Site Network: Lembaga Publikasi Uniflor |

 



Majalah Ilmiah INDIKATOR, Volume XIII, Nomor 2, September 2011


ETIKA DAN MORAL MAHASISWA
DALAM BERMASYARAKAT

Oleh Nong Hoban
Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Flores,
Jln. Sam Ratulangi, Ende, Flores, Telepon 081339678162

Abstrak
Etika dan moral mahasiswa menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam bertutur kata, bersikap, bertindak, dan berbusana para mahasiswa dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat. Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius dalam menjalin relasi sosial dengan masyarakat lingkungan sehingga tercipta keharmonisan. Etika berhubungan dengan hal-hal yang etis,  sopan santun, sedangkan moral berhubungan dengan perilaku yang luhur dalam bersikap dan bertindak yang lebih menonjolkan nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Memang etika dan moral gampang diucapkan, namun tidak semua orang bisa melaksanakan dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat pada era globalisasi sekarang ini. Dunia dihantui dengan tawaran yang menggembirakan karena majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Tawaran global ini sempat mempengaruhi pula etika dan moral mahasiswa. 
Kata Kunci
            Etika, moral, globalisasi, moral mahasiwa, masyarakat.
  
PENDAHULUAN
Etika berhubungan dengan hal-hal yang etis,  sopan santun, sedangkan moral berhubungan dengan perilaku yang luhur dalam bersikap dan bertindak yang lebih menonjolkan nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Admadi A. dan Setyaningsih (2000: 50) mengatakan globalisasi mengisyaratkan adanya dunia ”tanpa tapal batas” (borderless world). Pernyataan ini menggambarkan bahwa globalisasi pada satu sisi kita salut sebagai bagian kemajuan peradaban  umat manusia, namun pada sisi lain kita dituntut untuk lebih arif memilih yang terbaik dari berbagai  tawaran menggiurkan globalisasi.
Etika dan moral mahasiswa dalam perkembangannya dewasa ini mendapat sorotan banyak kalangan sehubungan dengan keberadaan mahasiswa di tengah masyarakat. Mahasiswa di mata masyarakat ditempatkan dalam posisi sebagai kaum terpelajar atau kaum terdidik yang lebih bernuansa etis yang menunjukkan tingkah laku rasional atau bermoral. Kaum terpelajar dengan penekanan lebih pada kepintaran, namun pada sisi yang lain mahasiswa juga dituntut sebagai agen moral dalam hidup bermasyarakat. Pernyataan ini menuntut mahasiswa untuk berperilaku yang baik dalam seluruh dimensi kehidupannya.
Berbagai kalangan menggambarkan kecemasan pesimistik akan globalisasi  akan menjadi ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara. Miclewait (Sunaryo, 2001:1) memandang bahwa globalisasi akan dituduh sebagai perusak dan penghancur nation state, perusak kekuatan pemerintahan untuk mengatur kebijakan  dan melindungi warganya dan nilai-nilai budaya yang tinggi.
Media massa,  baik media cetak maupun elektronik, yang merupakan agen globalisasi sering dikambinghitamkan sebagai penyebab munculnya perilaku negatif  generasi muda  karena berbagai informasi yang mereka sampaikan  berserta nilai-nilai baru yang menyertainya, seringkali tidak sesuai dengan nilai-nilai lama  yang dianut masyarakat kita, termasuk masyarakat di Flores, NTT. Generasi muda dalam usia yang masih labil, sangat mudah terpengaruh oleh faktor-faktor di luar dirinya. 
Menyadari bahwa Pulau Flores terdiri dari berbagai etnis di mana setiap etnis mempunyai agama, budaya yang berbeda,  namun  hidup berdampingan. Di samping budaya yang beranekaragam juga tidak sedikit masalah sosial yang dialami oleh  masyarakat. Mahasiswa diharapkan mampu mengadaptasi dan arif memberikan solusi yang terbaik berbagai lapisan masyarakat di manapun mahasiswa berada, terutama pada waktu pelaksanaan KKN atau PKL, atau kegiatan pengabdian masyarakat  yang lain.

