|
10
|
2,3ab
|
K4
|
10
|
2,7a
|
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang
sama pada kolom yang sama, berarti tidak
berbeda nyata pada uji Duncan’s taraf 5%. Data ditransformasi
dengan X+0,5
Hasil analisis
statistik di atas menunjukkan bahwa perlakuan K4 dengan perendaman 4 hari
menyebabkan mortalitas tertinggi sebanyak 2,7%. Hal tersebut diakibatkan oleh
jumlah bahan aktif perlakuan K4 lebih banyak sehingga jumlah partikel mikro
insektisida yang terhirup lebih banyak dan menyebabkan terjadinya gangguan
sistem syaraf. Gangguan
yang terjadi mengakibatkan impul saraf tidak dapat berjalan
secara normal sehingga serangga tidak mampu merespon
rangsangan. Partikel mikro insektisida yang masuk melalui saluran
pernapasan akan
berikatan dengan enzim dalam darah yang berfungsi mengatur bekerjanya saraf,
yaitu kholonesterase. Apabila kholonesterase terikat, maka enzim tersebut tidak
dapat melaksanakan tugasnya sehingga syaraf terus-menerus mengirimkan perintah
kepada otot-otot tertentu. Dalam keadaan demikian otot-otot tersebut senantiasa
bergerak tanpa dapat dikendalikan, kejang-kejang
dan mengakibatkan mortalitas (Anonim, 2010)
Perlakuan K3, K2
dan K1 meningkatkan mortalitas serangga berturut-turut lebih rendah. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan partikel mikro yang terhirup oleh serangga sehingga tingkat
gangguan syaraf serangga berbeda. Jumlah pertikel mikro dipengaruhi oleh jumlah
bahan aktif, semakin lama perendaman maka semakin banyak jumlah bahan aktifnya.
Mortalitas
serangga paling rendah pada perlakuan K0 sebanyak 0,3% dan terjadi pada hari
ketiga. Uji pra penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa serangga Callosobruschus sp yang diberi perlakuan
tanpa makan dan dimasukkan dalam toples mengalami mortalitas pada hari ketiga.
Hal tersebut menandakan bahwa mortalitas yang terjadi tidak disebabkan oleh
perlakuan tetapi akibat menurunnya daya kesintasan.
Ditinjau dari toksisitas, suatu
senyawa dikatakan efektif bila mampu mematikan 80% hewan uji (Murfon dan Norton
1984 dalam Budiarto, 2000). Dari 5 perlakuan yang diuji tingkat mortalitas tidak mencapai 80%,
sehingga tidak efektif untuk diaplikasikan sebagai racun syaraf.
Hubungan antara lama perendaman
dan peningkatan mortalitas serangga Callosobrushus sp diperlihatkan dengan
persamaan regresi Y= 1,0362 + 0,1630 X
berikut:
Gambar 2 Persamaan regresi antara lama perendaman Kaju Ba’i dan mortalitas serangga callosobrushus sp pada aktivitas racun
syaraf
Dari grafik di
atas dapat dilihat hubungan antara lama perendaman dan mortalitas serangga,
dimana semakin lama perendaman maka semakin tinggi mortalitas serangga Callosobruschus sp. Lama perendaman
meningkatkan mortalitas serangga sebanyak 0,1630% pada setiap taraf perendaman,
sedangkan mortalitas serangga tanpa perlakuan perendaman sebanyak 1,06232%.
Peningkatan mortalitas serangga Callosobruschus
sp pada racun syaraf 60% dipengaruhi
oleh lama perendaman.