ETIKA DAN MORAL MAHASISWA
Sikap ramah, etis, dan bermoral dalam seluruh dimensi kehidupannya sebagai landasan dan kekuatan dalam bersikap kritis terhadap fenomena yang dihadapi. Dengan demikian, dimensi kehidupan mahasiswa perlu ditata dan diberi bentuk, diberi manfaat yang jelas, sehingga mahasiswa mewujudkan eksistensi dirinya dalam cipta, rasa, dan karsa yang luhur.
 Berkenaan dengan pemikiran ini, Konrad Widner mengatakan bahwa proses pendidikan hendaknya lambat-laun membangun sebuah personalitas dalam diri si anak didik. Dengan ini mahasiswa hendaknya melihat setiap pelatihan internal dan eksternal akademik sebagai momentum bagi seluruh proses pembangunan personalitas (kepribadian) mahasiswa yang berkualitas  (Tagores, 1995:122). Jadi, pendidikan dan pelatihan adalah sebuah suasana untuk membangun pribadi yang integral, utuh, dan holistik dalam diri seorang mahasiswa. Mahasiswa harus mampu mengungkapkan dirinya (self realitation) lewat berbagai cara yang diharapkan sesuai dengan norma etis yang berlaku.
Moral mahasiswa menjadi penting dalam dimensi kehidupan sebagai landasan atau pedoman dasar bertingkah laku dalam masyarakat. Dalam Majalah Vox (1987:104) dijelaskan dengan baik bahwa moral memegang peran dalam dimensi kehidupan manusia, karena apalah artinya sebuah kepandaian kalau tidak bermoral. Pengetahuan dan keterampilan serta semua gagasan yang bagus dan cemerlang akhirnya tidak mempunyai arti apa-apa kalau tidak berdasarkan moralitas yang kokoh. Dimensi moralitas yang demikian penting ini harus diperhatikan para mahasiswa sebagai warga kampus.
Moral mahasiswa berkaitan dengan kekhasan perbuatan mahasiswa yang              didasarkan atas pertimbangan budi dan keluhuran kehendak. Sikap kritis dan berani menjalankan kritik dan mengeritik diri-sendiri serta sanggup menyampaikan usul dan saran yang konstruktif. Untuk itu, mahasiswa juga perlu mendalami pendidikan nilai untuk membentengi diri terhadap godaan-godaan globalisasi.
Djiwandono dalam  Sindhunata (2000:110) mengatakan bahwa pendidikan nilai ditujukan kepada penanaman nilai-nilai untuk menangkis pengaruh-pengaruh negatif globalisasi. Kepada generasi muda  ditanamkan nilai-nilai  kesederhanaan dan cinta kasih kepada sesama. Kita juga menanamkan pemahaman dan penghayatan nilai keadilan, karena adanya kecenderungan sifat egoisme, kurang kasih sayang, dan kurang peduli terhadap orang lain. Akan tetapi, dalam kenyataan, penanaman nilai-nilai luhur tadi banyak menghadapi tantangan.
Menyikapi persoalan yang dihadapi mahasiswa dalam dinamika kemahasiswaan,  Amijaya (dalam Majalah Vox,  1980) menegaskan citra cendikiawan yang secara ideal mempunyai sikap kritis dan ilmiah  Oleh sebab itu, mahasiswa dilatih dan melatih diri menjadi cedekiawan sebagai persiapan untuk masa depan sekaligus menjawabi tuntutan modernisasi pada era globalisasi sekarang ini. Harapan ini menjadi impian bersama dalam realitas cendekiawan muda.
Cendekiawan muda sebagai obor masyarakat mempunyai semangat juang dan berbudi luhur. Harapan ini dalam konteks Indonesia dirumuskan oleh Tisna Amijaya sebagai: ”Manusia yang berjiwa Pancasila, mempunyai sikap ilmiah  dan memiliki sikap profesional, dedikasi yang tinggi, ketahanan nasional dan sanggup memimpin” (1983: 8).
Predikat mahasiswa Universitas Flores sebagai ”duta” Universitas Flores dan pengemban pembangunan, terpanggil untuk berperan aktif secara bertanggung jawab dalam pembangunan daerah, bangsa, dan negara. Kipra mahasiswa dibutuhkan menjawabi berbagai permasalahan yang dihadapi. Sebagai duta, mahasiswa Universitas Flores dipundaknya diberikan amanat untuk melaksanakan misi Universitas Flores. Saya yakin dan percaya kampus sudah memberikan yang terbaik untuk mahasiswanya.
Efendi (2002:189) mengatakan kampus diharapkan dapat melahirkan generasi yang memiliki kemampuan dan ketahanan moral untuk menghadapi kompetisi global yang memajukan peradaban bangsa dengan menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia,  menegakkan etika dan moral berdasarkan ajaran agamanya.
Sentuhan-sentuhan ini merupakan sebuah bentuk penyadaran yang harus direfleksikan sebelum mahasiswa terjun dalam sebuah realitas hidup bermasyarakat yang penuh dinamika di tengah arus globalisasi yang menantang kita untuk hidup lebih baik dari hari kemarin.

KESIMPULAN
Mahasiswa sebagai obor masyarakat dan pemimpin bangsa semestinya memiliki kematangan pribadi seperti kemampuan berpikir kritis, disiplin, tanggung jawab, mampu berdialog, menjalin kerjasama, serta mampu beradaptasi dengan lingkungan dimana ia hidup. Etika dan moral mahasiswa yang baik sebagai alat kontrol untuk bertindak. Kata orang bijak, pintar saja tidak cukup, tetapi harus diimbangi dengan etika dan moral baik.  

DAFTAR PUSTAKA

Atmadi A. dan Setyaningsih. 2000. Transformasi Pendidikan Demokratisasi,     Otonomi, Civil Society Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.
Budiman, Arif. 1980. Peran Mahasiswa Sebagai Inteligensia. Jakarta: Gramedia.
Efendi Muhadjir. 2002. Masyarakat Equilibrium. Jakarta: Bentang Budaya.
Sindhunata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Demokratisasi, Otonomi.  Civil Society Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.
Sunaryo Adisusilo, J. 2000. Rekonstruksi Pendidikan Moral dalam Memperkokoh Integritas Bangsa. Yogyakarta: FIP UNY.
Majalah Vox. 1980. Maumere: Ledalero. *

posted by Jurnal Online Uniflor @ 11.56, ,




Majalah Ilmiah INDIKATOR, Volume XIII, Nomor 2, September 2011


PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh Natsir B. Kotten
Program Studi Pendidikan Ekonomi, FKIP,
Universitas Flores, Jln. Sam Ratulangi, Ende, Flores, Telepon