Peningkatan
mortalitas yang tidak signifikan untuk masing-masing perlakuan dipengaruhi oleh
sistem kerja syaraf serangga Callosobruschus
sp. Ekstrak “Kaju Ba’i” memiliki aroma yang sangat menyengat, namun tidak
terlalu mempengaruhi sistem syaraf serangga Callosobruschus
sp. Pada dasarnya senyawa alkaloid,
triterpenod dan glokosida flovoroid memiliki fungsi yaitu mempengaruhi fungsi
syaraf dengan menghambat enzim kolinesterase, sehingga akan terjadi gangguan
transmisi rangsang yang menyebabkan menurunnya koordinasi otot, konvuli dan
kematian bagi larva yang berkembang menjadi serangga dewasa (Endah dan Heri,
2000). Namun hal ini tidak berpengaruh pada serangga dewasa karena sistem
susunan syaraf pusat serangga terdiri dari suatu rangkaian yang disebut
ganglion yang dihubungkan oleh sepasang saraf netral. Ganglion merupakan suatu
massa jaringan syaraf yang terdapat secara berpasangan pada setiap segmen yaitu
pada daerah mata, antenna dan labrum (Natawigena, 1990).
Ekstrak “Kaju ba’i” memiliki aroma yang menyegat. Aroma tersebut terdeteksi
oleh serangga Callosobruschus sp
melalui organ penerima rangsang, namun tidak mempengaruhi kunjungan serangga
tersebut terhadap kacang hijau yang diberi perlakuan. Hal ini mungkin
dipengaruhi oleh aroma yang terdeksi oleh jaringan syaraf serangga dianggap
berbahaya dan menggangu sistem transmisi syaraf, sehingga serangga Callosobruschus sp mengatur sistem kerja syaraf lebih intens untuk
menutup jalan masuknya aroma bahan aktif
agar tidak menganggu sistem kerja syaraf melalui ganglion. Keadaan tersebut
menyebabkan sistem syaraf akan stabil dan serangga Callosobruschus sp tetap mengunjungi kacang hijau yang telah diberi
perlakuan untuk melakukan aktivitas pengenalan habitat dan peletakkan telur.
Faktor lain yang mempengaruhi hal
tersebut berhubungan dengan tipe sistem pernapasan dan sirkulasi serangga yang
tidak mengalami gangguan jika salah satu sistemnya terganggu, sebab sistem
syaraf serangga tidak sentralis seperti hewan vertebrata, melainkan menggunakan
simpul-simpul saraf yang disebut ganglion. Tiap ganglion mengendalikan organ di
dekatnya, apabila kepala serangga terputus, hanya fungsi-fungsi organ di kepala
saja yang mati, sedangkan fungsi lain seperti pergerakan, pencernaan, dan
pernapasan masih dapat berjalan (Jumar, 2000).
2.
Penurunan
Aktivitas Peletakkan Telur
Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa waktu perendaman ekstrak kulit batang “Kaju Ba’i” terhadap
penurunan aktivitas bertelur serangga Callosobruschus
sp pada aktivitas anti oviposisi memperlihatkan pengaruh yang sangat nyata.
Data tersebut disajikan pada tabel 3
Tabel 3 Penurunan aktivitas peletakkan telur Callosobruschus sp pada tiap perlakuan perendaman
Perlakuan
|
N
|
Penurunan aktivitas bertelur (%)
|
K0
|
10
|
0a
|
K1
|
10
|
45b
|
K2
|
10
|
57c
|
K3
|
10
|
66d
|
K4
|
10
|
75e
|
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang
sama pada kolom yang sama, berarti tidak
berbeda nyata pada uji Duncan’s taraf 5%. Data ditarsformasi
dengan X+0,5
Hasil analisis statistik dari tabel 3 di atas memperlihatkan
bahwa perlakuan K4 dengan perendaman 4 hari lebih efektif menurunkan aktivitas
bertelur Callosobruschus sp sebanyak
75 %, K3 (66%), K2 (57%), K1 (45%)
sedangkan untuk K0 tidak menurunkan aktivitas bertelur Callosobruschus sp. Hal ini terjadi karena pengaruh senyawa aktif
yang terkandung pada tanaman “Kaju
Ba’i” dan perbedaan jumlah bahan
aktif tanaman akibat lama perendaman.
Perlakuan K4 dengan perendaman 4 hari memiliki jumlah bahan aktif yang
lebih banyak sehingga pada saat kontak dan pemeriksaan serangga Callosobruschus
sp mendeteksi adanya toksik yang menghambat aktivitas pemeriksaan inang
sehingga aktivitas peletakkan telur tidak
dapat dilakukan.