PENDAHULUAN
Pernahkah kita bertanya mengapa di negara tercinta ini yang manusianya telah dipersiapkan untuk mempunyai moral tinggi, yaitu dengan mewajibkan seluruh jenjang pendidikan untuk memberikan mata Pelajaran Agama, dan Pendidikan Moral Pancasila, namun perilaku manusia Indonesia masih belum sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang berlaku? Sejak usia dini, bahkan usia TK, anak-anak Indonesia sudah wajib diajarkan agama di sekolah, dan ketika di SD sampai SMA dan Universitas, wajib mengikuti pelajaran Moral Pancasila dan sejenisnya. Namun kalau kita lihat perilaku remaja kita yang gemar mencontek, kebiasaan bullyng di sekolah, tawuran, termasuk perilaku orang dewasa yang juga senang dengan konflik dan kekerasan (tawuran antar kampung, dsb), serta perilaku korupsi yang merajalela, ternyata seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkannya, tidak berdampak terhadap perubahan perilaku manusia Indonesia. Bahkan yang terlihat adalah begitu banyaknya manusia Indonesia yang tidak konsisten, lain yang dibicarakan, dan lain pula tindakannya.
Fakta ini menunjukkan bahwa ada kegagalan pada institusi pendidikan kita dalam hal menumbuhkan manusia Indonesia yang berkarakter atau berakhlak mulia. Karena apa yang diajarkan di sekolah tentang pengetahuan agama dan pendidikan moral Pancasila, belum berhasil membentuk manusia yang berkarakter. Padahal apabila kita tilik isi dari pelajaran agama dan Pancasila, semuanya bagus, dan bahkan kita bisa memahami dan menghafal apa maksudnya.
Dalai Lama mengatakan bahwa untuk menciptakan masyarakat yang penuh kedamaian harus dimulai dari dalam diri sestiap individu, yaitu melalui transformasi internal dalam diri setiap insan. Dan yang cukup menggelitik pernyataan beliau adalah, walaupun usaha transformasi internal ini sangat sulit dilakukan, namun “IT IS THE ONLY WAY”. Inilah mungkin yang menyebabkan mengapa segala usaha baik dalam kebijakan, maupun program untuk memperbaiki perilaku manusia banyak menemukan kegagalan.begitu banyak biaya dan program untuk menciptakan kedamaian dunia, namun konflik dan peperangan semakin banyak terjadi. Semakin besar dana untuk menyelamatkan lingkungan hidup, semakin banyak kerusakan alam terjadi. Khusus dalam bidang pemberantasan korupsi, masyarakat begitu antusias menyambut dibentuknya “Kantin Kejujuran di Sekolah”, namun menurut laporan program ini banyak yang gagal, karena sebagian besar kantinnya bangkrut di korupsi oleh siswanya sendiri yang tidak jujur.
Artinya, untuk menjajdikan manusia yang cinta damai, jujur, bertanggung-jawab menjaga lingkungan dan kualitas akhlak lainnya, adalah dengan mencipta-kan manusia-manusia Indonesia yang batinnya hidup, yaitu yang mampu memilih mana yang baik dan benar, mampu mengontrol dorongan-dorongan nafsu ketamakan, berpikir kritis, kreatif, beretos kerja tinggi, dan selalu berinisiatif untuk melakukan kebaikan, dan berusaha untuk semakin lebih baik setiap harinya. Tentu ini merupakan hal yang sulit, namun membangun manusia yang batinnya hidup mutlak diperlukan sebagai pondasi penting bagi terbentuknya manusia-manusia yang berkarakter mulia.
Pertanyaannya adalah apakah institusi sekolah mampu untuk melakukan-nya, terutama setelah melihat hasil pendidikan yang kelihatannya gagal untuk membentuk karakter. Karena masalah pembentukan karakter adalah erat kaitannya menyiapkan internal/batin individu yang senantiasa berpikir baik, berhati baik, dan bertindak baik. Pemerintah melalui Kemenmtrian Pendidikan Nasional memang sudah mencanangkan bahwa pendidikan karakter sejak tahun 2010 ini harus sudah bisa diterapkan di seluruh jenjang pendidikan, dan ini adalah sebuah tantangan yang amat besar.
Berhubungan penulis banyak berkecimpung dalam kegiatan seminar pendidikan karakter, maka penulis berpendapat bahwa membangun karakter anak adalah suatu hal yang amat rumit, namun bisa dilakukan apabila lingkungan dan proses belajar mengajar memang kondusip. Makalah ini bertujuan untuk menjabarkan secara singkat konsep dasar karakter dan sifat-sifatnya, apa yang musti diajarkan, dan nilai-nilai karakter yang ditanamkan secara eksplisit.



KARAKTER
Secara harafiah karakter artinya kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi (Hornby Parnwell, 1977). Menurut Kamus lengkap Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian (Kamisa, 1997).
Dalam Dorland’s Pocket Medical Dictionary (1968) dinyakan bahwa karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukan oleh individu; sejumlah atribut yang dapat diamati pada individu. Di dalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo, 1982).
Karakter adalah keteguhan bathin yang dikembangkan secara sadar, yang berurat dalam diri seseorang, yang menjadi energinya dalam bertindak sehari-hari untuk mencapai tujuan nilai-nilai moral yang tinggi (David, 2003). Definisi ini sengaja dikembangkan bagi orang-orang dewasa yang telah bekerja atau menjadi eksekutif perusahaaan agar bisa mereka renungkan, kemudian menerapkannya dalam kehidupan mereka sendiri, dan akhirnya mereka gunakan saat mengajar anak-anaknya atau karyawannya dengan lebih akurat. Karakter adalah mengetahui hal yang benar untuk dilakukan, dan selalu melakukan hal-hal yang benar, bahkan ketika tidak ada orang yang melihat kita berbuat hal yang benar tersebut. Karakter adalah kepercayaan terhadap suatu sistem benar dan salah, dikombinasikan dengan kemauan untuk melakukan apa yang benar terlepas dari resikonya. Karena itu, anak berkarakter akan berkata, “Apa hal yang tepat untuk dilakukan?” sementara seorang anak tanpa karakter akan berkata, “Apa untungnya bagi saya?” Kita lebih menghormati anak yang memiliki “karakter”. Karakter berkaitan dengan masalah hati – bagian dalam Anda, bukan luar Anda. Karakter adalah ruh, semangat yang terungkap dari apa yang kita lakukan, bagaimana kita hidup, bagaimana kita menghadapi orsang lain dan lingkungan. Anak-anak pun melihat dan menyerapnya, menirunya, menambahinya, menguranginya.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain. Dengan demikian, dapat dikemukakan juga bahwa karakter pendidik adalah kualitas mentak atau moral, akhlak atau budi pekerti pendidik yang merukakan kepribadi-an khusus yang harus melekat pada pendidik.
Seseorang dapat dikatakan berkarakter, jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Demikian juga, seorang pendidik dikatakan berkarakter jika ia memiliki nilai dan keyakinan yang dilandasi hakikat dan tujuan pendidikan serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Pendidikan karakter itu termaktub di dalam cara Anda berbicara, perilaku yang Anda teladankan, perilaku yang Anda tolerir, kebiasaan yang anda dorongkan, dan harapan-harapan yang Anda lambungkan (Kotten, 2011).
Dengan demikian pendidik yang berkarakter, berarti ia memiliki kepribadi-an yang ditinjau dari titik tolak etis atau moral, seperti sifat kejujuran, amanah, keteladanan, atau pun sifat-sifat lain yang dibangun dengan berlandaskan pada keluhuran nurani, yaitu doa sebagai sumber kekuatan, ramah dan akrab, sebagai wujud dari sosok dan perilaku yang sopan santun, rendah hati, cinta kasih, dan kedamaian, toleran, sebagai wujud dari sikap menjunjung tinggi prinsip rukun dan hormat, dan humanis, yaitu membangun kepercayaan diri melalui motivasi dan bimbingan yang sejuk dan lembut. Pendidik yang berkarakter kuat tidak hanya memiliki kemampuan mengajar dalam arti sempit (hanya mentransferkan pengetahuan/ilmu kepada peserta didik) melainkan ia juga memiliki kemampuan mendidik dalam arti luas. Atau dalam bahasa spiritualnya bahwa “mendidik dengan hati melahirkan potensi”.
Kotten (2011) mengemukakan bahwa karakter itu terdiri dari empat hal. Pertama, ada karakter lemah; misalnya penakut, tidak berani mengambil resiko, pemalas, cepat kalah, belum apa-apa sudah menyerah, dan sebagainya. Kedua, karakter kuat; contohnya tangguh, ulet, mempunyai daya juang yang tinggi, atau pantang menyerah. Ketiga, Karakter jelek; misalnya licik, egois, serakah, sombong, pamer, dan sebagainya. Keempat, karakter baik; seperti jujur, terper-caya, rendah hati, dan sebagainya. Atau dalam ungkapan spiritual: “Ilmuwan (pendidik) sejati terlihat dari kerendahan hatinya”.
Nilai-nilai utama yang menjadi pilar pendidik dalam membangun insan yang berkarakter kuat adalah:
(1)   amanah, dan
(2)   keteladanan
Dalam pelaksanaan uji dokumen portopolio program sertifikasi bagi guru dalam jabatan, ada gejala secara nasional (karena terjadi di 31 rayon di seluruh Indonesia), ada beberapa temuan antara lain: ada indikasi pemalsuan dokumen, seperti peserta sertifikasi meminjam sertifikat orang lain; ditemukan kejanggalan dalam pembuatan surat keterangan (misalnya nomor, tanggal, bulan sama hanya berbeda tahunnya); ditemukan calo/penipuan sertifikasi guru; munculnya biro jasa penyusunan portopolio. Hal ini terungkap pada rapat koordinasi yang diseleng-garakan oleh Direktorat jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) di Hotel Pitagiri Jakarta yang diikuti oleh Ketua dan Sekretaris Rayon, tanggal 24 April 2007.
Kondisi ini menggambarkaan betapa lemahnya integritas guru terhadap pekerjaannya, betapa lemahnya amanah yang diemban guru. Tentunya kondisi semacam ini juga belum dapat dijadikan teladan.
Beberapa faktor penyebab rendahnya pendidikan karakter adalah: pertama, sistem pendidikan yang kurang menekankan pembentukan karakter tetapi lebih menekankan pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi pendidikan menekankan aspek kognitif/akademik; Ujian Nasional (UN). Kedua, kondisi sosial yang kurang mendukung pembangunan karakter yang kuat.
Indikator dampak dari pendidikan yang menekankan aspek kognitif antara lain banyaknya pelanggaran atau kecurangan yang terjadi pada saat pelaksanaan UN. Tiap tahun selalu ada berbagai bentuk kecurangan, seperti membeli kunci jawaban, mencari bocoran soal, guru memberi bantuan siswa dengan cara yang tidak fair, dan lain-lain. Bahkan ada pejabat yang meminta kepada kepala dinas atau kepala sekolah untuk menyukseskan UN dengan “berbagai cara”.
Pendidikan yang seharusnya merupakan tugas mulia dimasukan kepenting-an yang dapat “merusak” sistem penyelenggaraan pendidikan. Bahkan telah ber-geser menjadi tempat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai pendidikan itu sendiri. Di sinilah salah satu dari 7 penyakit global yang melanda bumi ini menjadi sakit, yaitu “Pendidikan tanpa Kakakter”.