Serangga memiliki perilaku
pengenalan habitat dan pemeriksaan inang untuk bertelur. Pengenalan habitat
dipengaruhi oleh rangsangan kimia dan fisik. Rangsangan kimia berasal senyawa –
senyawa padat atau cair yang berada sekitar inang, sedangkan untuk rangsangan
fisik terjadi pada saat kontak serangga dan inang (Waseloh, 1981). Sedangkan
proses pemeriksaan inang juga dilakukan setelah terjadi kontak, dimana sebelum
bertelur serangga akan memeriksa inangnya, jika inang tidak cocok atau dianggap
berbahaya, maka serangga akan mencari inang yang baru untuk meletakkan
telurnya. Proses tersebut dibagi dalam empat fase yaitu (a) kontak dan
pemeriksaan, (b) penusukan dengan ovipositor, (c) pemasukan ovipositor dan, (d)
peletakkan telur. Keempat fase tersebut harus lengkap dan berurutan bila ada
hambatan pada salah satu fase, proses penerimaan inang dimulai lagi dari awal.
Penerimaan inang dipengaruhi oleh rangsangan fisik yang berupa ukuran, bentuk
atau tekstur permukaan, warna, dan kandungan air (Arthur, 1981 dalam Wahyuni, 2006).
Serangga Callosobruschus sp tidak melakukan peletakkan telur karena pada
saat pengenalan habitat dan pemeriksaan inang Callosobruschus sp telah mendeteksi adanya kandungan toksik pada
kacang hijau perlakuan, sehingga proses penerimaan inang terhambat. Serangga Callosobruschus sp akan mencari inang alternatif lain untuk
meletakkan telur yaitu pada dinding toples perlakuan. Proses pengenalan habitat
dan pemeriksaan inang akan terus berlangsung, bila inang telah dianggap sesuai
maka proses peletakkan telur akan
dilakukan.
Perlakuan K3, K2 dan K1 menurunkan
aktivitas peletakkan telur secara berturut-turut lebih rendah. Hal ini
dipengaruhi oleh jumlah bahan aktif yang berkurang pada setiap perendaman
sehingga menurunkan daya kerja toksik. Berkurangnya daya kerja toksik
menyebabkan Callosobruschus sp
meletakkan telur karena inang dianggap sesuai.
Perlakuan K0 tidak menurunkan aktivitas
peletakkan telur. Hal ini disebabkan karena aquades yang diaplikasikan tidak mengandung bahan aktif yang bersifat toksik sehingga
pengenalan habitat dan pemeriksaan inang berlangsung dengan baik dan proses
peletakkan telur dapat dilakukan.
Hubungan antara lama perendaman
dan penurunan aktivitas peletakkan telur
serangga Callosobrushus
sp diperlihatkan dengan persamaan regresi Y
= 2,9978 - 0,2793X berikut:
Gambar 3 Persamaan regresi antara lama perendaman Kaju Ba’i dan aktivitas bertelur
serangga callosobrushus sp
Dari grafik di
atas dapat dilihat hubungan antara lama perendaman dan mortalitas serangga,
dimana semakin lama perendaman maka semakin menurun aktivitas peletakkan telur
serangga Callosobruschus sp. Lama
perendaman menurunkan aktivitas peletakkan telur serangga sebanyak 0,2793% pada
setiap taraf perendaman, sedangkan aktivitas bertelur serangga tanpa perlakuan
perendaman sebanyak 2,9978%. Penurunan aktivitas telur serangga Callosobruschus sp pada aktivitas anti
oviposisi 99% dipengaruhi oleh lama
perendaman.
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa
ekstrak dari biji Aglaia harmsiana memiliki kandungan bahan
aktif alkaloid yang sama dengan “Kaju
Ba’i” berpengaruh terhadap oviposisi
dan reproduksi serangga Crocidolomia binotalis yang menyerang kubis (Kardinan, 2001).
Senyawa alkaloid dapat menekan sekresi
hormon reproduksi yaitu estrogen dan androgen yang menunjukkan adanya kemampuan
mendorong efek anti fertilitas (Winarno dkk, 1997). Ekawati (2008) menyebutkan
bahwa pemberian ekstrak dan serbuk tanaman Syzygium aromaticum dan Vetiveria
zizanioides yang mengandung senyawa alkaloid dan sterol yang
dapat menghambat aktivitas anti oviposisi Sitophilus zeamais hingga
100%.
Pengamatan aktivitas anti
oviposisi dimana pada tiga jam pertama dan kedua Callosobruschus sp melakukan pengenalan habitat dan mencari inang
untuk bertelur namun inang yang ditemukan tidak cocok, sehingga Callosobruschus sp mencari inang
alternatif untuk meletakkan telur. Hal tersebut dipengaruhi oleh kandungan
senyawa alkaloid dan saponin yang memiliki efek toksik, sehingga serangga Callosobruschus sp tidak meletakkan
telurnya pada kacang hijau perlakuan. Telur diletakkan pada dinding toples
perlakuan tidak pada kacang hijau. Serangga Callosobruschus sp akan
selalu memeriksa inangnya kembali sebelum bertelur, dengan berkurangnya bahan
aktif yang disebabkan oleh penguapan, maka inangnya telah dianggap aman,
sehingga proses peletakkan telur akan dilakukan.
SIMPULAN
Berdasarkan
hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Tingkat
keefektifan dari pestisida nabati “Kaju
Ba’i” (Aglaia tomentosa) pada setiap taraf perendaman berbeda, pada racun
kontak perendaman 4 hari meningkatkan
mortalitas hingga 99%, 3 hari (68%), 2 hari (42%), dan 1 hari (25%.)
2. Mortalitas serangga Callosobruschus sp pada aktivitas racun syaraf
berbeda pada setiap taraf perendaman, 4 hari (2,7%), 3 hari (2,3%), 2 hari
(2,2%), dan 1 hari (2,1%).
3. Perendaman
4 hari pada aktivitas anti oviposisi menurunkan aktivitas peletakkan telur Callosobruschus sp sebanyak 75%, 3 hari
(66 %), 2 hari (57%) dan 1 hari (45%).
4. Hubungan
antara lama perendaman dengan tingkat keefektifan pestisida nabati “Kaju Ba’i” (Aglaia tomentosa) adalah
semakin tinggi lama perendaman maka semakin tinggi tingkat keefektifan pestisida
nabati “Kaju Ba’i” (Aglaia tomentosa),
terutama pada racun kontak dan aktivitas anti oviposisi
UCAPAN
TERIMAKASIH
Rasa terimakasih penulis sampaikan kepada pihak
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian dan Balai Taman Nasional
Kelimutu atas perijinan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis.
DAFTAR
PUSTAKA
Aminah N.S.,
Singgih H., Soetiyono P., Chaorul. 2001. S. rarak, D. metel dan E.
prostate Sebagai Larvasida Aedes aegypti. Cermin Dunia
Kedokteran No. 131.
Anonim. 2010. Pestisida
nabati. http://www.jakarta.go.id/distan/BERITA/pestisi
da% 20nabati.htm
Ariati, Ni Komang.
2008. Aktivitas bakterisida ekstrak cem cem Spondias pinnata terhadap bakteri
Erwinia chyrysanthemi penyebab busuk lunak Lidah buaya. Tesis.
Universitas Udayana. Denpasar
Arnason, J.T., S. Mackinnon, A. Durst, B.J.R. Philogene,
C. Hasbun, P. Sanchez, L. Poveda, L. San Roman, M.B. Isman, C. Satasook, G.H.N.
Towers, P. Wiriyachitra, J.L. McLaughlin. 1993. Insecticides
in Tropical Plants with Non-neurotoxic Modes of Action. p. 107-151. In
K.R. Downum, J.T. Romeo, H.A.P. Stafford (eds.), Phytochemical Potential of
Tropical Plants. New York: Plenum Press.
Budiarto.
2000. Pengaruh Ekstrak Kulit Buah Jeruk Siam Citrus Nobilis L. Terhadap
Mortalitas Dan Perkembangan Hama Bubuk Beras Sitopilus oryzae L. Skripsi.
Fakultas MIPA UNDIP. Semarang.