SIFAT-SIFAT KARAKTER
Sifat-sifat karakter seperti apa yang Anda inginkan ada di dalam diri anak Anda? Ada enam sifat karakter yang musti anak-anak pelajari.
Pertama, iman. Iman memberikan seseorang kemampuan untuk melihat melampaui apa yang dekat dengannya. Dia bisa melihat bahwa ada lebih banyak daripada hidup yang ia hadapi saat ini. Hal ini penting karena keadaan kita tidak akan selalu sesuai dengan keimanan kita. Iman memberi harapan. Ini adalah sifat karakter paling dasar.
Kedua, integritas. Intergritas berasal dari integer, istila matematika, yang adalah angkah utuh. Seseorang yang memiliki integritas juga mempunyai sifat jujur, blak-blakan, dan konsisten, tidak peduli bagaimana keadaannya. Anak yang memiliki integritas mengabdikan dirinya demi keyakinan dan prinsip-prinsip hidupnya.
Ketiga, sikap tenang. Tenang adalah kemampuan untuk tidak panik ketika hal-hal di sekitarnya kacau balau. Ketenangan adalah kemampuan untuk bertindak dengan cara yang tepat dalam situasi tertentu. Ada saatnya untuk bertindak konyol dan ada waktu untuk berperilaku dalam cara yang lebih serius.
Keempat, disiplin diri. Ini adalah sifat pokok di mana sifat-sifat lainnya bergantung. Tujuan kepengasuhan adalah untuk menanamkan sifat karakter ini. Sifat inilah yang akan menyelamatkan mereka ketika kita tidak ada. Karakter inilah yang akan membuat mereka keluar dari dunia kepedihan dan pencobaan. Disiplin diri didefisnisikan sebagai kemampuan untuk menunda pemuasan. Ini mengingatkan kita bahwa kita dapat mengalami kesenangan, tetapi yang paling baik adalah pada tempat dan waktu yang tepat. Anak yang tak dapat menunggu akan menderita karenanya.
Kelima, daya tahan. Daya tahan adalah kemampuan untuk tetap meng-hadapi masalah di depannya dan tidak menyerah. Setiap anak akan menghadapi banyak tantangan dalam hidupnya. Sifat karakter ini penting dalam relationship, pekerjaan, sekolah dan hal-hal lain dalam hidup. Orang yang mudah menyerah tidak akan pernah menang, dan pemenang tidak pernah menyerah. Kita harus mengajarkan daya tahan ini kepada anak-anak kita.
Keenam, keberanian. Kita sering menganggap keberanian sebagai tidak takut, tapi keberanian yang sesungguhnya adalah tetap takut dan sekaligus melakukn hal yang tepat untuk menghadapinya. Anak-anak akan menghadapi banyak godaan, tetapi keberanian memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang tepat. Memiliki keberanian untuk membela apa yang benar akan memuliakan mereka. Memiliki keberanian untuk melakukan apa yang benar akan menghasilkan bermacam-macam buah kehidupan.

APA YANG MUSTI DIAJARKAN?
Orangtua memiliki pilihan saat memutuskan kebajikan apa yang akan mereka ajarkan kepada anak-anaknya. Ada tiga kebajika kritis yang harus dimiliki seorang anak untuk menjadi orang yang peduli dan penuh kasih.
Empati
Keutamaan pertama adalah empati. Empati adalah kemampuan unik untuk menyadari dan merasakan keprihatinan orang lain. Empati menyediakan bahan pentinh yang diperlukan untuk menahan tindakan yang bersumber dari inplus negatif atau agresi. Empati dapat meningkatkan kemampuan seorang anak untuk bereaksi dengan baik dan memiliki cakrawala yang lebih luas saat menghadapi tantangan sosial.
Banyak orangtua percaya bahwa kita belum bisa mengajarkan kebajikan untuk anak-anak sampai mereka duduk di sekolah dasar. Sebaliknya, kebajikan harus diajarkan sejak lahir. Mengapa? Mumpung anak-anak luar biasa itu secara intuitif sangat responsif untuk menjadi baik.” Orangtua dapat menawarkan arah positif kepada anak-anak kecil selama mereka berada di kelompok bermain maupun di dalam keluarga sendiri. Ketika bersaing dengan saudaranya atau kesulitan mendera kepala mereka, mengubah fokus anak dapat mengubah seluruh dinamika kehidupannya. Alih-alih sekadar mengajari anak-anak nilai berbagi/atau memberi, gunakan kesempatan itu untuk membimbing anak-anak untuk me-nyadari apa yang anak lain rasakan. Ajukan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Menurutmu, bagaimana perasaan....kalau kamu berbuat ini?” bisa menjadi cara yang ampuh untuk memelihara empati dan menurunkan agresi. Bila sikap semacam ini disajikan untuk anak-anak sejak usia yang sangat muda, mereka akan terbiasa berperilaku penuh kasih. Membahas bagaimana perasaan orang-orang yang ada di televisi juga dapat menjadi kesempatan baik untuk menyemaikan empati.
Hati Nurani
Mengembangkan hati nurani yang kuat merupakan bagian penting dalam memelihara kemampuan seorang anak untuk mengembangkan karakter yang kuat. Kebanyakan anak dilahirkan dengan hati nurani. Jika anak benar-benar ingin mampu menahan tekanan di dunia saat ini, sebuah hati nurani yang kuat sangatlah penting. Ambillah waktu untuk mengembangkan kebajikan ini. Hal ini dapat dilakukan dengan menyimak penalaran moral anak Anda dan memahami mengapa mereka berperilaku seperti yang mereka perbuat. Komunikasi yang baik sangat penting untuk dapat menimbang perilakunya. Menurut Thomas Lickona, bahwa satu langkah penting adalah mengarahkan anak Anda meluruskan kembali kesalahan yang kungkin telah mereka lakukan. Kemampuan untuk menebus kesalahan merupakan langkah penting untuk membangun hati nurani yang kuat.
Kontrol Diri
Kontrol diri adalah kebajikan ketiga yang perlu ditingkatkan pada anak-anak untuk membangun karakter yang kuat.. Kebajikan itu membantu anak-anak mengerem diri ketika tergoda untuk menyerang sesuatu atau seseorang. Dengan menyisihkan waktu untuk mengajari anak-anak bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi dapat membuat perbedaan dalam kemampuannya menghentikan perilaku agresif. Mari kita coba untuk sejenak mengembalikan depresi, dengan menyisihkan beberapa menit sehari untuk memraktekan 1 + 3 + 10. Segera setelah Anda (anak anda) merasa tubuh Anda mengirimkan tanda peringatan bahwa Anda kehilangan kontrol, lakukan tiga hal. Pertama, berhenti dan katakan kepada diri sendiri: “Tenang, tenang,” itu yang 1. Kedua, mengambil tiga kali nafas (tarak nafas dari hidung dan menghembuskannya lewat mulut; seperti berenang). Itu 3. Sekarang hitung perlahan-lahan sampai sepuluh kali di dalam kepala Anda. Itu 10. Lakukan semua berurutan, itulah 1 + 3 + 10. Melakukannya akan membantu Anda tenang dan mendapatkan kembali kontrol.