BPS Pertanian. 2008. Luas Panen, Produktivitas dan
Produksi Kacang Hijau 2008. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_
subyek=53¬ab=32. Disidir pada tanggal 14 Mei 2010
Direktorat
Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan [DBPTP] dan Direktorat Jenderal Perkebunan
[Ditjenbun]. 1994. Upaya Pemanfaatan Pestisida Nabati dalam
Rangka Penerapan Sistem Pengendalian Hama Terpadu. Prosiding Seminar
Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfatan Pestisida Nabati: Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor
Ekawati,
Intan W. 2008. Pengaruh empat jenis ekstrak serbuk tanaman terhadap aktivitas
peneluran Sitophilus zeamais (Coleoptera : curculionidae). Skripsi.
IPB. Bogor
Endah, S dan
Heri K. 2000. Manfaat ekstrak daun pare cegah demam berdarah. http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=255321. Disidir
tanggal 6 November 2010.
Gomez,
Kwanchai A. dan Arturo A. Gomez. 1987. Prosedur Statistik untuk Penelitian
Pertanian. Universitas Indonesia Press. Jakarta
Hermawati,
Darsih. 2004. Pengujian aktivitas biologi campuran ekstrak tumbuhan terhadap Callosobronchus
sp. (Coleoptera : Bruchidae).
Skripsi. IPB. Bogor
Indonesia,
2001. Serangga Hama Gudang. info@gizi.net. Disidir pada tanggal 13
Mei 2010
Jumar.
2000. Entomologi pertanian. Rineka Pustaka. Jakarta
Kardinan,
A. 2001. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasinya. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kardinan,
A. dan Ruhnayat, A., 2003. Mimba Budidaya dan Pemanfaatannya.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Karimah,
L.N., 2006. Uji aktivitas larvasida ekstrak etanol 96% biji mahoni (swietenia
mahagoni jacq) terhadap larva nyamuk Anopheles aconitus instar III serta profil
kromotografi lapis tipisnya. F. Farmasi UMS. http://etd.library.ums.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptums-gdl-sl-2007-ninyomansa-6683.
Disidir tanggal 7 November 2010.
Kneblock,
K.A., A. Pauli., B. Iberl, H. Weigland., N. Weis. 1989. Anti bacterial and anti tungal
properties of essential oil components. J. Essensial Oil Res.
Natawigena,
Hidayat. 1990. Entomologi Pertanian. Orba Sakti. Bandung
Novizan, 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah
Lingkungan. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Pannell,
1992. A taxanomic monograph of the genus Aglaia Lour (Meliaceae).
http://
www .bi ot ik.org/india/spesies/a/aglotome/aglotome_en.html.
Disidir pada tanggal 31 Mei 2010
Praptiwi.
2005. Nilai peroksida tiga jenis aglaia (A. argentea, A. silvestria dan A.
tomentosa. Pusat penelitian LIPI. Bogor
Prijono,
D. 1988. Pengujian Insektisida. Penuntun praktikum jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan Fak. Pertanian IPB. Bogor.
Pusat Data
dan Informasi Pertanian. 2004. Statistik Pertanian 2004. Pusat Data
dan Informasi Pertanian, Jakarta.
Pustekom,
2005. Perlindungan Tanaman. http:// 209.85.175.104/ search?q cache :
INeAFuGoOvsJ :fp.uns.ac.id/-hamasains/id/ hamasains/dasar perlintan. Disidir
pada 11 Mei 2010.
Robinson,
Trevor. 1995. Kandungan Organik
Tumbuhan Tinggi. Edisi keenam. Terjemahan Kokasih Padmawinata. Bandung
: FMIPA ITB.
Sutoyo
dan wirioadmodjo, B. 1997. Uji aktivitas daun nimba (Azadirachta
indica), daun pahitan (Eupatorium inulifolium) dan daun kenikir (Tagetes spp)
terhadap kematian larva Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) pada tanaman
tembakau. Dalam prosiding kongres perhimpunan entomologi Indonesia V
dan symposium entomologi Universitas Padjajaran, Bandung 24-26 juni 1997
posted by Jurnal Online Uniflor @ 18.51,
0 Comments:
Posting Komentar