NILAI-NILAI KARAKTER YANG DITANAMKAN SECARA EKSPLISIT
Ada banyak kualitas karakter yang harus dikembangkan, namun untuk memudahkan pelaksanaan, IHF mengembangkan konsep pendidikan 9 pilar Karakter yang merupakan nilai-nilai luhur universal (lintas agama, budaya dan suku). Diharapkan melalui internalisasi 9 pilar Karakter ini, para siswa akan menjadi manusia yang cinta damai, tanggung jawab, jujur, dan serangkaian akhlak mulia lainnya. Adapun nilai-nilai 9 pilar karakter terdiri dari:
1.      Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya
2.      Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian
3.      Kejujuran
4.      Hormat dan santun
5.      Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama
6.      Percaya diri, kreatif, kerja kras, dan pantang menyerah
7.      Keadilan dan kepemimpinan
8.      Baik dan rendah hati
9.      Toleransi, cinta damai, dan persatuan
Metode penanaman 9 pilar karakter tersebut dilakukan secara eksplisit dan sistematis, yaitu dengan knowing the good, reasoning the good, feeling the good, dan acting the good ternyata telah berhasil membangun karakter anak. Dengan knowing the good anak terbiasa berpikir hanya yang baik-baik saja. Reasoning the good juga perlu dilakukan supaya anak tahu mengapa dia harus berbuat baik. Misalnya kenapa anak harus jujur, apa akaibatnya kalau anak jujur, dan sebagai-nya. Jadi anak tidak hanya menghafal kebaikan tetapi juga tahu alasannya. Dan juga dengan feeling the good, kita membangun perasaan anak akan kebaikan. Anaik-anak diharapkan mencintai kebaikan. Lalu, dalam acting the good, anak mempraktekan kebaikan. Jika anak terbiasa melakukan knowing, reasoning, feeling dan acting the good lama kelamaan anak akan terbentuk karakter.
Model ini membangun lingkungan secara total agar tercipta lingkungan yang kondusif untuk tumbuhnya siswa-siswi berkarakter. Lingkungan yang nyaman dan menyenangkan adalah mutlak diciptakan agar karakter anak dapat dibentuk. Hal ini erat kaitannya dengan pembentukan emosi positif anak, dan selanjutnya dapat mendukung proses pembentukan empati, cinta, dan akhirnya nurani/bantin anak.

PENUTUP
Penghayatan akan nilai-nilai kehidupan menjadi dasar dari pembentukan kepribadian dan karakter manusia. Padahal karakter mempunyai peranan penting dalam menentukan martabat manusia. Oleh karena itu sudah selayaknya bahwa pendidikan karakter merupakan isyu sentral bagi proses pendidikan yang dilaksanakan, baik secara informal di keluarga maupun di masyarakat, maupun secara formal di sekolah di seluruh jenjang. Pendidikan karakter harus diyakini sebagai suatu proses yang berkesinambungan melalui penyadaran dan pembiasan. Kearifan lokal harus jadi acuan utama dalama menerapkan pendidikan karakter. Keberpihakan dan kepentingan anak harus menjadi fokus utama dari pendidikan karakter. Kerjasama yang baik antara keluarga, sekolah dan masyarakat menjadi kunci utama dari keberhasilan pendidikan karakter.

DAFTAR PUSTAKA
Adi Rianto. 2009. Kekerasan dalam Pendidikan: Sebuah Survey atas Praktek Pendidikan di Flores NTT. Respons Jurnal Etika Sosial, Vo. 14. No.; 02 Desember. Hal. 247-262.
Rima Febiana. 2009. Kekerasan terhadap perempuan dan rekonstruksi budaya. Respons Jurnal Etika Sosial Vo. 14. No.02, Desember hal, 223-245.
Sudarminta J. 2006. Pendidikan Nilai-nilai kehidupan: Menuju Manusia Indonesia yang bermartabat dan berbudaya” diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Unika Atmajaya, jakarta, 18 Nopember 2006.
Kotten N. 2009. Pendidikan berwawasan Spiritual. Majalah Ilmiah Universitas Flores INDIKATOR, Volume X. N0. 2 September 2009
Sudradjat, A. (2010). Tentang pendidikan Karakter. *

posted by Jurnal Online Uniflor @ 11.55, ,